IRA
CHANDRA PUSPITA
HARDANI
LUSY
KURNIA FEBRIANA
PENDAHULUAN
Hukum Acara di KPPU
ditetapkan oleh KPPU dan sejak berdiri di tahun 2000, hukum acara tersebut
telah mengalami satu kali perubahan dari SK No 05/KPPU/ KEP/IX/2000 tentang
tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan Pelanggaran Terhadap UU No
5 Tahun 1999 (SK 05) menjadi Peraturan Komisi No 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Penanganan Perkara di KPPU (Perkom 1/2006) yang mulai efektif berlaku 18
Oktober 2006.
Memahami hukum acara
yang berlaku akan memudahkan pemahaman terhadap isi putusan karena putusan KPPU
mencoba untuk menggambarkan tahapan tahapan yang dilalui di dalam hukum acara
yang berlaku sehingga berpengaruh terhadap struktur putusan KPPU. Namun
demikian, hukum acara untuk permasalahan hukum persaingan hanya diatur dalam UU
Antimonopoli dan Keputusan KPPU No 5
Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan Penanganan Dugaan
Pelanggaran terhadap UU No 5 Tahun 1999.
Tidak dijelaskan apakah apabila dalam praktek ketentuan tersebut tidak
memadai dapat digunakan hukum acara berdasar ketentuan KUHAP.
Setelah melakukan
penyelidikan, mendengarkan pembelaan dari pelaku usaha dan melakukan
pembuktian, maka Komisi dapat mengambil keputusan. Keputusan berupa ada
tidaknya pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha yang diperiksa serta ada
tidaknya kerugian di pihak pelaku usaha lain sebagai akibat dari pelanggaran
tersebut. Dengan melihat pada proses penyelidikan sampai dengan pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh Komisi, maka jelaslah bahwa kebenaran yang dicari
dalam perkara monopoli dan persaingan usaha adalah kebenaran materiil yang
berdasar pada bukti bukti yang nyata, serta
keyakinan Komisi yang tidak terbantahkan.
UU No 5 Tahun 1999
menetapkan 2 macam sanksi yaitu sanksi administratif dan sanksi pidana yang
terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Dalam pembahasan ini, ganti rugi
merupakan sanksi administratif yang merupakan suatu tindakan yang dapat diambil
oleh KPPU terhadap pelaku usaha yang melanggar UU No 5 Tahun 1999. Sanksi
administratif ini diatur dalam Pasal 47, yang berupa:
1) Penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 sampai 13, Pasal 15 dan Pasal 16;
2) Perintah untuk menghentikan integrasi vertikal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;
3) Perintah untuk menghentikan penyalahgunaan posisi
dominan;
4) Penetapan pembatalan atas penggabungan atau
peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28;
5) Penetapan pembayaran ganti rugi;
6) Pengenaan denda minimal Rp 1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah) dan setinggi tingginya Rp 25.000.000.000,- (dua puluh lima
miliar rupiah).
Komisi dapat
menjatuhkan sanksi administratif tersebut secara kumulatif ataupun alternatif.
Keputusan mengenai bentuk sanksi tergantung pada pertimbangan Komisi dengan
melihat situasi dan kondisi masing masing kasus. Polemik seputar ketidakjelasan sanksi denda dan ganti rugi yang kerap dikenakan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) kepada pelaku usaha yang melanggar
Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat mulai terjawab. Untuk mengatasi hal tersebut KPPU
menerbitkan aturan teknis soal denda dan ganti rugi. Peraturan ini tercantum
dalam keputusan KPPU No 252/ KPPU/Kep/VII/2008 tentang Pedoman Pelaksanaan
Ketentuan Pasal 47 UU 5/1999, tanggal 31 Juli 2008.
TUJUAN,
TUGAS DAN KEWENANGAN KPPU
Adapun
tujuan dari UU No. 5 tahun 1999
sebagaimana diatur pada Pasal 3 adalah untuk :
a. menjaga kepentingan umum dan meningkatkan
efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat;
b. mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui
pengaturan persaingan usaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha
menengah dan pelaku usaha kecil;
c. mencegah praktek monopoli dan/atau persaingan
usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha, dan
d. terciptanya efektivitas dan efisiensi dalam
kegiatan usaha.
Dua
hal yang menjadi unsur penting bagi penentuan kebijakan (policy objectives) yang ideal dalam pengaturan persaingan di
negara-negara yang memiliki undang-undang persaingan adalah kepentingan umum
(public interest) dan efisiensi ekonomi (economic
efficiency). Ternyata dua unsur penting tersebut (Pasal 3 (a)) juga
merupakan bagian dari tujuan diundangkannya UU No. 5 Tahun 1999. Diharapkan
bahwa peraturan mengenai persaingan akan membantu dalam mewujudkan demokrasi
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 (Pasal 2) dan
menjamin sistem persaingan usaha yang bebas dan adil untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat serta menciptakan
sistem perekonomian yang efisien (Pasal 3). Oleh karena itu, mereka
mengambil bagian pembukaan UUD 1945 yang sesuai dengan Pasal 3 Huruf a dan b UU
No. 5 Tahun 1999 dari struktur ekonomi untuk tujuan perealisasian kesejahteraan
nasional menurut UUD 1945 dan demokrasi ekonomi, dan yang menuju pada sistem
persaingan bebas dan adil dalam pasal 3 Huruf a dan b UU No. 5 Tahun 1999. Hal
ini menandakan adanya pemberian kesempatan yang sama kepada setiap pelaku usaha
dan ketiadaan pembatasan persaingan usaha, khususnya penyalahgunaan wewenang di
sektor ekonomi.
Pasal 35
UU No.5 Tahun 1999 menentukan bahwa tugas tugas KPPU terdiri dari:
1. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
2. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan
atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak
adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha.
4. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi
sebagaimana diatur dalam Pasal 36.
5. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap
kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
6. Menyusun pedoman dan atau publikasi yang
berkaitan dengan UU No.5/1999
7. Memberikan laporan secara berkala atas hasil
kerja Komisi kepada Presiden dan DPR.
Dalam
menjalankan tugas tugasnya tersebut, Pasal 36 UU No.5/1999 memberi wewenang
kepada KPPU untuk:
1. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari
pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat.
2. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya
kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
3. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan
terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat
atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan komisi sebagai hasil penelitiannya.
4. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan
tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
5. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UU No.5/1999.
6. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan
setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran ketentuan UU No.5/1999.
7. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan
pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang dimaksud dalam nomor 5
dan 6 tersebut di atas yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi.
8. Meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam
kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang
melanggar ketentuan UU No.5/1999.
9. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat,
dokumen atau alat bukti lain untuk keperluan penyelidikan dan atau pemeriksaan.
10. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya
kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat.
11. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku
usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
12. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif
kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UU No.5/1999.
Jadi,
KPPU berwenang untuk melakukan penelitian dan penyelidikan dan akhirnya
memutuskan apakah pelaku usaha tertentu telah melanggar UU No.5/1999 atau
tidak. Pelaku usaha yang merasa keberatan terhadap Putusan KPPU tersebut
diberikan kesempatan selama 14 hari setelah menerima pemberitahuan putusan
tersebut untuk mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri.
KPPU
merupakan lembaga administratif. Sebagai lembaga semacam ini, KPPU bertindak
demi kepentingan umum. KPPU berbeda
dengan pengadilan perdata yang menangani hak-hak subyektif perorangan. Oleh
karena itu, KPPU harus mementingkan kepentingan umum dari pada kepentingan
perorangan dalam menangani dugaan pelanggaran hukum antimonopoli. Hal ini
sesuai dengan tujuan UU No.5/1999 yang tercantum dalam Pasal 3 huruf a UU
No.5/1999 yakni untuk “menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi
ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat”.
PENGATURAN
TENTANG PENGENAAN GANTI RUGI OLEH KPPU
Ketentuan soal denda
sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 47 UU No 5 /1999. Namun, Pasal tersebut
tidak merinci secara teknis penghitungan besarnya yang dapat dijatuhkan KPPU. Hanya beleid yang terkandung dalam pasal tersebut
tidak merinci secara teknis hitung-hitungan denda yang dapat dijatuhkan KPPU.
Nah, dengan adanya pedoman ini, penghitungan atas kerugian ekonomis yang
ditimbulkan karena pelanggaran hukum persaingan, memerlukan banyak pertimbangan
dan mendasarkan pada unsur kehati-hatian dalam bertindak.
Penghitungan atas
kerugian ekonomis yang ditimbulkan karena pelanggaran hukum persaingan
memerlukan banyak pertimbangan dan harus mendasarkan pada unsur kehati-hatian.
Kalau tidak ada pedoman penghitungan, KPPU dalam menetapkan denda tidak
didasarkan atas suatu dasar yang akurat. Dapat terjadi untuk suatu kasus pelanggaran
yang kecil KPPU memberikan sanksi denda atau ganti rugi dalam jumlah yang
terlampau besar. Akibatnya, pelaku usaha terbebani oleh jumlah denda atau ganti
yang terlalu besar yang tidak sebanding dengan pelanggaran yang telah
dilakukan. Oleh karena itu, keputusan KPPU No. 252/2008 tersebut diharapkan
bisa mengatasi masalah ini.
Ketentuan yang diatur
dalam Keputusan tersebut diantaranya adalah penentuan nilai dasar denda. Dalam
lampiran Keputusan KPPU No 252/2008 disebutkan bahwa nilai dasar denda akan
terkait dengan tiga hal, yakni proporsi dari nilai penjualan, tingkat
pelanggaran, dikalikan dengan jumlah tahun pelanggaran. Penentuan tingkat
pelanggaran dilakukan kasus per kasus untuk setiap tipe pelanggaran dengan
mempertimbangkan seluruh situasi yang terkait dengan kasus tersebut.
Proporsi dari nilai penjualan yang diperhitungkan,
sampai dengan 10% dari nilai penjualan tersebut. Untuk menentukan apakah
proporsi nilai penjualan yang dipertimbangkan dalam suatu kasus seharusnya
berada dalam titik tertinggi atau terendah dalam skala tersebut, KPPU akan
mempertimbangkan berbagai macam faktor, yakni skala perusahaan, jenis pelanggaran, gabungan
pangsa pasar dari para terlapor, cakupan wilayah geografis pelanggaran, dan
telah atau belum dilaksanakannya pelanggaran tersebut.
Dalam pedoman itu juga dinyatakan bahwa perjanjian
penetapan harga horizontal (sesama pelaku usaha), pembagian pasar dan
pembatasan produksi yang biasanya dilakukan secara rahasia, serta
persekongkolan tender adalah pelanggaran yang berat dalam persaingan usaha.
Dengan demikian, perjanjian tersebut akan memperoleh denda yang berat. Untuk
itu, proporsi nilai penjualan yang akan dihitung pelanggaran tersebut merupakan
proporsi tertinggi pada skala tersebut.
Untuk mempertimbangkan jangka waktu pelanggaran yang
dilakukan oleh setiap terlapor, jumlah nilai tersebut di atas akan dikalikan
dengan jumlah tahun dari pelanggaran. Periode yang kurang dari enam bulan akan
diperhitungkan sebagai setengah tahun, sedangkan periode yang lebih dari enam
bulan tapi kurang dari satu tahun akan dihitung sebagai satu tahun.
Apabila nilai penjualan para terlapor yang terlibat
dalam pelanggaran adalah serupa (tetapi tidak identik), maka KPPU dapat
menentukan bagi setiap terlapor nilai dasar denda yang sama. Lebih lanjut,
dalam menentukan nilai dasar, KPPU dapat menggunakan pembulatan. Untuk menentukan
denda, KPPU dapat mempertimbangkan keadaan yang menghasilkan penambahan atau
pengurangan nilai dasar denda tersebut, berdasarkan penilaian secara
keseluruhan.
Putusan KPPU yang berisi sanksi administratif
disebut dengan condemnatoir atau
putusan yang bersifat menghukum. Sedangkan putusan yang isinya menyatakan bahwa
pelaku usaha tertentu secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 UU Nomor 5
Tahun 1999 disebut putusan declaratoir
atau bersifat menerangkan.
Putusan-putusan tersebut mengikat dan harus
dilaksanakan oleh pelaku usaha terkait dengan perkara setelah berkekuatan hukum
tetap. Apabila dalam jangka waktu 30 hari setelah putusan berkekuatan hukum
tetap, namun pelaku usaha tidak melaksanakannya, maka KPPU melakukan permohonan
penetapan eksekusi ke Pengadilan Negeri. Jika kemudian para pelaku usaha tidak
juga melakukan putusan tersebut, maka KPPU akan menyerahkan putusan penetapan
eksekusi tersebut kepada Polri (penyidik), guna melakukan penyidikan atas ketidak-patuhan
para pelaku usaha tersebut.
Dalam
Pedoman Pasal 47 tentang Tindakan Administratif, mengatur terkait dengan
Penetapan pembayaran ganti rugi, bahwa Ganti rugi merupakan kompensasi yang
harus dibayarkan oleh pelanggar terhadap kerugian yang timbul akibat tindakan anti
persaingan yang dilakukannya. Dalam ilmu hukum, pengertian ganti rugi dapat dibedakan
ke dalam beberapa kategori, yaitu:
a. Ganti rugi nomimal yaitu ganti rugi berupa
pemberian sejumlah uang, meskipun kerugian sebenarnya tidak bisa dihitung
dengan uang, bahkan bisa jadi tidak ada kerugian material sama sekali.
b. Ganti rugi penghukuman (punitive damages) yaitu suatu ganti rugi dalam jumlah besar yang
melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya, ganti rugi itu dimaksudkan sebagai
hukuman bagi si pelaku.
c. Ganti rugi aktual (actual damages) yaitu kerugian yang benar-benar diderita secara
aktual dan dapat dihitung dengan mudah sampai ke nilai rupiah
d. Ganti rugi campur aduk (remedy meddling) yaitu suatu variasi dari berbagai taktik di mana
pihak kreditur berusaha untuk memperbesar haknya jika pihak debitur wanprestasi
dan mengurangi/menghapuskan kewajibannya jika digugat oleh pihak lain dalam
kontrak tersebut.
Dalam
konteks ini ganti rugi yang dapat ditetapkan oleh KPPU ialah jenis ganti rugi
aktual (actual damages). Besar kecilnya
ganti rugi ditetapkan oleh KPPU berdasarkan pada kerugian senyatanya yang
dialami penderita. Dalam hal ini KPPU akan menerapkan prinsip-prinsip penetapan
ganti rugi sesuai dengan konteks hukum perdata dimana beban pembuktian berada
pada pelaku usaha yang meminta ganti kerugian. Proses perhitungan ganti rugi
dilakukan berdasar pihak yang menerima kompensasi ganti rugi. Untuk melakukan
perhitungan kompensasi ganti rugi pada pelaku usaha maka pelaku usaha tersebut
wajib membuktikan besar kerugian senyatanya yang ia derita, lalu KPPU melakukan
perhitungan mengenai kebenaran (validitas) perhitungan tersebut berdasar asas
kesesuaian, keadilan dan kepatutan.
Dalam
ketentuan Pasal 47 huruf f Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, hanya mengatur penetapan
pembayaran ganti rugi tanpa mengatur di dalamnya terkait kepada siapa
pembayaran ganti rugi diberikan. Sehingga di dalam pedoman pasal 47 dijelaskan
lebih lanjut terkait kepada siapa pembayaran ganti rugi diberikan.
Pasal 38 ayat 2 Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
dijelaskan bahwa pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran
terhadap undang-undang ini dapat melaporkan secara tertulis kepada komisi
dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran
serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas “Terlapor”.
Sehingga penetapan ganti rugi merupakan ganti rugi terhadap pihak yang
dirugikan sebagai akibat pelanggaran atas Undang-undang anti monopoli. Maka
dari itu penetapan ganti rugi ditujukan kepada pihak yang dirugikan, dalam hal
ini bukan Negara.
PENENTUAN
BESARAN NILAI DASAR
1.
Perhitungan Nilai Penjualan
Dalam
menentukan nilai dasar denda yang akan ditetapkan, KPPU akan menggunakan nilai
penjualan/pembelian barang atau jasa Terlapor pada pasar bersangkutan. Pada
umumnya nilai penjualan akan dihitung berdasarkan nilai keseluruhan penjualan
pada tahun sebelum pelanggaran dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan
estimasi nilai penjualan pelaku usaha yang terlibat pelanggaran pada saat data
penjualan tahunannya belum tersedia. Dalam kasus tender, penentuan nilai
penjualan tidak didasarkan pada penghitungan nilai penjualan tahun sebelum
pelanggaran, namun berdasarkan harga pemenang tender.
Pada
pelanggaran yang dilakukan oleh sekelompok Terlapor, maka nilai penjualan akan
dihitung sebagai penjumlahan dari seluruh nilai penjualan anggotanya. Dalam
menentukan nilai penjualan terlapor, KPPU akan menggunakan nilai perkiraan
penjualan yang paling menggambarkan nilai penjualan sebenarnya. Nilai penjualan
akan ditentukan sebelum PPN dan pajak lainnya yang terkait langsung dengan
nilai penjualan tersebut. Apabila data yang diserahkan oleh terlapor tidak
lengkap atau tidak dapat diandalkan, maka KPPU dapat menentukan nilai
penjualannya dengan berdasarkan data tidak lengkap tersebut dan/atau informasi
lain terkait yang relevan dan tepat.
Penentuan
Nilai Dasar Denda
Nilai
dasar denda akan terkait dengan proporsi dari nilai penjualan, tergantung dari
tingkat pelanggaran, dikalikan dengan jumlah tahun pelanggaran. Penentuan
tingkat pelanggaran akan dilakukan secara kasus per kasus untuk setiap tipe
pelanggaran, dengan mempertimbangkan seluruh situasi yang terkait dengan kasus
tersebut. Sebagai panduan umum, proporsi dari nilai penjualan yang
diperhitungkan adalah sampai dengan 10% dari nilai penjualan tersebut. Untuk
menentukan apakah proporsi nilai penjualan yang dipertimbangkan dalam kasus
tersebut seharusnya berada dalam titik tertinggi atau terendah dalam skala
tersebut, KPPU akan mempertimbangkan berbagai macam faktor dapat berupa :
1.
skala perusahaan,
2.
jenis pelanggaran,
3.
gabungan pangsa pasar pada para terlapor,
4.
cakupan wilayah geografis pelanggaran dan
5.
telah atau belum dilaksanakan pelanggaran tersebut.
Perjanjian
penetapan harga horizontal, pembagian pasar dan pembatasan produksi yang
biasanya dilakukan secara rahasia, persekongkolan tender adalah pelanggaran
yang paling berat. Untukitu proporssi nilai penjualan yang akan dihitung
pelanggaran tersebut merupakan proporsi tertinggi pada skala tersebut diatas. Untuk
mempertimbangkan jangka waktu pelanggaran yang dilakukan oleh setiap terlapor,
jumlah nilai tersebut akan dikalikan jumlah tahun dari pelanggaran.
2.
Penyesuaian terhadap besaran nilai dasar denda
Dalam pengenaan denda, KPPU dapat
mempertimbangkan keadaan yang menghasilkan penambahan atau peengurangan nilai
dasar denda tersebut berdasarkan penilaian secara keseluruhan dengan tetap
memperhatikan seluruh aspek-aspek yang terkait.
Hal-Hal
Yang Memberatkan
Nilai
dasar dapat ditambahkan ketika KPPU menemukan hal-hal yang memberatkan, sebagai
berikut :
- Apabila terlapor melanjutkan atau mengulangi
pelanggaran yang sama ketika KPPU menemukan bahwa terlapor melanggar UU 5/1999,
maka nilai dasar akan ditambah sampai dengan 100% untuk setiap pelanggaran yang
dilakukan.
- Menolak diperiksa, menolak memberikan informasi
yang diperlukan dalam penyelidikan dan/atau pemeriksaan, atau menghambat proses
penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
- Bagi Pemimpin atau penggagas dari pelanggaran,
KPPU akan memberikan perhatian khusus terhadap langkah-langkah yang dilakukan
oleh penggagas dalam peranannya menekan atau mengancam pihak yang lain.
Hal-Hal
Yang Meringankan
Nilai
dasar dapat dikurangi apabila KPPU menemukan hal-hal yang meringankan sbb:
- Terlapor memberikan bukti bahwa dia telah
menghentikan tindakan pelanggaran segera setelah KPPU melakukan penyelidikan.
- Terlapor menunjukkan bukti bahwa pelanggaran
tersebut dilakukan secara tidak sengaja.
- Terlapor menunjukkan bukti bahwa keterlibatannya
adalah minimal.
- Terlapor bersikap baik dan kooperatif dalam proses
penyelidikan dan/atau pemeriksaan.
- Apabila tindakan tersebut merupakan perintah
perundangan-undangan atau persetujuan instansi yang berwenang.
- Adanya pernyataan kesediaan untuk melakukan
perubahan perilaku dari pelaku usaha
Tambahan
Denda untuk Penjera
KPPU
akan memberikan perhatian khusus kepada kebutuhan untuk menjamin bahwa denda
mengandung efek penjera yang cukup. Pada akhirnya, hal tersebut akan
meningkatkan denda yang dikenakan pada pihak terlapor yang memiliki turnover
yang lebih besar dari penjualan barang dan jasa yang terkait dengan
pelanggaran. KPPU akan juga mempertimbangkan kebutuhan untuk menambah denda
dengan tujuan untuk melebihi jumlah dari keuntungan yang diperoleh dari
tindakan pelanggaran yang dimungkinkan untuk diperhtungkan nilainya.
3.
Rentang Besaran Denda
-Jumlah akhir dari besaran dalam keadaan apapun,
tidak boleh melebihi Rp. 25.000.000.000,-
-Jumlah akhir dari besaran denda dalam keadaan
apapun, tidak boleh melebihi 10% dari total turn over dari tahun berjalan dari
pihak terlapor atau para terlapor yang terkait dengan pelanggaran.
-Jika jumlah denda lebih dari Rp. 25.000.000.000,-
Dan 10%
turn over lebih besar dari Rp. 25.000.000.000,- maka akan dikenakan denda akhir
Rp. 25.000.000..000,- Dan 10% turnover lebih kecil atau sama dengan
Rp25.000.000.000,- maka akan dikenakan denda akhir sebesar 10% turnover
- Jika jumlah perhitungan denda kurang dari
Rp.1.000.000.000,
- Mempertimbangkan aspek keadilan maka denda dapat
dikenakan atau diganti dengan bentuk sanksi lainnya.
- Apabila pelanggaran oleh para terlapor terkait
dengan aktifitas dari anggotanya, denda tidak boleh melebihi dari 10% dari
total turnover dari tiap anggota pada pasar yang terkena dampak dari
pelanggaran.
4.
Kemampuan untuk Membayar
KPPU dapat, berdasarkan permintaan pihak
terlapor, mempertimbangkan kemampuan membayar dari terlapor pada konteks sosial
dan ekonomi tertentu. Pengurangan akan diberikan secara individu berdasar pada
bukti objektif yaitu bila denda tersebut akan berakibat pada bankrutnya
perusahaan.
HAMBATAN
EKSEKUSI HUKUMAN ADMINISTRATIF BERUPA GANTI RUGI DAN DENDA
Di
antara sanksi aministratif yang dapat dijatuhkan dalam putusan KPPU sebagaimana
Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, yang menarik untuk dibahas
adalah berupa pembayaran ganti rugi dan pengenaan denda minimal Rp. 1 miliar
dan maksimal Rp. 25 miliar. Dalam Pasal 44 ayat (1) memberikan kesempatan
kepada pelaku usaha dalam tempo 30 hari setelah menerima pemberitahuan putusan
KPPU wajib melaksanakan putusan dengan sukarela dan laporan pelaksanaanya disampaikan
kepada KPPU. Sebagaimana diketahui KPPU sebagai lembaga pengawas pelaksanaan
Undang- Undang No. 5 Tahun 1999, kedudukan KPPU bukan sebagai lembaga peradilan
perdata, oleh karena itu KPPU tidak dapat mengeksekusi putusannya sendiri
seperti pada pengadilan negeri.
Putusan
KPPU yang menghukum supaya pelaku membayar ganti rugi atau membayar denda,
walaupun sudah memiliki kekuatan hukum tetap karena pelaku tidak mengajukan
upaya hukum, tidak dapat dieksekusi oleh KPPU. Dalam hal ini KPPU tidak dapat
melakukan peneguran (aanmaning), sita
eksekusi, maupun pelelangan. Dengan mengetahui hambatan tersebut, maka terhadap
pelaku usaha yang merasa dirugikan, dapat melakukan gugatan perdata ke
pengadilan negeri dengan mendasarkan gugatannya pada Pasal 1365 KUH Perdata
tentang perbuatan melanggar hukum dengan menuntut ganti rugi baik secara
materiil maupun inmateriil.
KESIMPULAN
Untuk
melakukan eksekusi putusan, KPPU tidak mempunyai upaya paksa terhadap pelaku
untuk membayar denda dikarenakan belum adanya peraturan yang secara jelas
mengatur mengenai pembayaran ganti rugi dan denda. Dan apabila dijalankan maka
akan bertentangan dengan prinsip kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, dalam
melakukan eksekusi, KPPU meminta bantuan kepada Pengadilan Negeri.
Ganti
rugi KPPU ditentukan dengan menempuh dua langkah, yaitu KPPU akan menentukan
besaran nilai dasar dan melakukan oenyesuaian dengan menambahkan atau
mengurangi nilai dasar tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar