oleh : Kanjeng Ratu
Selasa, 12 Okt '10 18:17
Tadi kebetulan liat drama semelekete. Biasa aja sih, dimana-mana drama plotnya ya berkisar di situ-situ aja. Ada cewek, ketemu cowok, dan perjuangan cinta mereka yang stripping setiap hari itu dibumbui bermacam-macam muka manis, lidah-lidah cadel, baju-baju bagus yang bikin ngiri... Wis, pokoknya sama sekali ndak matching sama karakteristik tokoh yang harus diperankan.
Cerita antara dua tokoh utama ditangguhkan sebentar. Filler, istilahnya. Dalam drama yang saya tonton itu diceritakan bahwa kerabat tokoh utama tidak memiliki tempat tinggal. Si perempuan yang nampak lemah ini kemudian terpaksa menumpang di rumah seorang mesum yang sudah beristri. Sudah bisa ditebak, bapak semang yang mesum ini akhirnya merayu si kerabat tokoh utama yang memang aduhai. Eh, mendadak si ibu semang masuk memergoki mereka.
... dan PLAK!!!
Sangat tipikal sekali. Si ibu semang dipastikan akan menampar si gadis lemah yang rasanya hidupnya selalu penuh derita. Masih belum puas? Si bapak semang ikut-ikutan menuduh bahwa dia telah digoda oleh si tokoh nyaris utama ini. Kalau itu masih belum memuaskan nafsu sadis anda dan gairah masokis si kerabat tokoh utama, di beberapa drama lain juga ada yang menyajikan cerita setelah si penggoda ini ditampar dan difitnah, biasanya gadis malang yang lemah itu lalu diusir dari rumah si pasangan semang ituh. Nah, kalau sudah sampai seperti ini dahaga anda akan drama tipikal ini belum juga terpuaskan, ada juga yang mengisahkan bahwa si gadis teraniaya itu diusir keluar kampung sambil ditoyorin sama ibu-ibu tetangga, pokoknya ganas deh.
... dan itu benar-benar membuat saya bingung, sangat.
Mengapa setiap kali terjadi kasus perselingkuhan yang ketahuan, mengapa wanita yang diselingkuhi (terutama yang statusnya sudah istri) cenderung menyalahkan si wanita idaman lain? Terlepas dari kisah drama atau bukan, memang tidak menutup kemungkinan bahwa si wanita idaman lain ini memang benar merayu dan menggoda suami ibu-ibu sekalian. Tapi saya merasa janggal pada bagian ini. Hubungan percintaan yang seperti apapun, pada dasarnya seperti tarian tango. Butuh dua orang agar tango itu sempurna. Saya yakin dengan sisi idealisme yang saya miliki bahwa cinta itu berjalan dua arah. Dari laki-laki kepada perempuan, dari perempuan kepada laki-laki. Cinta itu tidak hanya sekedar memberi dan berbahagia, atau menerima luka dan berbahagia. Menurut saya cinta itu memberi, menerima, dan bahagia bersama. Cinta terlarang seklipun, berbentuk hubungan perselingkuhan sekalipun.
It takes two to tango. Kenapa ibu-ibu yang diselingkuhi lebih suka menyalahkan wanita penggoda daripada suami hidung belang? Apakah ibu-ibu itu merasa bahwa suami mereka yang baik dan penyayang itu tidak mungkin berselingkuh? Apakah ibu-ibu itu terlalu sadar bahwa suami-suami mereka memang bajingan tapi terlalu sakit untuk mengakui? Atau jangan-jangan ibu-ibu itu marah pada dirinya sendiri yang tidak bisa melayani suaminya dengan benar, lalu cemburu dan melampiaskan kemarahannya pada si wanita penggoda.
Oh, tidak. Saya tidak sedang membela wanita penggoda manapun. Saya hanya beranggapan bahwa perselingkuhan tidak bisa dilakukan seorang diri. Sedahsyat apapun godaan si wanita penggoda, perselingkuhan masih bisa dihindarkan bila si laki-laki tetap tak tergoda. Saya belum pernah berselingkuh, saya tidak tahu apa yang melatarbelakangi seseorang untuk berselingkuh. Yang saya tahu, perselingkuhan, bercinta, semuanya didasari pada cinta, dan cinta tidak menggerakkan dunia ini sendirian. Saya kurang tahu seberat apa rasanya bersuamikan seorang bajingan, tapi rasanya tidak adil kalau dosa sebuah perselingkuhan semuanya dibebankan pada wanita penggoda. It takes two to tango
... Mana mungkin suamiku pulang ke rumahmu ...
... Tanpa kau suguhkan, tanpa kau hidangkan ...
... gula gula gula gula gula gula gula gula ...
... yang manis ...
Alasan basi, suamimu itu pada dasarnya emang doyan jajan.
dari : http://ngerumpi.com/baca/2010/10/12/it-takes-two-to-tango.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar