KONSEP LINGKUNGAN DALAM SUMBER HUKUM INDONESIA
Dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
Tahun 1945) dinyatakan bahwa tujuan Pemerintah Negara Indonesia adalah "untuk
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum", oleh karenanya negara mempunyai
tanggung jawab terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
(sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan sumberdaya budaya). Selain itu, dalam ketentuan batang tubuh UUD NRI Tahun
1945, pada Pasal 25A
dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan
wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
Ada satu
terminologi dan konsep tentang hukum berbasis lingkungan
yang kini tampaknya mulai dipahami
secara luas, yaitu green constitution (konstitusi hijau). Terminologi dan konsep green constitution merupakan
fenomena baru di kalangan praktisi dan akademisi
yang menggeluti tentang isu lingkungan, termasuk di kalangan para ahli hukum
dan konstitusi. Pada prinsipnya, green constitution melakukan konstitusionalisasi
norma hukum lingkungan ke dalam konstitusi melalui menaikkan derajat norma
perlindungan lingkungan hidup ke tingkat konstitusi. Dengan demikian,
pentingnya prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan
perlindungan terhadap lingkungan hidup menjadi memiliki pijakan yang kuat dalam
peraturan perundang-undangan. Atas dasar itu, green constitution
kemudian mengintrodusir terminologi dan konsep yang disebut dengan ekokrasi (ecocracy)
yang menekankan pentingnya kedaulatan lingkungan.
Dalam konteks
Indonesia, green constitution dan ecocracy tercermin dalam
gagasan tentang kekuasaan dan hak asasi manusia serta konsep demokrasi ekonomi
sebagaimana ditegaskan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Pasal 28H Ayat (1) dan pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
memberikan landasan
konstitusional bagi green constitution. Dengan demikian, norma
perlindungan lingkungan hidup di Indonesia sebetulnya kini telah memiliki
pijakan yang semakin kuat.
Dalam hal perekonomian,
ketentuan Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945
menyatakan bahwa :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas
demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pembangunan Indonesia tentunya tidak lepas dari pembangunan perekonomian
nasional yang telah ditentukan pada Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945
dilaksanakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ketentuan
"berwawasan lingkungan"
Pembangunan berkelanjutan
adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang
berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan
generasi masa depan[1]
(Brundtland Report yang dirilis oleh World
Commission on Environment and Development (WCED) pada 1987). Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan
tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana
yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses
pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi
masa kini dan generasi masa depan.
Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses
pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam dan sumberdaya
manusia dengan menyerasikan keduanya dalam pembangunan. Sebagai sebuah konsep,
pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian sebagai pembangunan yang
memperhatikan dan mempertimbangkan dimensi lingkungan yang mana pelaksanaannya
telah diperbincangkan dalam Konferensi Stockholm (UN Conference on Human
Environtment) tahun 1972 yang mengajurkan agar pembangunan dilaksanakan
dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (eco-development).[2]
Ketentuan lain dalam batang tubuh UUD NRI Tahun 1945 pada Pasal 28H ayat
(1) menentukan bahwa :
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.
Ketentuan Pasal 28 dan Pasal 28A hingga Pasal 28J mengatur tentang Hak
Asasi Manusia, yang dijabarkan lebih luas dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Dari sudut komitmen negara
terdapat beberapa kategori dari konstitusionalisasi lingkungan, yaitu[3] :
- Kategori Komitmen Tertinggi
Pengakuan terhadap hukum untuk alam (right
for nature) yang dilengkapi dengan hak-hak subyektif (subjective rights)
dan kewajiban negara (the duty of state) di bidang pengelolaan
lingkungan hidup, serta arah dari pola pembangunan, yakni pembangunan
berkelanjutan dalam kemasan khusus environmental
charter atau charter for nature. Kategori ini menawarkan paradigma
baru, yakni ecocentrism vis a vis anthropocentrism.
- Kategori Komitmen Tinggi
Pengakuan subjective rights
dilengkapi dengan duty of state di bidang pengelolaa lingkungan hidup
serta dari arah pola pembangunan (pembangunan berkelanjutan) dalam kemasan
khusus, yaktu environmental charter. Paradigma yang ditawarkan oleh kategori
ini masih anthropocentrisme.
- Kategori Komitmen Memadai
Pengakuan subjective rights
dengan duty of state di bidang pengelolaan lingkungan hidup dalam pasal-pasal
khusus (tidak ditumpangkan atau dicampurkan dengan hak-hak fundamental yang
lain). Seperti halnya kategori kedua, kategori ini mengakui hak dan kewajiban
negara tetapi tidak memuat arah maupun pola pembangunan.
- Kategori Komitmen Sedang
Kategori ini memberikan pengakuan
terhadap subjective rights tanpa mengakui secara spesifik adanya duty
of state di bidang lingkungan hidup, namun terdapat muatan tentang pola dan
arah pembangunan berkelanjutan walaupun tidak ditempatkan dalam pasal-pasal
khusus melainkan ditumpangkan atau dicampur dengan hak-hak fundamental lainnya.
Kategori ini juga memasukkan negara yang konstitusinya hanya mengakui subjective
rights atau duty of state saja yang muatannya dicampur dengan hak
fundamental lainnya.
- Kategori Komitmen Rendah
Kategori ini mengacu pada konstitusi
yang sama sekali tidak mengakui norma hukum lingkungan (subjective rights
maupun duty of state) maupun pemuatan pola dan arah pembangunan.
Sebagaimana telah disebutkan
diatas, UUD NRI Tahun 1945 telah memberikan dua bentuk pengakuan terhadap
konstitusionalisasi norma hukum lingkungan : Pertama, mengkui subjective
rights dalam pengelolaan lingkungan sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945; Kedua, pengakuan bahwa elemen
berwawasan lingkungan merupakan elemen penting dalam perkonomian nasional
sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.
Dalam konteks perekonomian, meski tidak terlalu jelas menekankan pembangunan
berkelanjutan sebagai arah dan pola pembangunan, ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD
NRI Tahun 1945 dapat ditafsirkan memberi arah pembangunan ekonomi yang
didasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan.
Setidaknya
terdapat dua alasan utama pentingnya konsepsi Green Constitution dan Ecocracy
untuk dipahami oleh segenap bangsa Indonesia, yaitu :
- Terhadap kondisi
kelestarian lingkungan hidup yang kini sangat memprihatinkan, sudah
seharusnya kita meletakkan dan menguatkan kembali dasar-dasar konseptual
mengenai persoalan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan dengan
wawasan lingkungan;
- UUD NRI Tahun 1945
sebagai the supreme law of the land
pada dasarnya telah memuat gagasan dasar mengenai kedaulatan
lingkungan dan ekokrasi yang dapat disetarakan nilai-nilainya dengan
konsep demokrasi dan nomokrasi. Sehingga secara tegas norma-norma hukum
lingkungan hidup yang ada di dalamnya, secara tegas telah mengharuskan
seluruh peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai sektor
pembangunan untuk patuh dan tunduk kepadanya. Tetapi, hingga kini belum
banyak yang mampu menerjemahkan maksud dan nilai-nilai lingkungan hidup
dalam UUD NRI Tahun 1945.[4]
KETENTUAN HUKUM INDONESIA YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN
Dalam Hukum Indonesia pengaturan
hukum yang berwawasan lingkungan terdapat dalam ketentuan Undang-Undang
diantaranya sebagai berikut :
1.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Frame
Work Convention On Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka
Kerja PBB tentang
Perubahan Iklim).
2.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya)
3.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic
Resources for Food and Agriculture (Perjanjian
Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman Untuk Pangan dan Pertanian).
4. Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
5.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
6. Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
7. Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
8. Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
9. Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
10. Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
11. Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
12. Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
13. Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
14. Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
15. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
16. Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
17. Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan
18. Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
19. Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
20. Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan
21. Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani
22. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
23. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
24. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014
tentang Konservasi Tanah Air
25. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014
tentang Perkebunan
26. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
27. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016
tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam
28. Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
29. Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
30. Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman
31. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
32. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
33. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
34. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
35. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
36. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
37. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
38. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi
39. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
40. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
41. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara
42. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan
43. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013
tentang Keantariksaan
44. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014
tentang Panas Bumi
45. Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
46. Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
47. Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
48. Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional
Dari beberapa Undang-Undang tersebut
diatas, terdapat 3 Undang-Undang yang telah dilakukan pengujian konstitusionalnya
oleh Mahkamah Konstitusi dan sudah diputus Mahkamah Konstitusi dengan putusan
Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat, yaitu Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Pendapat
hukum Mahkamah terkait pengujian ketiga UU tersebut terdapat pada tabel
lampiran dibawah.
Berdasarkan atas pendapat dan putusan
MK tersebut, dapat disimpulkan bahwa :
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
Dalam perkara
pengujian Undang-Undang Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang diputus oleh Mahkamah
Konstitusi pada tahun 2004 Hakim Mahkamah memutus perkara dengan pertimbangan :
Bahwa
pokok permohonan Para Pemohon yang pada dasarnya menyangkut kompetisi dalam
kegiatan usaha ketenagalistrikan yang dalam UU No. 20 Tahun 2002 dilakukan
secara terpisah (unbundled) oleh badan usaha yang berbeda, akan dinilai
apakah benar bertentangan dengan UUD 1945 dengan mempertimbangkan dua hal
berikut:
1.
Apakah cabang produksi tenaga listrik merupakan cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga harus
dikuasai oleh negara?
2.
Kalau penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak anti terhadap kompetisi
dan tidak anti terhadap pasar, bagaimanakah penguasaan negara menurut Pasal 33
UUD 1945 dapat dilakukan?
Tenaga
listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak sehingga sesuai dengan Pasal 33 ayat (2) cabang
produksi tenaga listrik tersebut haruslah dikuasai oleh negara. Merujuk pada
penafsiran Mahkamah atas penguasaan negara harus dinilai berdasarkan Pasal 33
UUD 1945 secara keseluruhan, termasuk penyelenggaraan perekonomian nasional
berdasar atas demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
dan berwawasan lingkungan dengan mana ditafsirkan bahwa penguasaan negara juga
termasuk dalam arti pemilikan privat yang tidak harus selalu 100%. Artinya, pemilikan
saham Pemerintah dalam badan usaha yang menyangkut cabang produksi yang penting
bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud, dapat
bersifat mayoritas mutlak (di atas 50%) atau bersifat mayoritas relatif (di
bawah 50%) sepanjang Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas relatif
tersebut secara hukum tetap memegang kedudukan menentukan dalam pengambilan keputusan
di badan usaha dimaksud.
Hal tersebut harus dipahami bahwa meskipun Pemerintah hanya memiliki saham
mayoritas relatif dalam BUMN akan tetapi harus dipertahankan posisi negara
untuk tetap sebagai pihak yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan
atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan yang menggambarkan
penguasaan negara yang mencakup pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan
pengawasan. Meskipun ketentuan yang dipandang
bertentangan dengan konstitusi pada dasarnya adalah Pasal 16, 17 ayat (3),
serta 68, khususnya yang menyangkut unbundling dan kompetisi, akan tetapi
karena pasal-pasal tersebut merupakan jantung dari UU No. 20 Tahun 2002 padahal
seluruh paradigma yang mendasari UU Ketenagalistrikan adalah kompetisi atau
persaingan dalam pengelolaan dengan sistem unbundling dalam ketenagalistrikan
yang tercermin dalam konsideran “Menimbang” huruf b dan c UU Ketenagalistrikan.
Hal tersebut tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945
yang merupakan norma dasar perekonomian nasional Indonesia. Cabang produksi dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 di bidang ketenagalistrikan harus ditafsirkan sebagai satu kesatuan antara
pembangkit, transmisi, dan distribusi sehingga dengan
demikian, meskipun hanya pasal, ayat, atau bagian dari ayat tertentu saja dalam undang-undang a quo yang dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat akan tetapi hal tersebut
mengakibatkan UU No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan tidak dapat dipertahankan, karena akan menyebabkan kekacauan yang menimbulkan
ketidakpastian hukum dalam penerapannya.
Oleh karena Pasal 16 dan 17
dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 yang berakibat UU No. 20 Tahun 2002
secara keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum
karena paradigma yang mendasarinya bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena
itu guna mencegah timbulnya kesalahpahaman dan keragu-raguan yang mengakibatkan
timbulnya kesan tidak adanya kepastian hukum di bidang ketenagalistrikan di
Indonesia, perlu ditegaskan bahwa sesuai dengan Pasal 58 UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai akibat hukum
sejak diucapkan dan berlaku ke depan (prospective) sehingga tidak
mempunyai daya laku yang bersifat surut (retroactive). Dengan demikian,
semua perjanjian atau kontrak dan ijin usaha di bidang ketenagalistrikan yang
telah ditandatangani dan dikeluarkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2002 tetap
berlaku sampai perjanjian atau kontrak dan ijin usaha tersebut habis atau tidak
berlaku lagi.
Guna menghindari kekosongan
hukum (rechtsvacuum), maka undang-undang yang lama di bidang
ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang
menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan yang
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dinyatakannya
keseluruhan UU No. 20 Tahun 2002 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
disarankan agar pembentuk undang-undang menyiapkan RUU Ketenagalistrikan yang
baru yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.
2. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Dalam perkara
pengujian Undang-Undang Nomor 85/PUU-XI/2013 yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2015, Hakim Mahkamah
memutus perkara dengan pertimbangan :
Pokok
permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas pasal-pasal dalam
UU SDA sebagaimana disebutkan secara lengkap dalam bagian Duduk Perkara yang
dapat dikelompokkan kedalam pokok permasalahan sebagai berikut: i) Pengelolaan
air dengan mempergunakan instrumen pemberian hak guna air, sebagaimana diatur
dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10; ii) Pendayagunaan
sumber daya air, termasuk pengusahaan air, sebagaimana diatur dalam Pasal 26,
Pasal 29, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 48, dan Pasal 49; iii) Pembiayaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 80; dan iv) Gugatan masyarakat dan organisasi
sebagaimana diatur dalam Pasal 90, Pasal 91, dan Pasal 92.
Keterkaitan
erat antara tanah dan air, antara daratan dan lautan, dimuat dalam Pasal 25A
UUD 1945 yang menyatakan, “Negara
Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri
Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknyaditetapkan dengan
undang-undang” yang sebelum perubahan UUD tersebut telah dikukuhkan dalam
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Prp 1960 tentang Perairan Indonesia yang
menyatakan, “Perairan Indonesia ialah
laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia”, dan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention On The Law Of The Sea (Kovensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Jadi antara pulau (daratan)
yang satu dengan pulau (daratan)yang lainnya serta perairannya menjadi satu
kesatuan. Inilah yang biasa disebut nusantara atau negara kepulauan (archipelagic state). Dengan perkataan
lain, seluruh daratan yang terdiri atas pulau-pulau di Indonesia disatukan oleh air. Kesejahteraan rakyat
salah satunya berasal dari sumber daya
alam yang termasuk didalamnya sumber daya air. Sumber daya air sebagai
sumber kesejahteraan memiliki makna yang terkait erat dengan istilah “ibu
pertiwi” yang merupakan julukan personifikasi bagi negara Indonesia sebagai ibu
yang menyusui dan menyayangi rakyat sebagai anak-anaknya.
Kebutuhan
masyarakat terhadap air yang semakin meningkat mendorong lebih menguatnya
ekonomi air dibanding nilai dan fungsi sosialnya. Kondisi tersebut berpotensi
menimbulkan konflik kepentingan antarsektor, antarwilayah dan berbagai pihak
yang terkait dengan sumber daya air. Di sisi lain, pengelolaan sumber daya air
yang lebih bersandar pada nilai ekonomi akan cenderung memihak kepada pemilik
modal serta dapat mengabaikan fungsi sosial sumber daya air. Berdasarkan
pertimbungan tersebut, seharusnya Undang-Undang a quo lebih memberikan perlindungan terhadap kepentingan kelompok
masyarakat ekonomi lemah dengan menerapkan prinsip pengelolaan sumber daya air
yang mampu menyelaraskan fugsi sosial, pelestarian lingkungan hidup, dan
ekonomi. Jaminan bahwa negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air
itu menjadi syarat yang tak dapat ditiadakan dalam menilai
konstitusionalitas UU SDA sebab hanya dengan cara itulah hal-hal berikut,
sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004
dan Nomor 008/PUU-III/2005.
Karena UU
SDA dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan untuk mencegah terjadinya
kekosongan
pengaturan mengenai sumber daya air maka sembari menunggu pembentukan
Undang-Undang baru yang memperhatikan putusan Mahkamah oleh pembentuk
Undang-Undang, maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan
diberlakukan kembali.
Tulisan ini ditulis untuk Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang-DPR RI.
[1] Humanity
has the ability to make development sustainable to ensure that it meets the
needs of the present without compromising the ability of future generations to
meet their own needs. World
Commission on Environment and Development. Report
of the World Commission on Environment and Development: Our Common Future (online). http://www.un-documents.net/our-common-future.pdf diakses pada
31 Juli 2017
[2] Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional. (Surabaya University Press, 2000). Hlm. 27.
[3] Sambutan Mas Achmad Santosa dalam Jimly Asshiddiqie. Green Constitution, Nuansa Hijau
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (Jakarta : Rajawali Pers, 2010). Hlm. v-vi.
[4] Jimly Asshiddiqie.
Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. (Jakarta : Rajawali
Pers, 2010). Hlm. x.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar