1. Hakikat Mazhab
Sumber hukum yang pertama ialah Allah SWT yang berhak menetapkan sesuatu menjadi wajib, menjadi haram, menjadi halal, yang menentukan sesuatu itu baik atau buruk. Sedangkan Rasulullah menyampaikan hukum-hukum itu kepada orang banyak (manusia), dengan diangkatnya Muhammad menjadi Rasul Allah maka dengan perantaraan beliau muncullah hukum-hukum agama islam, dan masa setelah beliau adalah masa yang memerinci hukum tersebut.
Dasar hukum dalam agama islam adalah Al-Qur’anul Karim dan As-Sunnah, Firman Allah:
Artinya: “Jawaban orang-orang yang mukmin bila diseru kepada Allah dan Rasul-Nya untuk menghukum di antara sesame mereka tidak lain selain jawaban yang berbunyi: Kami dengar dan Kami ta’ati. Orang itulah oarng yang berbahagia. Siapa yang terdapat perintah Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan mensucikannya, maka merekalah orang-orang yang berbahagia”. (Q.S. An-Nur: 51).
Para fuqaha, ahli-ahli fiqih (mujtahidin) hanyalah menerapkan kaidah-kiadah kulliyah, kaidah-kaidah yang umum meliputi keseluruhan, kepada masalah-masalah juziyyah, kejadian-kejadian yang detail dengan mengistinbatkan, mengambilhukum dari nash-nash syara’, atau ruhnya, di kala tidak terdapat nash yang jelas. Akan tetapi kita membahas perkembangan fiqih ini semenjak masa pertama pertumbuhannya hingga sekarang ini. Inlah yang dimaksud sejarah fiqih islam, yakni merupakan ilmu yang membahas keadaan fiqih islam di masa Rasulullah dan masa-masa sesudahnya, untuk menentukan masa-masa terjadinya hukum itu dan segala yang menetapkan hukum, baik berupa nasakh, takhsis, dan lain-lain tentang keadaan fuqaha’ dan mujtahidin, serta hasil-hasil karya mereka terhadap hukum-hukum itu.
Berbagai cara ijtihad para imam madzhab dengan berbagai keadaan mereka, maka sudah pasti berbeda-beda pula hasil dari ijtihad masing-masing mereka, karena berbedanya tempat-tempat dan masa hidupnya mujtahidin tersebut. Perbedaan jalan berfikir dan caranya karena lengkap atau kurang lengkapnya nash (dalil-dalil dari kitab dan As Sunnah)yang diketahui oleh masing-masing mujtahid. Dan sebab-sebab yang demikian pulalah yang menyebabkan ikhtilaf (perbedaan pendapat) para imam dan Ulama, dan karena masing-masing Imam harus dapat menetapkan hukum sebagai rujukan. Tiap-tiap cara yang digunakan dan dituruti oleh masing-masing Imam atau Ulama’ dalam menetapkan paham atau hukum inilah yang kemudian dinamakan madzhab.
Maka madzhab dalam ilmu bahasa merupakan mashdar mimi, atau isim makan dari kata pokok dzahaba, yang berarti berjalan, pergi , atau berpendapat. Mazdhab ialah pendapat yang diyakini oleh seorang manusia, baik pendapat itu mengenai agama atau tidak. Tetapi akhirnya umum dipakaikan dalam masyarakat muslimin ialah pendapat tentang hukm agama Islam dari imam-imam madzhab yang empat yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali.
2. Masa Tumbuhnya Pembangunan Mazhab
Pada zaman Rasulullah SAW tidak terdapat aliran-aliran fikiran yang bermacam-macam karena Rasulullah SAW menjelaskan al-Qur’an dan as Sunnah dengan jelas meliputi perbuatan, perkataan, dan taqrirnya yang disimak oleh para sahabat, beliau sering bersabda Dari Abi Bakrah r.a ia berkata: telah bersabda Rasulullah hendaklah yang hadir ini menyampaikan kepada yang tidak hadir.
