Perkembangan ilmu pengetahuan yang dibarengi dengan perkembangan teknologi belakangan ini menjadi sorotan tersendiri dalam masyarakat. Dimana masyarakat, dengan perkembangan sarana informasi yang ada, mampu mengamati dan menilai aspek – aspek yang timbul dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengembangan ilmu itu sendiri ditujukan pada pengembangan kualitas dan kemudahan yang ada dalam masyarakat. Pada mulanya ilmu muncul sebagai reaksi atas fenomena alam yang ada disekitar manusia.
Dalam dunia Islam, ilmu bermula dari keinginan untuk memahami wahyu yang terkandung dalam Al Qur'an dan bimbingan Nabi Muhammad SAW mengenai wahyu tersebut. Al-'ilm itu sendiri dikenal sebagai sifat utama Allah SWT. Dalam bentuk kata yang berbeda, Allah SWT disebut juga sebagai al-'Alim dan 'Alim, yang artinya "Yang Mengetahui" atau "Yang Maha Tahu." Ilmu adalah salah satu dari sifat utama Allah SWT dan merupakan satu-satunya kata yang komprehensif serta bisa digunakan untuk menerangkan pengetahuan Allah SWT.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibarengi dengan makin pesatnya perkembangan dunia informasi sangat mempengaruhi kehidupan sosial dalam masyarakat. Pola fakir masyarakat yang terus berubah juga mempengaruhi cara melakukan hubungan hukum yang merupakan bagian dari kontak sosial setiap orang dalam masyarakat. Keadaan tersebut mengakibatkan dilakukannya suatu perubahan format hukum yang mengatur hubungan sosial setiap orang dalam masyarakat akibat terjadinya transisi sosial dari masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat modern.
Menurut kamus Webster New World Dictionary, kata science berasal dari kata latin, scire yang artinya mengetahui. Secara bahasa science berarti “keadaan atau fakta mengetahui dan sering diambil dalam arti pengetahuan (knowledge) yang dikontraskan melalui intuisi atau kepercayaan. Namun kata ini mengalami perkembangan dan perubahan makna sehingga berarti pengetahuan yang sistematis yang berasal dari observasi, kajian, dan percobaan-percobaan yang dilakukan untuk menetukan sifat dasar atau prinsip apa yang dikaji. Sedangkan dalam bahasa Arab, ilmu (ilm) berasal dari kata alima yang artinya mengetahui. Jadi ilmu secara harfiah tidak terlalu berbeda dengan science yang berasal dari kata scire. Namun ilmu memiliki ruang lingkup yang berbeda dengan science (sains). Sains hanya dibatasi pada bidang-bidang empirisme– positivisme sedangkan ilmu melampuinya dengan nonempirisme seperti matematika dan metafisika (Kartanegara, 2003)
Kemajuan ilmiah tersebut meskipun merupakan hasil eksperimen ilmiah dan sains itu sendiri bersifat universal, dalam arti tidak secara khusus didasarkan pada pandangan hidup tertentu akan tetapi penggunaan dan pengambilannya tetap didasarkan pada pandangan hidup tertentu. Dan mengingat penemuan-penemuan ilmiah tersebut muncul pertama kali di Dunia Barat, dengan sendirinya Dunia Barat mengambilnya dengan alasan adanya manfaat pada penemuan tersebut, sesuai dengan pandangan hidup mereka yang berdasarkan ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), serta pandangan bahwa manusialah yang berhak membuat aturan hidupnya sendiri (demokrasi). Pandangan terakhir ini muncul karena karena manusia dianggap sebagai pemilik kedaulatan, yang mempunyai kapasitas akal memadai untuk memahami berbagai kemaslahatan dan kemafsadatan serta berbagai kemanfaatan dan kemudlaratan.
Selain itu Dunia Barat telah menetapkan nilai materi , yaitu nilai kemanfaatan (pragmatisme), sebagai tolak ukur mereka dalam kehidupan dan dijadikan sebagai satu-satunya nilai yang diakui di antara nilai-nilai yang ada. Mereka tidak memperhitungkan nilai-nilai lainnya, yakni nilai rohani (spiri- tual), nilai akhlaq (moral), dan nilai kemanusiaan. Kalau pun mereka beraktivitas untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut, hal tersebut semata-mata karena aktivitas itu akan mendatangkan manfaat. Jika aktivitas itu mereka anggap tidak menghasilkan manfaat, maka mereka tidak akan melakukannya dan bahkan tidak akan mempedulikannya sedikitpun.
Oleh karena itu, tatkala mereka mempergunakan suatu penemuan ilmiah, mereka tidak memperhitungkan aspek apapun kecuali bahwa penemuan itu akan dapat mendatangkan nilai materi, yaitu kemanfaatan. Mereka tidak mempertimbangkan lagi apakah penemuan itu sesuai atau tidak dengan nilai - nilai rohani, akhlak, dan kemanusiaan, sebab nilai-nilai ini memang bukan tolak ukur perbuatan mereka, dan tidak mendapat cukup pengakuan dari mereka. Tolak ukur satu-satunya adalah nilai materi yang nampak dalam aspek kemanfaatan.
Teori ekonomi yang ada dan berkembang saat ini selalu dimulai dengan pernyataan dasar yang dianggap benar yang dikenal sebagai asumsi. Asumsi tersebut dapat diperoleh dari pengamatan empiris yang terjadi berulang ulang, diambil dari kesimpulan filsafat, atau dari ilmu pengetahuan lain. Ilmuwan positivis berpendapat bahwa asumsi tetap dianggap benar sampai ada pembuktian bahwa asumsi itu salah dan harus dibatalkan (refutable). Serangkaian pernyataan dasar yang berkaitan secara logis dan konsisten disebut model atau teori. Rangkaian pernyataan ini dapat disampaikan dalam bentuk bahasa, grafik atau dengan rumus matematika. Ilmuwan positivis tidak lagi menyatakan bahwa tujuan ilmiah adalah untuk mencari kebenaran atau mencari hubungan yang pasti tentang sebab-akibat (causality), karena hubungan tersebut dapat bermacam-macam sifatnya seperti: korelasi, intendependensi, koeksistensi dan sebab-akibat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar