Minggu, 26 Desember 2010

dua musim satu masa 2

Si cerdas ingin sekolah

Azka Masih berusia empat tahun dan Syarif berusia tujuh tahun. Bunda sibuk membungkus sesuatu di dapur. Ada kertas kado gambar spiderman, tokoh kartun kesukaan Mas Syarif, selotip, gunting dan pita-pita.
‘Pasti buat Mas Syarif’, Azka bergumam sendiri sambil mengamati apa yang bundanya lakukan. Matanya kembali menyapu meja, mencari-cari sesuatu. Tiba-tiba ia cemberut, bibirnya mengerucut. Sejenak kemudian ia panik. Segera langkahnya terayun mendekati bunda yang asyik dengan kesibukannya.
“Bunda…”
Bunda menoleh pada putri kecilnya dan tersenyum, pada detik berikutnya pandangannya kembali pada bungkusan yang hampir rapi dihadapannya.
“bunda…”
Bunda sekali lagi hanya menoleh dan tersenyum sekejap kemudian asyik lagi dengan kesibukannya. Azka semakin gusar. Ditariknya gamis bunda.
“Bunda denger nggak sih? Azka kan udah manggil-manggil bunda dari tadi!”
sejenak bunda terkejut dengan nada bicara Azka yang agak tinggi. ‘Ada apa gerangan dengan purnamaku ini?’
kemudian Azka menarik kursi disamping bunda lalu berdiri diatasnya. Bunda memperhatikan tingkah putrinya keheranan. Dicobanya membaca gambaran di raut muka putrinya. Cemberut.
“Bunda, ini buat Mas Syarif ya? Bunda Mas Syarif nanti dikasih kado ini ya bun? Bunda, buat Azka juga ada kan? Bunda,ko Azka dari tadi belum liat kado buat Azka?”
Pertanyaan yang bertubi-tubi itu membuat bunda tersenyum dan tersadar. Bunda, putrimu juga ingin kado yang sama. Putrimu sedang merasa iri pada kakaknya. Putrimu sedang menuntut perhatianmu untuknya.
Bunda mengusap lembut pipi Azka yang memerah karena kesal. Kemudian tangannya melanjutkan membungkus kado untuk Mas Syarif.
“Azka manis, putri bunda yang sholehah, kado ini buat Mas Syarif. Kado buat Azka, bunda belum siapkan. Nanti kalau Azka Masuk SD, sama kayak Mas Syarif, bunda juga akan kasih kado buat kamu.”
“Berarti Azka harus sekolah donk bun?” tanya Azka, polos.
Sekali lagi bunda keheranan. ‘Putriku yang baru empat tahun ini mau sekolah? Bukankah di playgroup saja dia nggak betah karena bu guru Cuma mengajar itu-itu saja yang dia sudah bisa? Dan bukankah Azka sendiri yang bilang nggak pingin Masuk playgroup? Memangnya putriku ini mau sekolah dimana?’
Daripada bertanya-tanya sendiri, bunda bertanya pada Azka. Bunda ingin tahu apa yang sedang dipikirkan oleh putrinya ini.
“Sayang, memangnya mau sekolah dimana? Kan baru minggu kemaren Azka bilang nggak mau sekolah lagi. Apa sekarang putri bunda ini sudah kangen sama bu guru? Sama Vera dan Mimi juga?” bunda menggoda Azka dengan menaikkan alisnya sambil tersenyum.
“Ah bunda ini, Azka bilang nggak mau sekolah di plegrup itu emang bener. Azka juga nggak minta sekolah disana lagi bunda. Azka maunya sekolah sama Mas Syarif.” Jawabnya serius.
“Hah?” bunda terkejut dengan jawaban Azka. Mana mungkin ada SD yang mau menerima anak umur empat tahun sebagai siswa resmi? Sebagai siswa tidak resmi atau siswa titipan pun SD juga belum tentu mau. Bunda gusar jadinya. Putrinya ini memang cerdas. Usia empat tahun sudah mahir membaca, menulis dan berhitung. Meski jujur saja, tulisan Azka kadang Masih belum bisa dibilang rapi bila dibandingkan dengan tulisan Syarif, kakaknya.
Sejenak bunda berpikir, tentu akan lebih mudah menghadapi Azka bila ayahnya ada di rumah. Ayah Azka bekerja di perusahaan pengiriman barang di California, Amerika. Pulang ke indonesia setiap satu semester, dan tinggal bersama keluarga selama dua minggu. Sejenak ada kerinduan yang merebak di hati bunda. Ah, bulan depan ayah kan pulang.

“Sayang, baca tulis dan berhitung Azka memang sudah bagus, tapi kan Masih butuh diperbaiki lagi. Azka juga belum pintar baca Al Qur’an kayak Mas Syarif. Jadi apa bisa Azka Masuk SD bareng sama Mas Syarif?”
Beberapa saat kemudian raut serius dimuka Azka berganti dengan mendung. Bunda terkejut. Segera didekapnya putrinya dan dielus punggungnya.
“ Sayang, bukan berarti Azka nggak bisa kayak Mas Syarif. Azka bisa, sangat bisa. Lebih hebat dari Mas Syarif juga bisa ko. Bukan nggak mungkin nanti pinternya Azka menyalip Mas Syarif.”
Sejenak mendung mulai menghilang dari wajah Azka. Tapi ia belum mulai cerah dan ceria seperti biasa. Tidak mudah memang membesarkan hati seorang anak supaya ia lebih tegar dan lebih sabar. Tak mudah pula menyisir kecemburuan untuk pergi dan menggantinya dengan keikhlasan. Inilah amanat untukmu bunda. Tak sekedar mengandung dan melahirkan putra putrimu, tak juga cukup dengan menjaga dan merawatnya, tetapi juga mendidik jiwa mereka. bunda, bukankah ibu adalah madrasah pertama bagi putra putrinya? Al ummu madrosatu al ula. Madrasah dunia dan akhirat.
“Gimana kalau Azka sekolah dulu di TK tempat Mas Syarif sekolah. Terus, Azka juga belajar ngaji dulu sama Ustadz Farhan di Masjid. Gimana sayang?”
“Emangnya harus bisa ngaji ya bunda?”
Bunda tahu putrinya masih gigih mempertahankan keinginannya untuk sekolah bareng Syarif di SD. Wah, susah nih!
“Di SD nanti kan belajar bacaan sholat juga. Ya kan nggak bisa sayang kalo nggak bisa ngaji.”
“kan ada tulisan indonesianya bunda.”
“lho? Tentu nggak bisa kayak gitu, kalo baca tulisan latinnya saja, nanti panjang pendek bacaannya juga nggak sama seperti tulisan arabnya. Kalo nanti bacaannya salah, sholatnya kan jadi nggak sah.”
“Ah,susah!” Azka berseru sendiri. Dalam hati bunda bersorak, ia hampir bisa menenangkan putrinya.
“Sekolah TK itu berapa taun bunda?”
“Dua tahun sayang, kenapa?”
“Apa nggak bisa kurang bun?” Azka mencoba bernegosiasi dengan bundanya.
“Kelamaan ya sayang?”
“Iya bunda. Nanti kadonya juga jadi lama.”
“Owh..., kadonya? Emang Azka pingin kado apa?”
“Apa aja bunda, pokoknya kayak Mas Syarif.”
“Gimana kalo putri bunda yang cantik ini sekolah di TK dulu, trus belajar ngaji juga? Kan belajar itu juga harus sabar. Harus ikhlas. Biar pinternya juga barokah nanti.”
“Kapan Azka bisa mulai sekolah dan mulai ngaji bunda?” tanya Azka dengan antusias. Sekali lagi bunda dibuat terkejut. Tentu nggak mungkin sekarang atau besok. Daftar sekolah kan juga nggak bisa sekarang daftar terus besok masuk. Dan penerimaan siswa tahun ajaran baru juga belum dibuka.
“Nanti bunda ke Masjid, bilang sama Ustadz Farhan kalo Azka juga pingin ngaji di Masjid. Nanti ibu kabari gimana jawaban Ustadz Farhan. Terus sekolah TK nya, nanti ibu tanyakan ke Bu Anjar kapan bisa mulai daftar dan kapan masuknya.”
“terus nanti bunda kasih kabar sama Azka kapan masuknya?” Azka tampak tidak sabar.
Bunda mengangguk dengan mantap. Ditunggunya reaksi lanjutan dari Azka. hening. Tampaknya putrinya masih menimbang-nimbang.
Tiba-tiba Azka tersenyum dan mengulurkan tangan hendak menjabat tangan bundanya. Sejenak bunda terheran-heran dengan apa yang dilakukan putrinya. tapi diulurkannya tangannya pada putrinya. Azka menjabat uluran tangan tersebut dengan gaya formal seorang milyader yang baru saja menerima kontrak. Belajar dari mana ya?
“Dengan ini Azka terima kontrak yang bunda ajukan.” Lalu dikecupnya pipi bunda dan Azka melompat dari atas kursi. Bunda Masih bengong. Seolah-olah Azka mengerti diamnya bunda, ia berkata,” Itu dari pilm yang Azka liat sama Mas Syarif semalem bunda. Hehe....”
Bunda menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Azka. Disusulnya langkah putrinya. Bunda penasaran dengan apa yang akan dilakukan putrinya itu. Langkah bunda berhenti di depan kamar Azka dan Syarif. Meski sekamar, bunda memisahkan ranjang mereka berdua.
Bunda tersenyum melihat Azka duduk diantara boneka-bonekanya sambil membuka buku pengantar tidur yang sering dibacakan bunda. Azka membaca tulisan di buku itu keras-keras, sambil sesekali berhenti dan bertanya pada boneka-bonekanya apa mereka mengerti. Bunda hendak beranjak ketika ada suara Azka berkata kepadanya,” Bunda, nanti kalo Mas Syarif pulang, Azka juga pingin bilang selamat sama Mas Syarif. Azka juga mau minta biar didoain supaya bisa cepet nyusul Mas Syarif sekolah di SD. Oke?”
“Iya, nanti bunda bilangi kalo mas Syarif udah pulang.”
Bunda mengayun langkah kembali ke dapur. ‘Alhamdulillah Ya Allah, Engkau berikan kepadaku putra dan putri yang sholeh dan sholehah. Putra dan putri yang cerdas. Alhamdulillah Ya Allah. Semoga hambaMu ini bisa melaksanakan amanatMu dengan baik.’

dua musim satu masa 1

Prolog

“Bunda, kenapa dalam cerita bunda, Anisa bisa masuk surga, padahal dia ga sering puasa kayak bunda. Bahkan dia sholatnya nggak tepat waktu kayak azka bun?”
Bunda tersenyum, lalu mengecup lembut kening putrinya yang cerdas. Sejenak dipandangnya muka lucu sang putri.
“Karena dia banyak melakukan hal-hal yang bermanfaat  bagi siapapun yang ada di sekitarnya. Dia baik. Meski cantik, dia rendah hati. Dia cerdas, tapi dengan kecerdasannya itu, tidak ada rasa sombong di hatinya. Cantik parasnya, cantik pula hatinya sayang. Sholatnya yang tidak tepat waktu itu tidak bisa dibilang hal yang baik, Azka tidak boleh seperti itu. Tapi ketaatannya pada Allah dan keelokan hatinya yang harus dicontoh sayang. “
Azka mengangguk, logikanya menerima penjelasan sang bunda. Ditariknya tangan bunda dan di dekatkannya bibirnya pada telinga bunda.
“Bunda, Azka juga akan menjadi anak yang baik seperti anisa. Azka juga akan sayang sama Allah, sama bunda, sama ayah dan sama mas Syarif. sama siapapun juga Azka akan sayang. Azka mau masuk surga bun. Kalau Azka disurga, Azka akan mengajak bunda ke surga juga nanti.”
Sejenak bunda tercenung oleh ungkapan buah hatinya. Meski baru empat tahun, tapi kata-kata itu lebih dari sejuknya guyuran air hujan pertama setelah musim kemarau. Ditariknya Azka dalam dekapannya.
“Bunda akan selalu mendoakan Azka dan mas Syarif supaya jadi anak yang sholeh, dan menjadi zahratul firdaus.” Air mata haru sang bunda merebak sambil dipeluknya sang buah hati yang cerdas dan sholehah. ‘Ya Allah, Ya Rabbku... lindungi kedua permata hatiku. Jadikan mereka hamba-hambaMu yang khusnul khotimah.’