Setelah beliau wafat, kurang lebih 70 tahun sesudah itu barulah timbul aliran-aliran faham. Salah satu sebab timbulnya karena perbedaan pemahaman istilah-istilah kalimat arab, misalnya dalam kalimat: لمس dalam firmanyang berbunyi اولامسثم النساء. Ibnu Abbas, Ali bin Thalib, Al-Hasan, Mujahid dan Qatadah menyatakan bahwa yang dimaksud kalimat itu ialah جماع (bersetubuh). Mereka beralasan bahwa Allah pemalu. Oleh sebab itu Dia memberikan sindiran dengan “lamasa”.
Sedangkan menurut pedapat Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, As-Sya’bi, dan Naskho’I, bahwa yang dimaksud dengan kalimat itu semata-mata bersinggungan; yaitu التقاء البشر تين (bertemunya dua kulit tanpa dinding) antara laki-laki dan perempuan yang sudah menikah. Alas an mereka bahwa menggunakan kata “lamasa” kepada makna “semata-mata bersinggungan”, hakekat menurut maknanya yang asli.
Pada masa sahabat dengan banyaknya tokoh legislasi pada waktu itu maka terjadilah banyak perselisihan pendapat hukum antara mereka yang timbulnya dari satu sumber kejadian hukum sehingga banyak fatwa yang berlainan. Peninggalan-peninggalan legislasi di masa yang terpenting ialah tiga macam:
a. Pengkodifikasikan sunnah Rasulullah SAW yang sifatnya shahih, koleksi hadist menurut sanadnya, yang biasa disebut “musnad”, koleksi hadist-hadist menurut bab-bab yang dibahas dalam ilmu fiqih. Maka ulama hadist masa itu sangat giat dalam menghimpun hadist, mencocokkannya dan meneliti perawi-perawinya.
b. Pengkodifikasian ilmu fiqih dan semua hukum islam
Dimasa ini Negara-negara Islam semakin meluas perbatasannya, kemauannya semakin berkembang pesat, maka pasti di beberapa Negara Islam yang banyak itu, banyak pula kasus-kasus dan beberapa legitasi serta organisasi-organisasi yang menjadi lapangan ijtihad bagi semua ahli ijtihad hukum. Dalam kesempatan ilmiah, maka mereka melakukan ijtihad dalam memahami nash-nash dan mengambil kesimpulan hukum kasus-kasus yang tidak ada nash-nashnya. Dalam berlomba-lombanya berijtihad ini, maka nampaklah bagi mereka dalam mengambil teori ijtihad dan pembahasan, sebagaimana teori yang dilakukan oleh tokoh muslim di kalangan orang-orang non Arab, dan juga sama dengan mereka dalam hal mengcopy ilmu dari oranag-orang Islam (Arab).
Maka dimasa ini banyak memutuskan hukum kasus-kasus yang memang benar-benar belum terjadi di masa itu. Pada masa ini pula dikodifikasikannya kitab-kitab yang pembahasannya panjang lebar, yang di masa ini tetap menjadi pegangan umat Islam. Di antara kitab-kitab yang lengkap pembahasannya dan paling masyhur adalah:
a). Dalam madzhab Abu Hanifah; kitab Zhahirur Riwayatus Shiffah, yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hasan dari Abi Yusuf dari Abu Hanifah, kemudian dihimpun menjadi kitab “Al Kafi” oleh Hakim Asy Syahid.
b). Dalam madzhab Imam Malik; kitab Al Mudawamah, yang diriwayatkan oleh Sihnun dari Abdul Qasim dari Imam Malik bin Anas.
c). Dalam madzhab Imam Syafi’I; kitab Al Umm yang didiktekan kepada murid-muridnya oleh Imam Syafi’I sendiri di Mesir.
c. Pengkodifikasian ilmu ushul fiqih
Imam Malik bin Anas seringkali dalam pokok-pokok pembahasan menunjukkan dasar-dasar prinsipnya dan aqidah-aqidah legislasinya. Tapi orang-orang yang pertama-tama menghimpun qaidah-qaidah ini secara tersusun rapi dengan diperjelas illat-illatnya dan setiap qaidah itu diperjelas dengan argumen-argumennya ialah Imam Muhammad bin Idris As Syafi’I dalam sebuah risalahnya yang telah masyhur sekali tentang pembahasan dan susunan ilmu ushul fiqih.
Di akhir abad yang pertama, terdapat segolongan tabi’in yang selalu menyertai para sahabat yang mempunyai keahlian dalam bidang fatwa dan tasyri’ di berbagai kota besar. Dari para sahabat yang ahli itulah para tabi’in mempelajari al-Qur’an dian menerima riwayat hadist serta bermacam-macam fatwa. Dan dari mereka pulalah para tabi’in mempelajari rahasia-rahasia tasyri’ dan jalan-jalan istinbath (pengambilan) hukum.
Para tabi’in selalu disertai pula oleh sebagian tabi’ut tabi’in. para tabi’ut tabi’in menerima dan para tabi’in apa yang diterima para tabi’in dari para sahabat, baik Qur’an maupun Sunnah atau pun fiqh dan rahsia-rahasia tasyri’nya. Para tabi’ut tabi’in itu digurui mujtahidin yang empat (Abu Hanifah, Maliki, Syafi’I, dan Ahmad bin Hambal), dan sesudah pemuka-pemukanya tasyri’ itu kepada para tabi’in. Para tabi’in ini diganti pula oleh murid-muridnya (tabi’ut tabi’in) yang seterusnya mereka pun diganti oleh murid-muridnya para imam-imam mujtahidin, diantaranya oleh imam yang empat dan teman-temannya.
Ijtihad menurut bahasa ialah bersungguh-sungguh dalam suatu pekerjaan dan orang mujtahid adalah orang faqih.
Adapun pembagian mujtahid dalam kitab qolisubi dapat dibagi tiga tingkatan :
a. Mujtahid mutlak ialah ulama-ulama yang sanggup menentukan suatu hukum dangan jalan istinbath langsung dari kitab dan sunnah, seperti: Hanafi, Maliki,Syafi’I, dan Hambali
b. Mujtahid fatawi ialah ulama-ulama yang sanggup untuk mentarjihkan (mencari mana yang kuat) dalam memahami dalil dan tidak kuat beristinbath, seperti: Rafi’I dan Nawawi
c. Mujtahid madzhab ialah ulama-ulama yang sanggup beristinbath dari qa’idah-qa’idah yang dibuat oleh Imam yang diikuti madzhabnya, seperti Asnawi dan lain-lain.
Syarat-syarat menjadi Mujtahid
Dalam kitab I’aanah At-Thalibin. Orang yang dapat menjadi mujtahid (dalam ilmu Syar’i)ialah orang yang mengetahui beberapa hukum:
1. Hukum al-Qur’an. Seorang mujtahid harus mengetahui mana ayat yang fahamnya ‘aam (umum) dan yang khos (khusus), ayat yang mujmal dan dzahir, yang muhakkamat dan yang mutasyabihat dan lain-lain
2. Hukum sunnah. Seorang mujtahid harus mengetahui hadist yang shahih, dha’if dan mutawatir dan yang uhud, muttashil, munqathi’ juga yang mursal dan yang mauquf.
3. Hukum bahasa Arab. Harus mengetahui nahwu dan shorrof, manthik dan ma’ani, bad’I serta bayannya.
3. Sumber-Sumber Tasyri’
Sumber-sumber tasyri’ dimasa ulama pembangun madzhab:
a) Al-Qur’an
b) Al-Hadist
c) Al-Ijma’
d) Al-Qiyas (Al ijtihad dengan jalan qiyas atau dengan jalan istinbath yang lain).
Para ulama mufti berhenti pada nash yang mereka peroleh di dalam al-Qur’an dan Sunah. Mereka tidak beranjak lagi dari nash-nash itu. Apabila mereka tidak mendapati di dalam nash al Qur’an dan Hadist mengenai sesuatu mesalah atau kejadian yang memerlukan penyelesaian hukum, akan tetapi mereka mengetahui bahwa ulama salaf telah berijma’ mengenai hukum itu, meraka pun mengamalkannya berdasar ijma’ ulama salaf itu. Apabila mereka tidak menjumpai nash dan tidak pula menjumpai ijma’, barulah mereka berijtihad dan beristinbath.
4. Timbulnya Madzhab-Madzhab
Setelah masa Rasulullah wafat banyak terjadi perselisihan-perselisihan dalam penetapan hukum dalam suatu masalah. Berbeda dengan di masa Rasul karena yang memegang tasyri’ adalah Rasul sendiri. Di masa sahabat mulai timbul beberapa perbedaan paham dalam menetapkan hukum bagi sesuatu peristiwa. Terjadinya perselisihan paham di masa sahabat itu karena perbedaan paham dan perbedaan nash yang sampai kepada mereka, karena pengetahuan mereka dalam soal hadist tidak sama dan pula karena perbedaan pandangan tentang mashlahah yang menjadi dasar bagi penetapan suatu hukum, di samping itu adalah disebabkan karena berlainan tempat (lingkungan).
Hal-hal tersebut ini menimbulkan perselisihan fatwa dan hukum walaupun mereka sependirian dalam menetapkan dasar-dasar tasyri’ dan terbitnya serta dalam hal prinsip tasyri’ yang umum. Ringkasnya timbullah perselisihan-perselisihan dalam hal furu’(cabang) walaupun mereka sepakat dalam hal ushul. Sesudah kekuasaan tasyri’ dikendalikan oleh para mujtahidin di pertengahan abad kedua Hijriyah (Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, Malik dan sahabat-sahabatnya, Asy Syafi’I dan sahabat-sahabatnya, Ahmad dan sahabt-sahabatnya, dan lain sebagainya) perbedaan paham yang aslinya terbatas, menjadi meluas dan tak terbatas lagi pada sebab-sebab yang tiga, yang menjadi pokok perselisihan sahabat itu, melainkan sudah melampaui sebab-sebab yang lain, bahkan mengenai sumber dan kecenderungan dalam segi membahas.
Dalam kejadian tersebut ini perselisihan tidak lagi terbatas dalam masalah furu’iyah, bahkan terjadi pula dalam soal masalah ushul. Karenanya timbullah beberapa pendapat dalam kitab tasyri’ dan timbullah pula hal-hal yang menyebabkan pemuka-pemuka tasyri’ pecah kepada golongan-golongan (aliran-aliran) yang masing-masingnya mempunyai dasar, aliran yang berbeda dengan lainnya, sehingga masing-masing mereka mempunyai hukum-hukum furu’ yang mereka istinbatkan dari dasar-dasar yang mereka pegang.
Peselisihan langkah legislasi imam-imam ahli ijtihad ini kembalinya kepada tiga perkara:
1) Dalam penilaian sebagian sumber legislasi
2) Dalam tendensi legislasi
3) Dalam sebagian prinsip bahasa yang memang termasuk ke dalam pengertian nash-nash hokum .
Perselisihan mereka dalam penilaian sumber-sumber legislasi yang jelas dalam masalah-masalah:
• Dalam masalah teguhnya kepercayaan kepada Rasulullah SAW karena teguh atau tidaknya kepercayaan kepada orang-orang yang membawa Sunnah itu (jalan sanadnya). Sebab keteguhan kepercayaan kepada sunnah Rasulullah SAW itu tergantung kepada kepercayaan penerimanya kepada semua perawinya dan bagaimana cara meriwayatkannya. Dalam teori ini semua imam ahli ijtihad berlainan cara. Ulama’ ahli ijtihad di Irak, yaitu imam Abu Hanifah dan semua sahabatnya memakai teori dengan memakai hujjah hokum dengan sunnah-sunnah yang mutawatir dan sunnah-sunnah yang masyhur saja, dan mengunggulkan sunnah yang diriwayatkan oleh Tsiqah terutama sunnah yang diriwayatkan oleh ahli fiqih. Karena itu Abu Yusuf (sahabat Abu Hanifah) berkata:
وعليك بما عليه الجماعة من الحديث ومايعرفه الفقهاء
Artinya: “anda berpeganglah kepada hadits yang diriwayatkan oleh jama’ah (beberapa orang ahli hadits) dan hadits yang dikenal oleh fuqaha’ (ulama fiqih).
• Dalam masalah fatwa-fatwa sahabat dan penilaiannya. Imam-imam mujtahid banyak berlainan paham juga tentang fatwa-fatwa hasil ijtihad sahabat yang timbulnya dari perorangan mereka. Maka imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnnya mengambil langkah legislasi dengan cara berpegang kepada fatwa yang mana saja tanpa ada suatu ikatan tententu dan tidak keluar dari semuanya itu.
• Dalam masalah qiyas sebagai ahli ijtihad dari partai syi’ah dan golongan azh zhahiriyah tidak suka alias menolak dasar ijtihad qiyas untuk dijadikan sumber legislasi dalam islam, karena itu mereka namakan “Nufaatul Qiyas” atau golongan yang membuang qiyas, kalau Jumhurul Aimmah (mayoritas imam-imam ahli ijtihad) maka mereka berpedoman kepada qiyas juga mereka dikategorikan sebagai sumber legislasi setelah al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Hanya saja walaupun mereka telah ittifaq (sepakat) bahwa qiyas ini merupakan hujjah (pedoman) hokum, mereka berbeda faham tentang perkara apakah yang menjadi illat (penyebab datangnya) hokum dan hokum qiyas itu ditetapkan berdasarkan kepada perkara apa. Karena perkara inilah, maka juga timbul proses perbedaan hokum.
Selain itu, seperti dijelaskan Nahrawi, terdapat berbagai faktor dalam masyarakat yang mendorong aktiviti keilmuan yang pada akhirnya melahirkan berbagai mazhab fikih, antara lain :
Pertama, kestabilan politik dan kesejahteraan ekonomi.
Kedua, kesungguhan para ulama dan fukaha.
Ketiga, perhatian para khalifah terhadap fikih dan fukaha.
Keempat, pembukuan ilmu-ilmu (tadwîn al-‘ulûm). Pada masa ini telah dilakukan pembukuan berbagai cabang ilmu seperti hadis, fikih, dan tafsir yang memudahkan tersedianya rujukan untuk mengembangkan ilmu fikih.
Kelima, adanya berbagai perdebatan dan diskusi (munâzharât) di antara ulama. Ini merupakan faktor terbesar yang merangsang perkembangan ilmu fikih.
Demikianlah terbentuknya madzhab-madzhab fiqih yang kemudian dibangsakan kepada mujtahidin-mujtahidin yang menjadi imamnya dari madzhab-madzhab masing-masing.
5. Madzhab-Madzhab Ahli Sunnah yang masih Berkembang
Madzhab-madzab ahli sunnah yang jama’iyah, ketika mulai tumbuh, berbeda satu sama lainnya, menurut ukuran jauh dekatnya kepada pemakaian ra’yi atau rasio.
Berdasarkan ini madzhab Ahli Sunnah terbagi kepada dua madrasah: madrasah ra’yi dan madrasah hadits.
Kemudian kedua madzhab ini berangsur-angsur kian lama kian rapat, hingga tidak ada lagi pemisahan antara keduanya. Sejarah ringkas pertumbuhan madzhab-madzhab tersebut.
a. Madzhab Hanafi
Adalah seorang imam yang terkemuka dalam bidang qiyas dan istihsan. Beliau mempergunakan qiyas dan istihsan apabila beliau tidak memperoleh nash dalam kitabullah, sunnaturRasul atau ijma’. Imam abu hanifah adalah imam yang menganjurkan penggunaan akal atau ra’yi.
Fiqih Imam Abu Hanafi memiliki cara yang modern dan manhaj tersendiri dalam kancah perfiqihan dan tidak ada sebelumnya. Imam Asy Syafi’I berkata, “Semua orang dalam hal fiqih bergantung kepada Imam Abu Hanafi.” Imam Malik setelah berdiskusi dengan Imam Abu Hanafi berkata, “Sungguh ia seorang yang ahli fiqh”.
Imam Abu Hanafi memiliki manhaj tersendiri dalam meng-istinbatkan hokum. Beliau pernah berkata, “Saya mengambil dari kitab Allah, jika tidak ada maka dari sunnah Rasulullah dan jika tidak ada pada keduanya saya akan mengambil pendapat sahabat. Saya memilih salah satu dan meninggalkan yang lain, dan saya tidak akan keluar dari pendapat mereka dan mengambil pandapat orang lain, dan jika sudah sampai kepada pendapat Ibrahim, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ibnu Sirin, dan Sa’id bin Al-Musayyib maka saya akan berijtihad seperti mereka berijtihad”.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bawa manhaj Imam Abu Hanafi dalam meng-istinbat hokum adalah sebagai berikut :
1) Al-Qur’an, merupakan sumber utama syariat dan kepadanya dikembalikan semua hokum dan tidak ada satu sumber hokum satu pun, kecuali dikembelikan kepadanya.
2) Sunnah, sebagai penjelas kandungan al-Qur’an, menjelaskan yang global dan alat dakwah bagi Rasulullah SAW dalam menyampaikan risalah Tuhanya. Maka barang siapa yang tidak mengamalkan sunnah, sama artinya ia tidak mengakui risalah Tuhannya.
3) Pendapat sahabat, karena mereka hidup satu zaman dengan Rasulullah SAW, lebih memakai sebab turunnya ayat, kesesuaian setiap ayat dan hadits, dan merekalah yang membawa ilmu Rasulullah SAW kepada umatnya.
4) Qiyas, beliau menggunakan quays ketika tidak ada nash al-Qur’an atau sunnah atau ucapan sahabat, beliau menggali illat dan jika menemukannya ia akan mengujinya yang terjadi dengan menerapkan illat yang ditemukannya.
5) Al-Istihsan, yaitu meninggalkan qiyas zhahir dan mengambil hokum yang lain, karena qiyas zhahir terkadang tidak dapat diterapkan dalam sebagian masalah. Oleh karena itu, perlu mencari illat lain dengan cara qiyas khafi, atau karena qiyas zhahir bertentangan dengan nash sehingga harus ditinggalkan
6) Ijma’, yang menjadi hujjah berdasarkan kesepakatan ulama walaupun mereka berbeda pendapat apakh ijma’ ini pernah ada setelah Rasulullah SAW
7) Al-‘Urf (adapt istiadat), yaitu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan kaum muslimin dan tidak ada nash, baik berupa al-Qur’an, sunnah atau perbuatan sahabat, berupa adapt yang baik, serta tidak bertentangan dengan nash sehingga dapat dijadikan hujjah.
b. Madzhab Maliki
Al-Qadhi Iyadh dalam kitab Al-Madarik berkata: “Malik mendahulukan Kitabullah menurut tertib terang samarnya. Yakni beliau mendahulukan nash, kemudian yang dhahir kemudian yang mafhum. Sesudah itu beliau berpegang kepada As Sunnah. Dalam hal ini beliau menadahulukan yang mutawatir atas yang masyhur, yang masyhur atas ahad sebagaimana beliau mendahulukan yang nash atas yang dhahir dan yang dhahir atas yang mafhum. Sesudahnya beliau berpegang kepada ijma’, baru kemudian beliau berpegang kepada qiyas. Selain itu beliau mempergunakan maslahah mursalah.
Madzhab ini berkembang di kota madinah dan kemudian menyebar ke Hijaz, Basrah, Mesir, Andalusia, hingga Sudan. Dan di baghdad, madzhab ini mulai melemah setelah abad keempat hijriah.
c. Madzhab Syafi’I
Di dalam ar Risalah diterangkan dasar-dasar hokum dalam madzhabnya, ialah:
Al-Qur’an menurut dhahirnya
As Sunnah menurut ahadnya
Ijma’
Qiyas
Asy Syafi’I telah dapat mengumpulkan antara thareqat Ahlur Ra’yi dan Ahlul Hadits. Lantaran itu menjadilah madzhabnya Ahlul Ra’yi. Beliau menerima Al-Qur’an, as Sunnah, ijma’, qiyas dan al Istidlal, dan menolak istihsan.
d. Madzhab Hambali
Imam Hambali mendirikan madzhabnya di atas lima dasar hokum sebagai berikut:
1) Al-Qur’an dan as Sunnah
2) Fatwa sahabat, apabila tidak memperoleh nash
3) Pendapat sebagian sahabat
4) Hadist mursal atau hadits dha’if, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seseorang sahabat
5) Jalur terakhir adalah dengan Qiyas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar