Jumat, 27 Maret 2009

konstitusi indonesia

2.1. Bentuk Konstitusi Negara Indonesia


Pertama, UUD 1945 periode pertama (18 Agustus 1945 s/d 27 Desember 1949) bersama dengan penjelasan resmi dimuat dalam Berita Republik Indonesia (BRI) Tahun II (Tahun 1946) No.7.
Kedua, UUD RIS 1949 dengan Keppres No.48 Tahun 1950 Tentang Mengumumkan Piagam Penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Konstitusi Republik Indoneia Serikat dimuat dalam LN Tahun 1950 No.3.
Ketiga, UUDS 1950 dengan UU Federal No.7 Tahun 1950 dimuat dalam LN RIS Tahun 1950 No.56 dan Penjelasan Tambahan LN RIS No.37.
Keempat, UUD 1945 periode kedua (5 Juli 1959 s/d amandemen) dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berdasarkan Keppres No.150 Tahun 1959 dimuat dalam LN Tahun 1959 No.75 meliputi Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya bersama-sama dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

UUD 1945 periode pertama dimuat dalam Berita Republik Indonesia (BRI) Tahun II (Tahun 1946) No.7 bersama-sama dengan “Penjelasan Tentang UUD 1945”, enam bulan setelah Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 disahkan PPKI. Sedangkan periode kedua berdasarkan Keputusan Presiden No.150 Tahun 1959 dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1959 No.75 meliputi Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya bersama-sama dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Pasal 186 Konstitusi RIS menegaskan bahwa Undang – Undang Dasar yang tetap akan disusun oleh konstituante. Pada tanggal 17 Agustus 1950, bangsa kita kembali ke bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengesahkan berlakunya konstitusi baru yang diberi nama Undang – Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Pasal 134 UUDS ini juga menentukan bahwa kontituantelah yang akan membuat Undang – Undang Dasar yang bersifat tetap. Konstituante resmi dibentuk pada tanggal 10 November 1956, di Gedung Merdeka Bandung. Pada waktu melantik para anggota konstituante itu, Presiden Soekarno menyampaikan pidato resmi dengan judul “Susunlah Konstituante Yang Benar – Benar Konstitusi res Publica”

Pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno kembali bepidato di depan Konstituante yang bersidang dengan judul “Res Publica! Sekali Lagi Res Publica!”. Presiden Soekarno mengusulkan kepada Konstituante agar memberlakuakn kembali saja UUD 1945 kembali. Namun, setelah diadakan pemungutan suara sampai tiga kali, putusan mengenai hal itu tidak kunjung dicapai. Konstituante menolak usul Presiden Soekarno. Pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang pada pokoknya membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi negara republik Indonesia.

Sampai diberlakukan kembali pun sebenarnya UUD 1945 memang belum sempat diterapkan sebaik – baiknya, inilah yang mendorong munculnya Orde Baru yang pada mulanya berusaha keras untuk ’menegakkan UUD 1945 secara murni dan konsekwen’

Sekarang, UUD 1945 memang sudah mengalami perubahan yang sangat substantif. Pada tahun 1999 telah ditetapkan adanya Perubahan Pertama, dan kemudian pada tahun 2000 telah pula diterima adanay Perubahan Kedua.Pada bulan Agustus 2001 ditetapkan lagi adanya Perubahan Ketiga UUD 1945. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000, perubahan terakhir sudah ditetapkan pada 20002. Perubahan Ketriga itu disusul\lagi dengan naskah Perubahan Keempat UUD 1945 pada bulan Agustus 2002 itu.

Naskah perubahan pertama yang ditetapkan dalam Sidang Umum MPR tahun 1999 mencakup 9 pasal, dan naskah Perubahan Kedua mencakup 7 bab yang masing – masing terdiri atas beberapa pasal berisi hal – hal yang sangat mendasar.. Sementara itu, rancangan naskah Perubahan Ketiga juga mencakup materi yang sangat luas, yaitu mencakup 5 bab yang masing – masing terdiri dari berbagai pasal yang strategis dan memerlukan pengaturan yang rinci, seperti menyangkut pembentukan parlemen bikemaeral, pemilihan presiden, pembentukan Mahkamah Konstitusi, dan lain sebagainya.


2.2. Perubahan – Perubahan Konstitusi Indonesia dari 1959 - 2008

Periode kembalinya ke UUD 1945 5 juli 1959-1966

Karena situasi politik pada Sidang Konstituante 1959 dimana banyak saling tarik ulur kepentingan partai politik sehingga gagal menghasilkan UUD baru, maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang salah satu isinya memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai undang-undang dasar, menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku pada waktu itu.


Pada masa ini, terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya:

· Presiden mengangkat Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR dan MA serta Wakil Ketua DPA menjadi Menteri Negara

· MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup

· Pemberontakan Partai Komunis Indonesia melalui Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia .

Periode UUD 1945 masa orde baru 11 maret 1966- 21 mei 1998

Pada masa Orde Baru (1966-1998), Pemerintah menyatakan akan menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen. Namun pelaksanaannya ternyata menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 yang murni,terutama pelanggaran pasal 23 (hutang Konglomerat/private debt dijadikan beban rakyat Indonesia/public debt) dan 33 UUD 1945 yang memberi kekuasaan pada fihak swasta untuk menghancur hutan dan sumberalam kita.

Pada masa Orde Baru, UUD 1945 juga menjadi konstitusi yang sangat "sakral", diantara melalui sejumlah peraturan:

· Ketetapan MPR Nomor I/MPR/1983 yang menyatakan bahwa MPR berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak akan melakukan perubahan terhadapnya

· Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang antara lain menyatakan bahwa bila MPR berkehendak mengubah UUD 1945, terlebih dahulu harus minta pendapat rakyat melalui referendum.

· Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum, yang merupakan pelaksanaan TAP MPR Nomor IV/MPR/1983.

Periode 21 mei 1998- 19 oktober 1999

Pada masa ini dikenal masa transisi.

Periode UUD 1945 Amandemen

Salah satu tuntutan Reformasi 1998 adalah dilakukannya perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945. Latar belakang tuntutan perubahan UUD 1945 antara lain karena pada masa Orde Baru, kekuasaan tertinggi di tangan MPR (dan pada kenyataannya bukan di tangan rakyat), kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, adanya pasal-pasal yang terlalu "luwes" (sehingga dapat menimbulkan mulitafsir), serta kenyataan rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara yang belum cukup didukung ketentuan konstitusi.

Tujuan perubahan UUD 1945 waktu itu adalah menyempurnakan aturan dasar seperti tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembagian kekuasaan, eksistensi negara demokrasi dan negara hukum, serta hal-hal lain yang sesuai dengan perkembangan aspirasi dan kebutuhan bangsa. Perubahan UUD 1945 dengan kesepakatan diantaranya tidak mengubah Pembukaan UUD 1945, tetap mempertahankan susunan kenegaraan (staat structuur) kesatuan atau selanjutnya lebih dikenal sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta mempertegas sistem pemerintahan presidensiil.

Dalam kurun waktu 1999-2002, UUD 1945 mengalami 4 kali perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR:

· Sidang Umum MPR 1999, tanggal 14-21 Oktober 1999Perubahan Pertama UUD 1945

· Sidang Tahunan MPR 2000, tanggal 7-18 Agustus 2000Perubahan Kedua UUD 1945

· Sidang Tahunan MPR 2001, tanggal 1-9 November 2001Perubahan Ketiga UUD 1945

· Sidang Tahunan MPR 2002, tanggal 1-11 Agustus 2002Perubahan Keempat UUD 1945

2.3. Penjelasan Perjalanan Konstitusi Negara Indonesia dari Tahun 1959.

Secara yuridis, pengundangan UUD dalam tempat resmi tidak diatur. Ketentuan yang ada hanya mewajibkan jenis peraturan yaitu: Undang-Undang (UU) atau UU Federal (RIS), UU Darurat atau Perpu dan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Presiden. BRI yang memuat naskah UUD 1945 periode pertama sebenarnya hanya koran pemerintah biasa. Sedangkan UUD RIS 1949, UUD S 1950 dan UUD 1945 periode kedua diundangkan terlebih karena sebab “baju hukum” materi UUD menggunakan UU Federal dan Keppres yang harus diundangkan. UUD RIS 1949 dan UUD S 1950 sendiri dalam “bagian penutup” memerintahkan pengundangannya.Dengan belum diundangkan hasil amandemen dalam tempat resmi, hal demikian tentu nanti bermasalah, karena Jawa Pos (26/0107) memberitakan pemerintah hanya melakukan penomoran masing-masing No.11-14 Tahun 2006 dalam LN tanggal 13 Pebruari 2006. Problem lain pasca amandemen, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) juga menerbitkan naskah konsolidasi yang bersifat resmi (tidak resmi?) dan banyak bermunculan penerbitan dengan tujuan memudahkan memahami UUD dalam satu naskah. Padahal, perbedaan titik koma, huruf besar atau kecil dalam hukum, menimbulkan pengertian berbeda dan kontroversi ketatanegaraan selama ini karena perbedaan penafsiran norma konstitusi.Apakah hasil amandemen tanpa pengundangan sah dan memiliki kekuatan mengikat? Tentu jawaban sah tidaknya peraturan harus dibedakan dengan kekuatan berlaku mengikatnya. Amandemen UUD 1945 jelas sah sebagai hukum dasar tertulis sejak ditetapkan, sesuai doktrin dalam ilmu hukum suatu norma hukum mulai berlaku sejak ditetapkan, kecuali jika ditentukan lain oleh norma hukum itu sendiri. Sahnya amandemen UUD ditentukan prosedurnya apakah sesuai Pasal 37 UUD 1945.

Hukum positif yang mengatur pengundangan yakni UU No.2 Tahun 1950 tidak mewajibkan pengundangan UUD. Begitu juga setelah diberlakukan UU No.10 Tahun 2004 yang diundangkan tanggal 22 Juni 2004 hanya menentukan pengundangan dalam LN sebagai berikut: 1) UU/ Perpu; 2) PP mengenai Pengesahan perjanjian antara negara RI dan negara lain atau badan Internasional dan pernyataan keadaan bahaya; 3) dan peraturan perundang-undangan lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam LNRI.

Apakah UU dibenarkan mengatur syarat berlakunya sebuah UUD? Pertanyaan rumit ini mungkin sebab ketidakberanian UU No.10 Tahun 2004 mengatur kewajiban pengundangan sebuah UUD. Penempatan UUD dalam tempat resmi disisi lain dianggap kebutuhan kepastian hukum sehingga Pasal 3 (2) UU No.10 Tahun 2004 meminta UUD 1945 ditempatkan dalam LN. Ketentuan ini mengakomodasi agar peraturan diketahui masyarakat luas, akan tetapi pasal lain tegas menyebut UUD 1945 tidak diundangkan sebagaimana peraturan perundang-undangan lain.

UUD memiliki kedudukan penting dan wajib diketahui oleh masyarakat seluas-luasnya. Pengundangan tidak hanya untuk tertib hukum, tidak kalah pentingnya menghindari perdebatan tidak perlu jika ditegaskan teks resmi sebagai jaminan kesatuan sistem rujukan dengan satu naskah baku (the sole reference). Publikasi, penyebaran informasi dan sosialisasi luas yang dilakukan MPR selama ini tidak ada artinya jika soal pengundangan belum dilakukan sebagai sarana setiap orang mengetahuinya.

Jalan keluar dari pasal UU yang saling menegasikan mestinya dikembalikan pada asas perundang-undangan bahwa undang-undang dapat dicabut instansi yang membentuknya atau instansi yang lebih tinggi. Sehingga, solusi yang tepat yaitu materi UUD seharusnya memerintahkan pengundangan dalam tempat resmi (LN) seperti UUD yang pernah berlaku melakukannya. Hal ini bisa dilakukan jika amandemen kelima jadi diselenggarakan dan sepakati di MPR.

Naskah asli UUD 1945 berserta hasil amandemen yang resmi dan sah sebagai kesepakatan politik tertinggi yang telah dilakukan (1999-2002) sudah saatnya di ketahui seluruh masyarakat Indonesia. Pengundangan adalah soal teknis hukum yang berakibat fatal jika tidak dilaksanakan. Pengundangan dalam LN tidak meruntuhkan wibawa UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Tanpa pengundangan, MPR telah meninggalkan segi teknis yang selama ini banyak diabaikan dan menimbulkan kontroversi panjang. Lantas menunggu apa lagi? Wallahu A’lam

Di tengah antusias masyarakat terhadap lembaga baru produk amandemen misalkan Mahkamah Konstitusi mengemuka gagasan memutar jarum sejarah kembali kepada UUD 1945 sebelum perubahan, karena proses perubahan dinilai ilegal.

Kelompok yang yang menamakan diri “Panitia Persiapan Kembali ke UUD 1945” yang dimotori Amin Aryoso dkk mengemukakan tiga hal: Pertama, UUD 1945 belum pernah dicabut sehingga masih berlaku. Kedua, proses amandemen baik secara hukum dan materi tidak sah dan menyimpang dan banyak diintervensi LSM yang dibiayai Amerika Serikat. Ketiga, perubahan pertama UUD 1945 tidak didasari ketetapan MPR atau tercatat dalam lembar negara. Keempat, MPR tidak pernah diberi mandat untuk melakukan amandemen itu

Dengan dasar demikian, kelompok ini menuntut pemerintah memberlakukan kembali UUD 1945 dan sekaligus mencabut perubahan pertama sampai dengan keempat (Kompas, 23 Agustus 2008). Jika kita kembali kepada proses sebelumnya, perubahan UUD 1945 mengalami banyak ganjalan dan tentangan baik dari kelompok yang konsen terhadap demokrasi dan hak asasi manusia maupun pihak-pihak yang diuntungkan dengan naskah asli UUD 1945.

Terlepas dari proses amandemen yang kurang demokratis dan jauh dari memuaskan, perubahan UUD 1945 merupakan hal yang niscaya dan tidak perlu ditakutkan. Atau bahkan kita kembali kepada zaman orde baru, menyuarakan perubahan konstitusi sama dengan melakukan tindak pidana subversi. Banyak pihak yang berkepentingan dengan dipertahankannya UUD 1945 yang oleh Soekarno sendiri dianggap sebagai sementara dan kilat.

Dalam tulisan singkat ini penulis berusaha menganalisis dua masalah pokok yaitu dasar pengundangan konstitusi dan urgensitas pengundangannya dengan membandingkan praktek pengundangan konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia dan menyinggung sedikit soal keabsahan perubahan UUD 1945.
Sebagaimana diketahui umum, UUD 1945 tanpa terasa telah dirubah empat kali sejak tahun 1999-2002. Namun demikian, tidak sebagaimana peraturan lain, perubahan UUD 1945 sampai sekarang memang belum diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI). Ketua MPR saat pertemuan dengan Menteri Hukum dan HAM, membenarkan hal demikian dan hanya melakukan penomoran masing-masing No.11-14 Tahun 2006 dalam LNRI tanggal 13 Pebruari 2006.
Soal teknis pengundangan dalam praktek ketatanegaraan memang cenderung diremehkan. Namun, soal teknis menjadi menarik tatkala beberapa waktu lalu menjadi polemik dengan sebagai salah satu tuntutan gerakan yang dimotori mantan Presiden RI K.H. Abdurrahman Wahid dahulu (Kompas, 24 Januari 2007). Untuk membantah hal demikian, pemerintah menganggap pengundangan UUD tidak diatur dan tidak berpengaruh terhadap keberlakuannya, begitu pula Ketua MK menganggap UUD memiliki kekuatan berlaku dan mengikat sejak ditetapkan MPR.


shalat sunnah ghairu muakkad

Shalat sunnah ghairu muakkad adalah shalat yang biasa didirikan nabi Muhammad SAW,tetapi beliau tidak menganjurkan sebagaimana pada sunnah muakkad. Sunnah ini mencakup :

· Dua rakaat setelah dhuhur disamping dua rakaat yang muakkad.

Nabi SAW pernah bersabda : “ siapa yang shalat empat rakaat sebelum dhuhur dan empat rakaat setelahnya, Allah mengharamkan ia jatuh ke neraka “ (HR. Abu Daud). Tampaknya engkau segera merespon hadist tersebut :” Sesungguhnya amal tergantung pada niat” (HR. Bukhori, Muslim dan Ibnu Majah).

· Empat rakaat atau dua rakaat sebelum ashar.

Nabi SAW bersabda, “ Semoga Allah memberi rahmad kepada orang yang shalat sunnah empat rakaat sebelum ashar” ( HR. Tirmidzi ) dan sayyidina Ali meriwayatkan bahwa nabi SAW biasa shalat dua rakaat sebelum ashar.( HR. Abu Daud ).

· Dua rakkat sebelum maghrib.

Rasulullah SAW bersabda :” shalatlah dua rakaat sebelum maghrib” kemudian beliau mengulang “shalatlah dua rakaat sebelum maghrib “ kemudian pada yang ketiga kalinya beliau menambahkan “ bagi yang mau “. ( HR. Bukhari ).

· Dua rakaat sebelum isya’.

Nabi SAW bersabda “ diantara dua adzan ada shalat, diantara dua adzan ada shalat”, beliau kemudian menyatakan “ bagi yang mau. “( HR. HR. Bukhori ).

Nabi Muhammad SAW tidak menganjurkan shalat ini sekuat shalat muakkad. Kadang beliau melaksanakannya dan kadang beliau meninggalkannya. Namun semua itu penting untuk memperpeka kalbu seorang muslim, bukankah demikian?

( dari buku “ Meminta dan Mencinta, Cara Menikmati Salat, Doa, Dzikir, Haji dan Baca Qur’an”. Karya Amru Muhammad Khalid. Terbitan Serambi Ilmu Semesta, Desember 2006 )