Minggu, 21 Juni 2009

ruju' dalam islam dan hukum perkawinan

Pengertian ruju’

Ruju’ berasal dari kata ruj’ah yang artinya kembali. Maksudnya adalah kembali hidup bersama suami istri antara laki – laki dan perempuan yang melakukan perceraian dengan jalan talak raj’i selama masih dalam masa iddah tanpa akad nikah baru.

Menurut syara’ adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah ditalak raj’i.

Ruju’ adalah hak laki – laki untuk kembali pada mantan istrinya selama masih dalam masa iddah. Sehingga mantan istri tidak dapat membatalkannya sekalipun suaminya berkata “tidak ada ruju’ bagimu” , karena mantan suaminya masih berhak untuk meruju’nya. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat Al – Baqarah ayat 228:

Wanita - wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Bila seorang laki – laki telah menceraikan istrinya, ia diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk ruju’ kembali dengan syarat keduanya betul – betul ingin berbaikan dan untuk islah. Dan apabila dalam ruju’ itu tidak ada niatan untuk islah, maka ruju’ haram hukumnya. Inilah maksud dari ayat di atas. Dan dapat pula dipahami bahwa ayat ini terutama sekali ditujukan pada suami bukan pada istri. Karena ruju’ adalah hak suami.

Sedang definisi ruju’ dalam pengertian fiqh menurut al Mahalli adalah :

الرد الى النكاح من طالك غير بائن في العدة

Kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan bain, selama masih dalam masa iddah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ), ruju’ adalah kembalinya suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih dalam masa iddah.

Kata iddah berasal dari bahasa Arab yang berarti menghitung, menduga,

mengira. Menurut istilah, ulama-ulama memberikan pengertian sebagai berikut :

1. Syarbini Khatib dalam kitabnya Mugnil Muhtaj mendifinisikan iddah dengan “Iddah adalah nama masa menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau karena sedih atas meninggal suaminya.

2. Drs. Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi memberikan pengertian iddah dengan “ Masa yang tertentu untuk menungu, hingga seorang perempuan diketahui kebersihan rahimnya sesudah bercerai.”

3. Prof. Abdurraahman I Doi, Ph.D memberikan pengertian iddah ini dengan “suatu masa penentian seorang perempuan sebelum kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai darinya.”

4. Sayyid Sabiq memberikan pengertian dengan “ masa lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya.”

Selain pengertian tersebut diatas, banyak lagi pengertian-pengertian lain yang diberikan para ulama, namun pada prinsipnya pengertian tersebut hampir bersamaan maksudnya yaitu diterjemahkan dengan masa tunggu bagi seorang perempuan untuk bisa rujuk lagi dengan bekas suaminya atau batasan untuk boleh kawin lagi.


Hukum Ruju’

Dalam pelaksanaan ruju’, fiqh mengatur adanya hukum – hukum dalam pelaksanaan dan pengadaan ruju’. Hukum – hukum tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Wajib, bagi suami yang menceraikan salah seorang istrinya sebelum ia menyempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang dithalaq.

  2. Haram, apabila ruju’nya untuk menyakiti istri dan tidak ada niat untuk ihsan.

  3. Makruh, apabila cerai lebih baik dan bermanfaat bagi keduanya.

  4. Jaiz atau boleh, hukum ini adalah hukum asli ruju’.

  5. Sunnah, bila suami berniat memperbaiki keadaan istri atau apabila ruju’ lebih bermanfaat bagi keduanya.

Dalam satu sisi, ruju’ adalah membangun kembali kehidupan perkawinan. Bila membangun kehidupan yang pertama kali disebut dengan pernikahan atau perkawinan, maka untuk melanjutkan hubungan tersebut disebut dengan ruju’. Dalam mendudukkan dasar hukum dari ruju’, terdapat perbedaan pendapat ulama. Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum dari ruju’ adalah sunnah. Dalil yang digunakan oleh jumhur ulama adalah firman Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat 229

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.”

Dan dalam surat al Baqarah ayat 228

Wanita - wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”


Ruju’ dalam UU. No. 1 tahun 1974 dan KHI

Permasalahan ruju’ dalam perundangan perkawinan Indonesia, UU No. 1 tahun 1974, diatur dalam pasal 10 yang berbunyi :

Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantaar mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.”

Dalam KHI diatur pula tentang masalah ruju’yaitu :

  1. Umum

  1. Seorang suami dapat meruju’ istrinya yang dalam masa iddah. (pasal 163 KHI)

  2. Ruju’ dapat dilakukan dalam hal – hal :

  1. Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak telah terjatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan sebelum ad – dukhul.

  2. Putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan – atau alasan – alasan selain zina atau khulu’.

  1. Seorang wanita dalam masa iddah talak raj’i berhak mengajukan keberatan atas kehendak ruju’ dari bekas suaminya dihadapan pegawai pencatat nikah disaksikan dua orang saksi. ( pasal 164 KHI )

  2. Ruju’ yang dilakukan tanpa persetujuan istri dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan pengadilan agama. ( pasal 165 KHI )

  3. Ruju’ harus dapat dibuktikan dengan kutipan buku pendaftaran ruju’ dan apabila bukti itu hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mangeluarkan semula. (pasal 166 KHI)

Syarat dan Rukun Ruju’

Sebagaimana telah dikatakan di awal, ruju’ dapat dilakukan ketika istri mengalami talak raj’i. Dengan rukun dan syarat sebagai berikut :

  1. Laki – laki yang meruju’

Syarat – syarat bagi suami yang meruju’ :

  1. Laki – laki yang meruju’ adalah suami bagi perempuan yang diruju’ yang dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah.

  2. Laki – laki yang meruju’ itu mentinya adalah laki – laki yang mempu melaksanakan pernikahan sendirinya, maksudnya adalah bahwa dia adalah laki – laki dewasa, sehat akalnya dan bertindak dengan kesadarannya sendiri dan bukan atas paksaan dari orang lain

  1. Ada perempuan yang diruju’

Adapun syarat bagi perempuan yang diruju’ adalah :

  1. Perempuan itu adalah istri yang sah dari laki – laki yang meruju’

  2. Istri dicerai dengan bentuk talak raj’i

  3. Istri masih dalam masa iddah talak raj’i dan belum habis masa iddahnya

  4. Istri telah digauli pada masa perkawinan itu. Dan apabila istri belum digauli maka ia tidak memiliki masa iddah

  1. Saksi

Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat antara ulama. Diantaranya adalah pendapat jumhur ulama yang didalamnya termasuk juga Imam Syafi’i mengisyaratkan adanya dua orang saksi sebagaimana dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan adanya perintahAllah untuk itu, sebagaimana dalam surat At – Thalaq ayat 2

Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.”

Dalam ayat ini ditunjukkan bahwa adanya saksi dalam ruju’ adalah wajib. Sehingga lafald ruju’ tidak boleh dengan lafald kinayah atau dalam hati, karena saksi tidak akan mengetahui hal tersebut.

Dan pendapat kedua, pendapat jumhur ulama termasuk Imam Ahmad yang menyatakan bahwa dalam ruju’ tidak perlu saksi. Karena ruju’ hanya melanjutkan perkawinan yang telah terputus dan bukan memulai perkawinan yang baru, sehingga hukum adanya saksi dalam ruju’ bukanlah wajib.

Menurut ulama Syi’ah Imamiyah persaksuan dalam ruju’ adalah sunnah sehingga ruju’ boleh dilakukan dengan lafald kinayah.

  1. Shighat

  1. Terus terang. Misalnya dengan ucapan,”aku ingin menikahimu kembali.”

  2. Sindiran. Misalnya dengan ucapan, “ saya pegang engkau.”

Ruju’ dianggap tidak sah apabila kalimatnya menggantung, seperti “ saya kembali padamu jika kamu mau” atau “ saya kembali padamu bila keadaan memungkinkan.”


Tata cara Ruju’

Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama istrinya kepada pegawai pencatatan nikah atau P3NTR di daerah tempat tinggal istri dengan membawa surat tanda kutipan Buku Pendaftaran Talak dan surat keterangan lainnya yang diperlukan. ( pasal 32 PMA Nomor 3/1975 )

Ruju’ dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan P3NTR yang kemudian memeriksa dan menyelidiki pemenuhan syarat – syarat meruju’ yang ada dalam hukum munakahat. Setelah suami menyatakan ruju’nya, masing – masing yang bersangkutan beserta saksi – saksi menandatangani Buku Pendaftaran Ruju’. Kemudian setelah itu, P3NTR menjelaskan dan menasehati tentang hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan ruju’. Daftar ruju’ dibuat rangkap dua, sehelai dikirim ke PPN di daerahnya dan selembar lagi disimpan dalam Buku Pendaftaran Ruju’. ( pasal 33 PMA Nomor 3/1975 )

Pengiriman lembar pertama selambat – lambatnya 15 hari setelah ruju’ dilakukan.

Apabila lembar pertama dari daftar ruju’ hilang, maka oleh P3NTR dibuatkan salinan dari lembar kedua, dengan berita acara tentang sebab – sebab hilangnya tersebut, pegawai pencatatan nikah membuat surat – surat terjadinya ruju’ atau SK terjadinya ruju’ dan mengirimkan kepada PA ditempat terjadinya talak yang bersangkutan dan kepada suami dan istri masing – masing diberikan kutipan buku pendaftaran ruju’ menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama. Kemudian suami atau kuasa hukumnya dengan buku tersebut mengurus atau mengambil kutipan akta nikah setelah diberi catatan oleh PA tersebut. Isi catatan tersebut adalah tempat dan tanggal ruju’ diikrarkan dan nomor serta tanggal kutipan buku pendaftaran ruju’ dan ditandatangani oleh panitera. ( pasal 32, 33, 34 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 )

Istri atau mantan istri dapat diruju’ ketika masih dalam masa iddah ( pasal 32 (3)) peraturan menteri agama nomor 3 tahun 1975 menyatakan bahwa tenggang waktu iddah itu adalah 90 hari, lihat juga dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 11dan pasal 39 PP No. 9/1975.

Surat yang harus dibawa saat meruju’ :

  1. SK ruju’ dari Lurah desanya.

  2. Kutipan buku pendaftaran ruju’ atau cerai.

Setelah membawa membawa persyaratan tersebut, PPN memeriksa pemenuhan persyaratan yang lainnya. Kemudian suami istri tersebut mengikrarkan ruju’ dihadapan PPN dan saksi – saksi. PPN mencatat pendaftaran ruju’ dalam Buku Pendaftaran Ruju’ dan ditandatangani oleh yang bersangkutan. Kemudian PPN membuatkan kutipan ruju’ untuk suami yang meruju’ dan istri yang diruju’. Dan PPN melaporkan pada PA tempat terjadinya talak.

kedudukan harta dalam islam

Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan Al-Qur’an, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan iman kepada Allah, dan bahwa Dia-lah pengatur segala hal dan kuasa atas segalanya.Manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya karena hikmah Ilahiah. Hubungan manusia dengan lingkungannya diikat oleh berbagai kewajiban, sekaligus manusia juga mendapatkan berbagai hak secara adil dan seimbang.

  1. Sebagai hiasan dan kebutuhan

Dijelaskan dalam Al – Qur’an bahwa harta adalah hiasan ( zinah ). Dalam firman Allah dinyatakan :

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. ( Q.S Al Kahfi : 46 )

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). ( Q.S Al Imran : 14 )

Pada ayat – ayat diatas dijelaskan bahwa kebutuhan manusia dan kesenangan manusia terhadap harta sama dengan kebutuhan manusia terhadap anak atau keturunan, maka kebutuhan manusia akan harta adalah kebutuhan mendasar. Dan dalam surat Ad – Dhuha ayat 8, Allah bersabda :

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.

  1. Sebagai amanat

Disamping sebagai hiasan, harta juga berkedudukan sebagai amanat (fitnah ), sebagaimana dalam ayat Al – Qur’an:

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. ( Q.S At – Taghobun : 15 )

Karena harta adalah titipan, maka manusia tidaklah memiliki harta secara mutlak, karena itu dalam pandangan tentang harta terdapat hak – hak orang lain, seperti zakat harta dan yang lainnya.

  1. Sebagai musuh

Kedudukan harta yang berikutnya adalah sebagai musuh, sebagaimana dalam Al – Qur’an :

Hai orang-orang mukmin, Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( Q.S At – Taghobun : 14 )

Dalam ayat ini, sebagian harta diangggap sebagai musuh karena kadang-kadang isteri atau anak dapat menjerumuskan suami atau Ayahnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dibenarkan agama tetapi ayat ini tidak menjelaskan tentang kedudukan harta sebagai musuh hanya saja beberapa macam harta dapat menjadi musuh dan mencelakakan pemiliknya. Sebagaimana dalam hadist :

تعس عبد الدينر و عبد الدرهم و عبد الخميص ان اعطي رضي و ان لم يعط سخط تعس و ا نتكس و اذا شيك فلا انتقش ( رواه الترمذى )

Celakalah seorang hamba dinar, orang yang menjadi hamba dirham, orang yang menjadi hamba toga atau pakaian, jika diberi ia bangga, bila tidak diberi dia marah. Mudah – mudahan dia celaka dan merasa sakit. Jika ia terkena musibah, ia takkan menemukan jalan keluarnya. ( H.R Tirmidzi )

لعن عبد الدينار و لعن عبد الدرهم ( رواه الترمذى )

Terkutuklah orang yang menjadi hamba dinar dan terkutuk pulalah orang yang menjadi hamba dirham. ( H.R Tirmidzi ).

Terdapat dua ayat di dalam Al-Qur’an yang menyebut harta dan anak sebagai fitnah, yaitu surah Al-Anfal ayat 28 dan surah At-Taghabun ayat 15, “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Perbedaannya: pada surah Al-Anfal, Allah menggunakan redaksi pemberitahuan “ketahuilah”, sedangkan pada surah At-Taghabun menggunakan redaksi penegasan “sesungguhnya”. Namun ungkapan yang mengakhiri kedua ayat tersebut sama, yaitu “di sisi Allah-lah pahala yang besar”. Sehingga bisa dipahami bahwa fitnah harta dan anak bisa menjerumuskan ke dalam kemaksiatan, namun di sisi lain justru bisa menjadi peluang meraih pahala yang besar dari Allah swt. Dan makna yang kedua itulah yang dikehendaki oleh Allah, sehingga Allah mengingatkannya di akhir ayat yang berbicara tentang fitnah anak dan harta “dan di sisi Allah-lah pahala yang besar”.

Fitnah dalam kedua ayat ini bukan dalam arti Bahasa Indonesia, yaitu setiap perkataan yang bermaksud menjelekkan orang, seperti menodai nama baik atau merugikan kehormatannya. Tetapi fitnah yang dimaksud dalam konteks harta dan anak seperti yang dikemukakan oleh Asy-Syaukani adalah bahwa keduanya dapat menjadi sebab seseorang terjerumus dalam banyak dosa dan kemaksiatan, demikian juga dapat menjadi sebab mendapatkan pahala yang besar. Inilah yang dimaksud dengan ujian yang Allah uji pada harta dan anak seseorang. Fitnah di sini juga dalam arti bisa menyibukkan atau memalingkan dan menjadi penghalang seseorang dari mengingat dan mengerjakan amal taat kepada Allah, seperti yang digambarkan oleh Allah tentang orang-orang munafik sehingga Dia menghindarkan orang-orang beriman dari kecenderungan ini dalam firman-Nya, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Al-Munafiqun: 9). Rasulullah saw juga menyebut kedua kemungkinan ini dalam hadits Aisyah ra ketika beliau memeluk seorang bayi, ”Sungguh mereka (anak-anak) dapat menjadikan seseorang kikir dan pengecut, dan mereka juga adalah termasuk dari haruman Allah swt”.

Fitnah anak dalam arti bisa mengganggu dan menghentikan aktivitas seseorang pernah dirasakan juga oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Daud dari Abu Buraidah bahwa ketika Rasulullah saw sedang menyampaikan khutbahnya kepada kami, tiba-tiba lewatlah kedua cucunya Hasan dan Husein mengenakan baju merah sambil berlari dan saling kejar mengejar. Begitu melihat kedua cucunya, Rasulullah kontan turun dari mimbar dan mengangkat keduanya seraya mengatakan, ”Maha Benar Allah dengan firman-Nya, ”Sesungguhnya harta dan anak-anak kamu adalah fitnah”. Aku tidak sabar melihat keduanya sampai aku menghentikan ceramahku dan mengangkat keduanya”. Dalam konteks ini, Ibnu Mas’ud mengajarkan satu doa yang tepat tentang harta dan anak. Beliau mengungkapkan, ”Janganlah kalian berdoa, dengan doa ini, ”Ya Allah, lindungilah kami dari fitnah”. Karena setiap kalian ketika pulang ke rumah akan mendapati harta, anak dan keluarganya bisa mengandungi fitnah, tetapi katakanlah, ”ya Allah aku berlindung kepada engkau dari fitnah yang menyesatkan”.

Secara korelatif tentang fitnah harta dan anak dalam surah At-Taghabun, Imam Ar-Razi dalam At-Tafsir Al-Kabir menyebutkan, karena anak dan harta merupakan fitnah, maka Allah memerintahkan kita agar senantiasa bertaqwa dan taat kepada Allah setelah menyebutkan hakikat fitnah keduanya, ”Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (At-Taghabun: 16). Apalagi pada ayat sebelumnya, Allah menegaskan akan kemungkinan sebagian keluarga berbalik menjadi musuh bagi seseorang, ”Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (At-Taghabun: 14)

Sedangkan tentang fitnah harta dan anak dalam surah Al-Anfal, Sayyid Quthb menyebutkan korelasinya dengan tema amanah ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (Al-Anfal: 27), bahwa harta dan anak merupakan objek ujian dan cobaan Allah swt yang dapat saja menghalang seseorang menunaikan amanah Allah dan Rasul-Nya dengan baik.

Padahal kehidupan yang mulia adalah kehidupan yang menuntut pengorbanan dan menuntut seseorang agar mampu menunaikan segala amanah kehidupan yang diembannya. Maka melalui ayat ini Allah swt ingin memberi peringatan kepada semua khalifah-Nya agar fitnah harta dan anak tidak melemahkannya dalam mengemban amanah kehidupan dan perjuangan agar meraih kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat. Dan inilah titik lemah manusia di depan harta dan anak-anaknya. Sehingga peringatan Allah akan besarnya fitnah harta dan anak diiringi dengan kabar gembira akan pahala dan keutamaan yang akan diraih melalui sarana harta dan anak.

Lebih jauh, korelasi ayat di atas dapat ditemukan dalam beberapa ayat yang lain. Al-Qurthubi misalnya, menemukan korelasinya dengan surah Al-Kahfi: 46 yang bermaksud, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”, bahwa harta kekayaan dan anak wajar menjadi perhiasan dunia yang menetramkan pemiliknya karena pada harta ada keindahan dan manfaat, sedangkan pada anak ada kekuatan dan dukungan.

Namun demikian kedudukan keduanya sebagai perhiasan dunia hanyalah bersifat sementara dan bisa menggiurkan serta menjerumuskan. Maka sangat tepat jika ayat “Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu adalah fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (At-Taghabun: 15) dan ayat “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”.(Al-Munafiqun: 9) menjadi pengingat jika kemudian terjadi harta dan anak justru menjauhkan pemiliknya dari Allah swt.

Berbeda dengan At-Thabari, ia memahami korelasi kontradiktif ayat ini dengan surah Ali Imran ayat 38, “Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa”. Menurut Ath-Thabari, secara tekstual ayat ini bisa dipahami bertentangan dengan ayat yang memberi peringatan akan kemungkinan bahaya dan fitnah yang ditimbulkan dari harta dan anak. Padahal nabi Zakaria sendiri berdoa agar dikaruniakan keturunan yang banyak. Maka pemahaman yang cenderung kontradiktif ini diluruskan sendiri oleh Ath-Thabari dengan mengemukakan bahwa anak yang di pohon oleh Zakaria adalah anak keturunan yang shaleh yang bisa memberi manfaat di dunia dan akhirat.

Sedangkan yang dikhawatirkan adalah kriteria harta dan anak yang justru melalaikan dari mengingat Allah swt seperti yang Allah tegaskan dalam salah satu firman-Nya, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (Al-Munafiqun: 9). Dalam konteks ini, Nabi Muhammad sendiri pernah mendoakan harta dan anak yang banyak kepada sahabat Anas bin Malik ra, “Ya Allah perbanyaklah untuknya harta dan anak, dan berkahilah setiap apa yang Engkau anugerahkan kepadanya”.

Bahaya harta, tergantung sifat dan perbuatan kita terhadapnya:

1. Lebih banyak harta, lebih keras hisabnya

Nabi SAW bersabda, ”Harta sebagai kenikmatan yang akan dimintai pertanggungan jawabnya.” (Tirmidzi, Ibnu Majah)

Allah SWT berfirman, ”Kemudian pasti kamu akan ditanya tentang semua nikmat yang telah kamu rasakan di dunia.” (At-Takatsur:8)

Sabda Nabi SAW, ”Halalnya dunia itu hisab dan haramnya itu adzab.” (Ibnu Abidunya)

2. Timbul penyakit cinta dunia dan melalaikan Akherat

Sabda Nabi SAW, ”Kemanisan dunia adalah kepahitan akherat. Dan pahitnya dunia adalah manisnya akherat.” (Thabrani, Baihaqi, Hakim)

Sabda Nabi SAW lainnya, ”Cinta dunia adalah induk segala kesalahan.” (Baihaqi)

Pada hakikatnya semua harta yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah. Sebagaimana dalam firmanNya :

Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. ( Q.S Al Baqarah 284 )

Orang - orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". Katakanlah: "Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-dosamu?" (kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah manusia(biasa) diantara orang-orang yang diciptakan-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. dan kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu). ( Q.S Al – Maidah : 18 )

Orang - orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.( Q.S Al Baqarah : 120 )

Konsekwensi logis dari ayat di atas adalah:

  1. Manusia bukanlah pemilik mutlak tapi dibatasi oleh hak – hak Allah, maka wajib baginya untuk mengeluarkan sebagian kecil hartanya untuk berzakat dan ibadah lainnya.

  2. Harta perorangan boleh digunakan untuk umum dengan syarat pemiliknya memperoleh imbalan yang wajar.

  3. Cara – cara pengambilan manfaat harta mengarah kepada kemakmuran bersama. Pelaksanaannya dapat diatur oleh masyarakat melalui wakil – wakilnya

tafsir al maraghi

Tafsir al-Maraghi merupakan salah satu tafsir Alquran kontemporer. Nama al-Maraghi diambil dari nama belakang penulisnya, Ahmad Musthafa al-Maraghi. Tafsir ini merupakan hasil dari jerih payah dan keuletannya selama kurang lebih 10 tahun, dari tahun 1940-1950 M.

Tafsir al-Maraghi pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 di Kairo. Pada terbitan yang pertama ini, Tafsir al-Maraghi terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain sesuai dengan pembagian juz Alquran. Kemudian, pada penerbitan yang kedua terdiri dari 10 jilid, di mana setiap jilid berisi 3 juz, dan juga pernah diterbitkan ke dalam 15 Jilid, di mana setiap jilid berisi 2 juz. Kebanyakan yang beredar di Indonesia adalah Tafsir al-Maraghi yang diterbitkan dalam 10 jilid.

Sejarah Singkat Syekh Al-Maraghi

Nama lengkapnya adalah Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi. Kadang-kadang nama tersebut diperpanjang dengan kata Beik, sehingga menjadi Ahmad Musthafa al-Maraghi Beik. Ia berasal dari keluarga yang sangat tekun dalam mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan dan peradilan secara turun-temurun, sehingga keluarga mereka dikenal sebagai keluarga hakim.

Al-Maraghi lahir di kota Maraghah, sebuah kota kabupaten di tepi barat sungai Nil sekitar 70 Km di sebelah selatan kota Kairo, pada tahun 1300 H./1883 M. Nama Kota kelahirannya inilah yang kemudian melekat dan menjadi nisbah (nama belakang) bagi dirinya, bukan keluarganya. Ini berarti nama al-Maraghi bukan monopoli bagi dirinya dan keluarganya.

Ia mempunyai 7 orang saudara. Lima di antaranya laki-laki, yaitu Muhammad Musthafa al-Maraghi (pernah menjadi Grand Syekh Al-Azhar), Abdul Aziz al-Maraghi, Abdullah Musthafa al-Maraghi, dan Abdul Wafa’ Mustafa al-Maraghi. Hal ini perlu diperjelas sebab seringkali terjadi salah kaprah tentang siapa sebenarnya penulis Tafsir al-Maraghi di antara kelima putra Mustahafa itu.

Keslahkaprahan ini terjadi karena Muhammad Musthafa al-Maraghi (kakanya) juga terkenal sebagai seorang mufassir. Sebagai mufassir, Muhammad Musthafa juga melahirkan sejumlah karya tafsir, hanya saja ia tidak meninggalkan karya tafsir Alquran secara menyeluruh. Ia hanya berhasil menulis tafsir beberapa bagian Alquran, seperti surah al-Hujurat dan lain-lain. Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud di sini sebagai penulis Tafsir al-Maraghi adalah Ahmad Musthafa al-Maraghi, adik kandung dari Muhammad Musthafa al-Maraghi.

Masa kanak-kanaknya dilalui dalam lingkungan keluarga yang religius. Pendidikan dasarnya ia tempuh pada sebuah Madrasah di desanya, tempat di mana ia mempelajari Alquran, memperbaiki bacaan, dan menghafal ayat-ayatnya, sehingga sebelum usi 13 tahun ia sudah menghafal seluruh ayat Alquran. Di samping itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasa-dasar ilmu agama yang lain.

Setelah menamatkan pendidikan dasarnya tahun 1314 H./1897 M, atas persetujuan orangtuanya, al-Maraghi melanjutkan pendidikannya ke Universitas al-Azhar di Kairo. Ia juga mengikuti kuliah di Universitas Darul ‘Ulum Kairo. Dengan kesibukannya di dua perguruan tinggi ini, al-Maraghi dapat disebut sebagai orang yang ulet, sebab keduanya berhasil diselesaikan pada saat yang sama, tahun 1909 M.

Di kedua Universitas tersebut, al-Maraghi mendapatkan bimbingan langsung dari tokoh-tokoh ternama dan ahli di bidangnya masing-masing pada waktu itu, seperti: Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Bukhait al-Muthi’i, Ahmad Rifa’i al-Fayumi, dan lain-lain. Merekalah antara lain yang menjadi narasumber bagi al-Maraghi, sehingga ia tumbuh menjadi sosok intelektual muslim yang menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama.

Setelah menamatkan pendidikannya di Universitas al-Azhar dan Darul ‘Ulum, ia terjun ke masyarakat, khususnya di bidang pendidikan dan pengajaran. Beliau mengabdi sebagai guru di beberapa madrasah dengan mengajarkan beberapa cabang ilmu yang telah dipelajari dan dikuasainya. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat sebagai Direktur Madrasah Mu’allimin di Fayum, sebuah kota setingkat kabupaten yang terletak 300 Km sebelah barat daya kota Kairo. Dan, pada tahun 1916, ia diminta sebagai Dosen Utusan untuk mengajar di Fakultas Filial Universitas al-Azhar di Qurthum, Sudan, selama empat tahun.

Pada tahun 1920, setelah tugasnya di Sudan berakhir, ia kembali ke Mesir dan langsung diangkat sebagai dosen Bahasa Arab di Universitas Darul ‘Ulum serta dosen Ilmu Balaghah dan Kebudayaan pada Fakultas Bahasa Arab di Universitas al-Azhar.

Pada rentang waktu yang sama, al-Maraghi juga menjadi guru di beberapa madrasah, di antaranya Ma’had Tarbiyah Mu’allimah, dan dipercaya memimpin Madrasah Utsman Basya di Kairo. Karena jasanya di salah satu madrasah tersebut, al-Maraghi dianugerahi penghargaan oleh raja Mesir, Faruq, pada tahun 1361 H.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya di Mesir, al-Maraghi tinggal di daerah Hilwan, sebuah kota yang terletak sekitar 25 Km sebelah selatan kota Kairo. Ia menetap di sana sampai akhir hayatnya. Ia wafat pada usia 69 tahun (1371 H./1952 M.). Namanya kemudian diabadikan sebagai nama salah satu jalan yang ada di kota tersebut.

Al-Maraghi adalah ulama kontemporer terbaik yang pernah dimiliki oleh dunia Islam. Selama hidup, ia telah mengabdikan diri pada ilmu pengetahuan dan agama. Banyak hal yaang telah ia lakukan. Selain mengajar di beberapa lembaga pendidikan yang telah disebutkan, ia juga mewariskan kepada umat ini karya ilmiyah. Salah satu di antaranya adalah Tafsi-r al-Maraghi, sebuah kitab tafsir yang beredar dan dikenal di seluruh dunia Islam sampai saat ini. Karya-karyanya yang lainnya adalah:

1. Al-Hisbat fi al-Islâm;
2. Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh;
3. ‘Ulûm al-Balâghah;
4. Muqaddimat at-Tafsîr;
5. Buhûts wa A-râ’ fi Funûn al-Balâghah; dan
6. Ad-Diyânat wa al-Akhlâq.

Maha Karya Syekh Al-Maraghi

Dengan segala kesibukannya, Al-Maraghi menulis karya monumentalnya ini selama kurang lebih 10 tahun. Karena komitmen dan disiplin waktu yang ketat, al-Maraghi mampu menyelesaikan penulisan tafsir ini tanpa mengganggu aktivitas primernya sebagai seorang dosen dan pengajar.

Menurut salah satu referensi, ketika al-Maraghi menulis tafsirnya ini, ia hanya membutuhkan waktu istirahat selama 4 jam, sedangkan 20 jam yang tersisa digunakan untuk mengajar dan menulis.

Penulisan tafsir ini tidak terlepas dari rasa tanggungjawab dan tuntutan ilmiah Al-Maraghi sebagai salah seorang ulama tafsir yang melihat begitu banyak problema dalama masyarakat kontemporer yang membutuhkan pemecahan. Ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi alternatif berdasarkan makna-makna yang terkandung dalam nash-nash Qur’ani. Karena alasasn ini pulalah tafsir ini tampil dengan gaya modern, yaitu disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern, seperti dituturkan oleh al-Maraghi sendiri dalam pembukaan tafsirnya ini.

Metodologi Penafsiran
Dari sisi metodologi, al-Maraghi bisa disebut telah mengembangkan metode baru. Bagi sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufassir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara "uraian global" dan "uraian rincian", sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu ma’na ijma-li dan ma’na tahlili.

Kemudian, dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi (nalar) sebagai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat. Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah (dha'if) dan susah diterima akal atau tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah. Hal ini diungkapkan oleh al-Maraghi sendiri pada muqaddimahnya tafsirnya ini.

Al-Maraghi sangat menyadari kebutuhan kontemporer. Dalam konteks kekinian, merupakan keniscayaan bagi mufassir untuk melibatkan dua sumber penafsiran ('aql dan naql). Karena memang hampir tidak mungkin menyusun tafsir kontemporer dengan hanya mengandalkan riwayat semata, selain karena jumlah riwayat (naql) yang cukup terbatas juga karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang berkembang pesat. Sebaliknya, melakukan penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan terhadap penyimpangan-penyimpangan, sehingga tafsir itu justru tidak dapat diterima.

Namun tidak dapat dipungkiri, Tafsir al-Maraghi sangat dipengaruhi oleh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama Tafsir al-Manar. Hal ini wajar karena dua penulis tafsir tersebut, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, adalah guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada Al-Maraghi di bidang tafsir. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa Tafsir al-Maraghi adalah penyempurnaan terhadap Tafsir al-Manar yang sudah ada sebelumnya. Metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Sistematika dan langkah-langkah yang digunakan di dalam Tafsir al-Maraghi adalah sebagai berikut:

1. Menghadirkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan.
Pengelompokan ini dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan. Ayat-ayat ini diurut sesuai tertib ayat mulai dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nas.

2. Penjelasan kosa kata (syarh al-mufradat).
Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat, al-Maraghi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya. Dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca.

3. Makna ayat sacara umum (Ma’na al-Ijmali).
Dalam hal ini, al-Maraghi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut. Kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh al-Maraghi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, di mana sebelumnya tidak ada mufassir yang melakukan hal serupa.

4. Penjabaran (al-Idhah).
Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang luas, termasuk menyebutkan asbab an-Nuzul jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria keshahihan riwayat para ulama. Dalam memberikan penjelasan, kelihatannya Al-Maraghi berusaha menghindari uraian yang bertele-tele (al-ithnab), serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa yang sederhana, singkat, padat, serta mudah dipahami dan dicerna oleh akal.

Itulah Gambaran umum tentang Tafsir al-Maraghi. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pembahasan kitab tafsir ini lebih mudah dipahami dan enak dicerna, sesuai dengan kebutuhan masyarakat kontemporer dalam memahami Alquran, serta relevan dengan problematika yang muncul pada masa kontemporer./taq/dari berbagai sumber

Sabtu, 20 Juni 2009

notes...

Ketika Dunia memberimu 1000 alasan tuk menangis,,, tunjukkanlah pada Dunia bahwa kamu mempunyai 1.000.000 alasan tuk tertawa dan menikmati hidup dengan penuh gembira,,, KEEP SMILE...:-)


One good step..but Allah, I'm sure U've known that all of these is only for U..


Life is not measured by the number of breaths we take. but by the moments that take our breath away....


semua akan menjadi indah,,,dikala kita bisa memberikan apa yang orang orang kita sayangi,,kebahagian,,cinta & sayang,,,


"Barang siapa mendatangi Allah swt dengan hatinya maka Allah swt akan mengirimkan hati seluruh hambaNya kepadanya"...

Jumat, 19 Juni 2009

lagi - lagi gara - gara UNAS

penerimaan murid baru sudah dibuka, apa lagi yang ga menyenangkan bagi mereka yang ingin menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. masuk TK sampai yang masuk mau ke perguruan tinggi. bukankah pendidikan adalah hak kita? sesuatu yang diatur dalam perundangan negara kita?

lagi - lagi ada golongan yang dikesampingkan dalam perolehan hak - hak tersebut. Sebut saja golongan alumni pondok pesantren yang tidak memiliki bukti keikut sertaan UNAS. ada ketentuan khusus dalam keikut sertaannya kali ini. HARUS ADA BUKTI KEIKUT SERTAAN UNAS!!!!!!!
ga ada ya ga boleh ikutan!

apa maunya dinas pendidikan seeeehhh?

apa maunya pemerintah?

apa pondok pesantren dianggap tidak bonafit untuk menghasilkan bibit unggul dan manusia - manusia yang cakap bahkan anak bangsa yang mampu mengharumkan nama bangsa?

stigma masyarakat tentang pondok pesantren dan alumninya memang mulai mengalami perbaikan. lha, bagaimana dengan pemerintah? adanya batasabn bagi santri - santri untuk mengiukuti snmptn adalah bukti nyata masih kurangnya keseriusan aparatur pemerintah dan badan - badan pengaturnya dalam mengaplikasikan nilai - nilai dalam perundangannya. legitimasi hukumnya....? hahahaha......

"kenapa harus ada aturan seperti itu? aku jadi nggak bisa kuliah... orang tuaku nggak mampu membiayai kuliahku kalau aku masuk lewat jalur mandiri." hal ini yang banyak dikeluhkan para calon peserta snmptn yang nggak bisa ikut karena katanya nggak punya nilai UNAS karena lulusan pondok pesantren.

ternyata birokrasi dalam pendidikan masih rumit dan semrawut. apa bibit - bibit unggul yang tersimpan dalam wadah atau lembaga bernama pesantren itu harus tidak dipandang sedang kontribusi mereka dalam perkembangan bangsa tidaklah sedikit dan bisa dipandang remeh. sebut saja tokoh - tokoh pemerintahan yangsring mejeng di TV, bukankah kebanyakan dari mereka punya latar belakang pondok pesantren?

ternyata indonesia masih sebegitu angkuh untuk memandang dan menghargai kaum akademik yang berlatar belakang pesantren. alumni ponpes yang di dalam negeri sendiri tidak mendapat memudahan dalam birokrasi dan penghargaan sebagai kaum intelek dan pelajar malah sangat dihargai oleh negara lain. sebut saja BJ Habibie, yang tidak dihargai oleh Indonesia dan bahkan dihujat semasa pemerintahannya malah sangat dihargai oleh jerman dan negara - negara di eropa. apa itu bukan gambaran dan pengalaman yang patut diingat oleh indonesia. kehilangan generasi emasnya?

potensi dalam bangsa yang seharusnya dikembangkan malah dimatikan. bagaimana indonesia akan maju bila hal - hal seperti ini masih terjadi? tanpa penyesalan dan tanpa usaha untuk melakukan perbaikan dari cambukan yang di dapat dari pengalamannya kehilangan dan melepas anak bangsa?

pesantren....
padahal potensi anak - anakmu tidaklah buruk, bahkan mereka setandart dan melampaui anak - anak lainnya yang bukan produk pesantren.

UNTUK DIPERHATIKAN DAN DIPERTIMBANGKAN!
apa tetap tidak akan ada perbaikan dalam sistem pendidikanmu, Indonesiaku?