oleh : venus
Jumat, 5 Jun '09 14:28
"Suamiku menikah lagi. Ini bukan lagi sekadar gosip miring di antara teman-teman kami berdua, bukan lagi kecurigaan atau imbas rasa cemburu berlebihan, tapi pengakuan yang keluar dari mulut suamiku sendiri. Dan malam itu, langit serasa runtuh menimpa kepala."
"I gave him everything. I gave him my youth, I gave him wonderful children, I quit my job just because he asked me to, and now this. This. Can you believe it?", dengan berapi-api seorang sahabat, teman berbagi yang kukenal semenjak kami sama-sama kuliah di Surabaya dulu menumpahkan semua amarah dan sakit hatinya lewat telepon di suatu siang yang terik.
Saya speechless, tak tau harus berkata apa. Bahkan sekadar menyatakan rasa prihatin saya saja rasanya berat sekali. Apa yang harus saya katakan kepadanya, perempuan yang tetap cantik di usianya yang tak lagi muda itu, yang selama belasan tahun menjadi teman berbagi saat kami berdua mengalami naik dan turun dan pasang surut dalam kehidupan kami masing-masing?
Dunia runtuh di atas kepala.
Tidak berlebihan saya rasa, karena saya juga perempuan. Saya tak sanggup membayangkan bagaimana berantakan dan hancurnya perasaan teman baik saya ini ketika mendengar pengakuan suaminya. Laki-laki itu, kepada siapa hidupnya telah diserahkan penuh, bulat-bulat, bukan hanya satu atau dua tahun tetapi sudah hampir dua puluh tahun sekarang, ayah dari ketiga anak-anaknya, berkali-kali meminta maaf dan menyatakan penyesalan tak habis-habis. Dia barangkali memang menyesal, tapi apalah artinya. Hidup mereka tak akan pernah sama lagi. Sejak malam itu, menurut pengakuan sahabat saya, mereka berdua tinggal bersama, serumah, tapi semua terasa jauh berbeda. Tak pernah ada lagi obrolan mesra tengah malam saat anak-anak sudah lelap tertidur, bahkan boleh dibilang komunikasi di antara mereka berdua hanya basa basi dan saling menjaga perasaan masing-masing saja.
"Aku harus bagaimana ya, Nadya? Pengennya sih berani mengambil sikap yang lebih tegas. Minta cerai, misalnya. Tapi aku harus mikirin anak-anak. Harus mikirin bagaimana aku harus menyambung hidup. kamu tau, kan...sudah belasan tahun aku terkondisi berada dalam zona nyaman: status sebagai istri dan ibu, keadaan finansial kami yang mapan, pengen apa tinggal beli, butuh apa tinggal bilang sama suami dan boom, semua tersedia. Apa yang harus kulakukan sekarang?", Airin, sahabat saya itu, masih sibuk menyeka air mata.
Dalam diam, saya hanya bisa memeluknya.
dari : http://ngerumpi.com/baca/2009/06/05/suamiku-menikah-lagi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar