oleh : mas stein
Selasa, 29 Mar '11 11:30
Jaman masih SMP dulu ada temen saya yang ndableg setengah hidup untuk ukuran anak seumurannya, begadang, mabuk, dan tawuran sudah jadi menu sehari-hari. Meskipun begitu saya mengingatnya sebagai teman yang baik, bukan sosok yang menakutkan, di sekolah juga ndak berlaku sebagai raja kecil, alias dia ndak pernah menindas teman. Malah dia pernah jadi ketua kelas waktu masih kelas satu. Tabiatnya yang cenderung liar terbentuk karena lingkungan pergaulan di kampungnya memang seperti itu, di luar lingkungan itu dia masih seorang anak SMP yang menyenangkan.
Saya ndak tau bagaimana didikan orang tuanya, apakah orang tuanya tipe yang menakutkan, atau tipe yang mengakomodir semua keinginan, atau tipe yang sudah putus asa sehingga lepas tangan. Yang jelas temen saya ini masih tetep seorang anak yang punya rasa takut, kalopun dia sudah ndak takut sama orang tua dan guru paling ndak dia masih takut sama polisi.
Polisi?
Ya, polisi. Saya masih ingat waktu itu ada tawuran antar kampung di depan bengkel tempat saya biasa nitip sepeda pancal. Walaupun TKP sudah dibersihkan setelah kejadian saya masih bisa melihat sisa-sisa bercak darah dan potongan rambut karena konon salah seorang pelaku tawuran dibacok membabi buta oleh orang-orang kampung temen saya, mengerikan.
Saya ndak yakin temen saya ikut mbacok dalam tawuran itu, paling dia cuma ikut ngumpul-ngumpul, mungkin ikut berpartisipasi dua tiga pukulan. Yang jelas beberapa hari kemudian ada polisi datang ke sekolah, dan saya masih ingat ekspresi ketakutan yang tergambar di wajahnya saat temen saya dibawa oleh bapak-bapak berseragam itu.
Setelah sempat semalem menginap di kantor polisi temen saya pun keluar. Dan kata-kata yang pertama saya dengar dari mulutnya adalah, "Ternyata tamparan polisi rasanya cuma segitu, kecil..."
Saya ndak pernah denger lagi kabarnya, yang saya tau dia sudah ndak takut lagi sama polisi.
Saya baru mengerti ucapan temen saya itu beberapa tahun kemudian. Suatu saat waktu saya sekolah di asrama, sekitar jam 11 malem saya nongkrong di balkon bersama dua orang kawan. Kita ngobrol santai sambil merokok sebungkus marlboro yang sungguh terasa mewah saat itu, sampai kemudian datang seorang anggota keamanan asrama menyeret kami bertiga ke kantor pengasuh karena melanggar aturan yang ditulis besar-besar di gerbang masuk: dilarang merokok.
Saat paling menakutkan adalah waktu menunggu tamparan pertama mengenai wajah saya, setelah itu rasanya biasa saja, "Ternyata rasanya cuma segitu."
"Jadi setelah itu kamu ndak pernah takut lagi sama pengasuh asrama Le?" Tanya Kang Noyo waktu saya ceritakan kisah masa lalu tersebut di warung Mbok Darmi.
Ndak juga, ternyata saya masih takut. Bukan sama orang yang pernah nangkep saya ngerokok itu, tapi sama ketua asrama. Aneh, karena mulai saya masuk asrama sampe lulus ndak pernah saya liat beliau nampar atau mukul orang. Jadi apa yang saya takutkan?
Masih perlu beberapa tahun lagi bagi saya untuk perlahan mengerti bahwa kemarahan dan ketegasan adalah dua hal yang berbeda. Bahwa kemarahan yang ditahan lebih membuat kita segan dan takut daripada kemarahan yang diumbar.
Saat melihat teriakan-teriakan penuh nada kekesalan dari seorang kerabat mulai ndak punya pengaruh sama anaknya perlahan saya mengerti bahwa marah itu seperti antibiotik. Ampuh untuk mengobati tapi ndak baik untuk digunakan dalam jangka panjang, karena bisa menimbulkan resistensi.
Saat anak saya belum pernah mendengar bentakan mungkin sekali bentakan akan cukup membuatnya menurut. Setelah dia cukup kebal dengan bentakan mungkin saya perlu menambah volume suara, tekanan emosi, dan nada yang semakin meninggi untuk membuatnya tetap menurut. Tapi kalo ternyata dia sudah kebal dengan itu berarti saya perlu menambah variasi, mungkin sedikit cubitan. Berikutnya mungkin akan perlu jeweran, atau bisa jadi sebuah tamparan kecil.
Tapi kalo nantinya dia sudah kebal dengan semua itu, apa yang harus saya lakukan?
"Hehehe! Tumben ngomongmu rodo pinter Le." Kang Noyo pringas-pringis sambil menghembuskan asap rokoknya.
Konon marah itu manusiawi, marah itu gampang, tapi harus dilakukan karena alasan yang tepat, ditujukan pada orang yang tepat, pada waktu yang tepat, dengan kadar yang tepat, dan untuk tujuan yang tepat. Bener-bener mirip antibiotik tho? Ndak boleh digunakan sembarangan. Tapi praktek memang ndak segampang teorinya.
Saya berharap anak saya nanti bisa tetap memposisikan diri saya sebagai orang tua, bukan sebagai polisi atau penjaga asrama yang menakutkan. Tapi ternyata ndak semua orang sependapat sama saya.
Kata Kang Noyo, "Kalo yang modelnya kayak kamu ini sepertinya memang susah diharap bisa sadar sendiri, harus kejar pukul kejar pukul, lama-lama kan nyadar."
Jiyan!
dari : http://ngerumpi.com/baca/2011/03/29/marah-itu-mudah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar