Selasa, 10 Oktober 2017

KONSTITUSIONALITAS LINGKUNGAN DALAM PEMBENTUKAN HUKUM INDONESIA

KONSEP LINGKUNGAN DALAM SUMBER HUKUM INDONESIA
        Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945) dinyatakan bahwa tujuan Pemerintah Negara Indonesia adalah "untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum", oleh karenanya negara mempunyai tanggung jawab terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (sumberdaya manusia, sumberdaya alam dan sumberdaya budaya). Selain itu, dalam ketentuan batang tubuh UUD NRI Tahun 1945, pada  Pasal 25A dinyatakan bahwa  Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
          Ada satu terminologi dan konsep tentang hukum berbasis lingkungan yang kini tampaknya mulai dipahami secara luas, yaitu green constitution (konstitusi hijau). Terminologi dan konsep green constitution merupakan fenomena baru di kalangan praktisi dan akademisi yang menggeluti tentang isu lingkungan, termasuk di kalangan para ahli hukum dan konstitusi. Pada prinsipnya, green constitution melakukan konstitusionalisasi norma hukum lingkungan ke dalam konstitusi melalui menaikkan derajat norma perlindungan lingkungan hidup ke tingkat konstitusi. Dengan demikian, pentingnya prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup menjadi memiliki pijakan yang kuat dalam peraturan perundang-undangan. Atas dasar itu, green constitution kemudian mengintrodusir terminologi dan konsep yang disebut dengan ekokrasi (ecocracy) yang menekankan pentingnya kedaulatan lingkungan. 
          Dalam konteks Indonesia, green constitution dan ecocracy tercermin dalam gagasan tentang kekuasaan dan hak asasi manusia serta konsep demokrasi ekonomi sebagaimana ditegaskan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 28H Ayat (1) dan pasal 33 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 memberikan landasan konstitusional bagi green constitution. Dengan demikian, norma perlindungan lingkungan hidup di Indonesia sebetulnya kini telah memiliki pijakan yang semakin kuat.
          Dalam hal perekonomian, ketentuan  Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa :
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pembangunan Indonesia tentunya tidak lepas dari pembangunan perekonomian nasional yang telah ditentukan pada Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dilaksanakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Ketentuan "berwawasan lingkungan"
          Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan[1] (Brundtland Report yang dirilis oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pada 1987). Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
          Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam dan sumberdaya manusia dengan menyerasikan keduanya dalam pembangunan. Sebagai sebuah konsep, pembangunan berkelanjutan mengandung pengertian sebagai pembangunan yang memperhatikan dan mempertimbangkan dimensi lingkungan yang mana pelaksanaannya telah diperbincangkan dalam Konferensi Stockholm (UN Conference on Human Environtment) tahun 1972 yang mengajurkan agar pembangunan dilaksanakan dengan memperhitungkan daya dukung lingkungan (eco-development).[2]
            Ketentuan lain dalam batang  tubuh UUD NRI Tahun 1945 pada Pasal 28H ayat (1) menentukan bahwa :
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.   
Ketentuan Pasal 28 dan Pasal 28A hingga Pasal 28J mengatur tentang Hak Asasi Manusia, yang dijabarkan lebih luas dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
    Dari sudut komitmen negara terdapat beberapa kategori dari konstitusionalisasi lingkungan, yaitu[3] :
  1. Kategori Komitmen Tertinggi
Pengakuan terhadap hukum untuk alam (right for nature) yang dilengkapi dengan hak-hak subyektif (subjective rights) dan kewajiban negara (the duty of state) di bidang pengelolaan lingkungan hidup, serta arah dari pola pembangunan, yakni pembangunan berkelanjutan  dalam kemasan khusus environmental charter atau charter for nature. Kategori ini menawarkan paradigma baru, yakni ecocentrism vis a vis anthropocentrism.
  1. Kategori Komitmen Tinggi
Pengakuan subjective rights dilengkapi dengan duty of state di bidang pengelolaa lingkungan hidup serta dari arah pola pembangunan (pembangunan berkelanjutan) dalam kemasan khusus, yaktu environmental charter. Paradigma yang ditawarkan oleh kategori ini masih anthropocentrisme.
  1. Kategori Komitmen Memadai
Pengakuan subjective rights dengan duty of state di bidang pengelolaan lingkungan hidup dalam pasal-pasal khusus (tidak ditumpangkan atau dicampurkan dengan hak-hak fundamental yang lain). Seperti halnya kategori kedua, kategori ini mengakui hak dan kewajiban negara tetapi tidak memuat arah maupun pola pembangunan.
  1. Kategori Komitmen Sedang
Kategori ini memberikan pengakuan terhadap subjective rights tanpa mengakui secara spesifik adanya duty of state di bidang lingkungan hidup, namun terdapat muatan tentang pola dan arah pembangunan berkelanjutan walaupun tidak ditempatkan dalam pasal-pasal khusus melainkan ditumpangkan atau dicampur dengan hak-hak fundamental lainnya. Kategori ini juga memasukkan negara yang konstitusinya hanya mengakui subjective rights atau duty of state saja yang muatannya dicampur dengan hak fundamental lainnya.
  1. Kategori Komitmen Rendah
Kategori ini mengacu pada konstitusi yang sama sekali tidak mengakui norma hukum lingkungan (subjective rights maupun duty of state) maupun pemuatan pola dan arah pembangunan.
      Sebagaimana telah disebutkan diatas, UUD NRI Tahun 1945 telah memberikan dua bentuk pengakuan terhadap konstitusionalisasi norma hukum lingkungan : Pertama, mengkui subjective rights dalam pengelolaan lingkungan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI Tahun 1945; Kedua, pengakuan bahwa elemen berwawasan lingkungan merupakan elemen penting dalam perkonomian nasional sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Dalam konteks perekonomian, meski tidak terlalu jelas menekankan pembangunan berkelanjutan sebagai arah dan pola pembangunan, ketentuan Pasal 33 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dapat ditafsirkan memberi arah pembangunan ekonomi yang didasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan.
          Setidaknya terdapat dua alasan utama pentingnya konsepsi Green Constitution dan Ecocracy untuk dipahami oleh segenap bangsa Indonesia, yaitu :
  1. Terhadap kondisi kelestarian lingkungan hidup yang kini sangat memprihatinkan, sudah seharusnya kita meletakkan dan menguatkan kembali dasar-dasar konseptual mengenai persoalan lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan dengan wawasan lingkungan;
  2. UUD NRI Tahun 1945 sebagai the supreme law of the land  pada dasarnya telah memuat gagasan dasar mengenai kedaulatan lingkungan dan ekokrasi yang dapat disetarakan nilai-nilainya dengan konsep demokrasi dan nomokrasi. Sehingga secara tegas norma-norma hukum lingkungan hidup yang ada di dalamnya, secara tegas telah mengharuskan seluruh peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai sektor pembangunan untuk patuh dan tunduk kepadanya. Tetapi, hingga kini belum banyak yang mampu menerjemahkan maksud dan nilai-nilai lingkungan hidup dalam UUD NRI Tahun 1945.[4]

KETENTUAN HUKUM INDONESIA YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN
          Dalam Hukum Indonesia pengaturan hukum yang berwawasan lingkungan terdapat dalam ketentuan Undang-Undang diantaranya sebagai berikut :
1.     Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol To The United Nations Frame Work Convention On Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim).
2.     Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
3.     Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture  (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman Untuk Pangan dan Pertanian).
4.     Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
5.     Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis
6.     Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
7.     Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman
8.     Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
9.     Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
10. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
11. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
12. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
13. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
14. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
15. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
16. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
17. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
18. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura
19. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
20. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan
21. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani
22. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
23. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan
24. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah Air
25. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
26. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
27. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam
28. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
29. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial
30. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman
31. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal
32. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
33. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
34. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan
35. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
36. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
37. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
38. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi
39. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
40. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
41. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara
42. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
43. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan
44. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi
45. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
46. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
47. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
48. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem  Perencanaan Pembangunan Nasional
          Dari beberapa Undang-Undang tersebut diatas, terdapat 3 Undang-Undang yang telah dilakukan pengujian konstitusionalnya oleh Mahkamah Konstitusi dan sudah diputus Mahkamah Konstitusi dengan putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Pendapat hukum Mahkamah terkait pengujian ketiga UU tersebut terdapat pada tabel lampiran dibawah.
          Berdasarkan atas pendapat dan putusan MK tersebut, dapat disimpulkan bahwa :
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
Dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 001-021-022/PUU-I/2003 yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2004 Hakim Mahkamah memutus perkara dengan pertimbangan :
          Bahwa pokok permohonan Para Pemohon yang pada dasarnya menyangkut kompetisi dalam kegiatan usaha ketenagalistrikan yang dalam UU No. 20 Tahun 2002 dilakukan secara terpisah (unbundled) oleh badan usaha yang berbeda, akan dinilai apakah benar bertentangan dengan UUD 1945 dengan mempertimbangkan dua hal berikut:
1. Apakah cabang produksi tenaga listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, sehingga harus dikuasai oleh negara?
2. Kalau penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak anti terhadap kompetisi dan tidak anti terhadap pasar, bagaimanakah penguasaan negara menurut Pasal 33 UUD 1945 dapat dilakukan?
          Tenaga listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga sesuai dengan Pasal 33 ayat (2) cabang produksi tenaga listrik tersebut haruslah dikuasai oleh negara. Merujuk pada penafsiran Mahkamah atas penguasaan negara harus dinilai berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 secara keseluruhan, termasuk penyelenggaraan perekonomian nasional berdasar atas demokrasi ekonomi, prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, dan berwawasan lingkungan dengan mana ditafsirkan bahwa penguasaan negara juga termasuk dalam arti pemilikan privat yang tidak harus selalu 100%. Artinya, pemilikan saham Pemerintah dalam badan usaha yang menyangkut cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak dimaksud, dapat bersifat mayoritas mutlak (di atas 50%) atau bersifat mayoritas relatif (di bawah 50%) sepanjang Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas relatif tersebut secara hukum tetap memegang kedudukan menentukan dalam pengambilan keputusan di badan usaha dimaksud. Hal tersebut harus dipahami bahwa meskipun Pemerintah hanya memiliki saham mayoritas relatif dalam BUMN akan tetapi harus dipertahankan posisi negara untuk tetap sebagai pihak yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan atas penentuan kebijakan dalam badan usaha yang bersangkutan yang menggambarkan penguasaan negara yang mencakup pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan pengawasan. Meskipun ketentuan yang dipandang bertentangan dengan konstitusi pada dasarnya adalah Pasal 16, 17 ayat (3), serta 68, khususnya yang menyangkut unbundling dan kompetisi, akan tetapi karena pasal-pasal tersebut merupakan jantung dari UU No. 20 Tahun 2002 padahal seluruh paradigma yang mendasari UU Ketenagalistrikan adalah kompetisi atau persaingan dalam pengelolaan dengan sistem unbundling dalam ketenagalistrikan yang tercermin dalam konsideran “Menimbang” huruf b dan c UU Ketenagalistrikan. Hal tersebut tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 yang merupakan norma dasar perekonomian nasional Indonesia. Cabang produksi dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 di bidang ketenagalistrikan harus ditafsirkan sebagai satu kesatuan antara pembangkit, transmisi, dan distribusi sehingga dengan demikian, meskipun hanya pasal, ayat, atau bagian dari ayat tertentu saja dalam undang-undang a quo yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat akan tetapi hal tersebut mengakibatkan UU No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan tidak dapat dipertahankan, karena akan menyebabkan kekacauan yang menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya.
          Oleh karena Pasal 16 dan 17 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 yang berakibat UU No. 20 Tahun 2002 secara keseluruhan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum karena paradigma yang mendasarinya bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu guna mencegah timbulnya kesalahpahaman dan keragu-raguan yang mengakibatkan timbulnya kesan tidak adanya kepastian hukum di bidang ketenagalistrikan di Indonesia, perlu ditegaskan bahwa sesuai dengan Pasal 58 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Putusan Mahkamah Konstitusi mempunyai akibat hukum sejak diucapkan dan berlaku ke depan (prospective) sehingga tidak mempunyai daya laku yang bersifat surut (retroactive). Dengan demikian, semua perjanjian atau kontrak dan ijin usaha di bidang ketenagalistrikan yang telah ditandatangani dan dikeluarkan berdasarkan UU No. 20 Tahun 2002 tetap berlaku sampai perjanjian atau kontrak dan ijin usaha tersebut habis atau tidak berlaku lagi.
          Guna menghindari kekosongan hukum (rechtsvacuum), maka undang-undang yang lama di bidang ketenagalistrikan, yaitu UU No. 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3317) berlaku kembali karena Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2002 yang menyatakan tidak berlakunya UU No. 15 Tahun 1985 termasuk ketentuan yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dinyatakannya keseluruhan UU No. 20 Tahun 2002 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, disarankan agar pembentuk undang-undang menyiapkan RUU Ketenagalistrikan yang baru yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 85/PUU-XI/2013 yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2015, Hakim Mahkamah memutus perkara dengan pertimbangan :
Pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas pasal-pasal dalam UU SDA sebagaimana disebutkan secara lengkap dalam bagian Duduk Perkara yang dapat dikelompokkan kedalam pokok permasalahan sebagai berikut: i) Pengelolaan air dengan mempergunakan instrumen pemberian hak guna air, sebagaimana diatur dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10; ii) Pendayagunaan sumber daya air, termasuk pengusahaan air, sebagaimana diatur dalam Pasal 26, Pasal 29, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 48, dan Pasal 49; iii) Pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 80; dan iv) Gugatan masyarakat dan organisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 90, Pasal 91, dan Pasal 92.
Keterkaitan erat antara tanah dan air, antara daratan dan lautan, dimuat dalam Pasal 25A UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknyaditetapkan dengan undang-undang” yang sebelum perubahan UUD tersebut telah dikukuhkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Prp 1960 tentang Perairan Indonesia yang menyatakan, “Perairan Indonesia ialah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia”, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention On The Law Of The Sea (Kovensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut). Jadi antara pulau (daratan) yang satu dengan pulau (daratan)yang lainnya serta perairannya menjadi satu kesatuan. Inilah yang biasa disebut nusantara atau negara kepulauan (archipelagic state). Dengan perkataan lain, seluruh daratan yang terdiri atas pulau-pulau di Indonesia  disatukan oleh air. Kesejahteraan rakyat salah satunya berasal dari sumber daya  alam yang termasuk didalamnya sumber daya air. Sumber daya air sebagai sumber kesejahteraan memiliki makna yang terkait erat dengan istilah “ibu pertiwi” yang merupakan julukan personifikasi bagi negara Indonesia sebagai ibu yang menyusui dan menyayangi rakyat sebagai anak-anaknya.
Kebutuhan masyarakat terhadap air yang semakin meningkat mendorong lebih menguatnya ekonomi air dibanding nilai dan fungsi sosialnya. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan antarsektor, antarwilayah dan berbagai pihak yang terkait dengan sumber daya air. Di sisi lain, pengelolaan sumber daya air yang lebih bersandar pada nilai ekonomi akan cenderung memihak kepada pemilik modal serta dapat mengabaikan fungsi sosial sumber daya air. Berdasarkan pertimbungan tersebut, seharusnya Undang-Undang a quo lebih memberikan perlindungan terhadap kepentingan kelompok masyarakat ekonomi lemah dengan menerapkan prinsip pengelolaan sumber daya air yang mampu menyelaraskan fugsi sosial, pelestarian lingkungan hidup, dan ekonomi. Jaminan bahwa negara masih tetap memegang hak penguasaannya atas air itu menjadi syarat yang tak dapat ditiadakan dalam menilai konstitusionalitas UU SDA sebab hanya dengan cara itulah hal-hal berikut, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005.
Karena UU SDA dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan untuk mencegah terjadinya kekosongan pengaturan mengenai sumber daya air maka sembari menunggu pembentukan Undang-Undang baru yang memperhatikan putusan Mahkamah oleh pembentuk Undang-Undang, maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan diberlakukan kembali.




Tulisan ini ditulis untuk Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang-DPR RI.



[1] Humanity has the ability to make development sustainable to ensure that it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. World Commission on Environment and Development. Report of the World Commission on Environment and Development: Our Common Future (online). http://www.un-documents.net/our-common-future.pdf diakses pada 31 Juli 2017
[2] Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. (Surabaya University Press, 2000). Hlm. 27.
[3] Sambutan Mas Achmad Santosa dalam Jimly Asshiddiqie.  Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  (Jakarta : Rajawali Pers, 2010). Hlm. v-vi.
[4] Jimly Asshiddiqie.  Green Constitution, Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  (Jakarta : Rajawali Pers, 2010). Hlm. x.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar