POLA LAMA DUNIA PESANTREN
Sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren memiliki kecenderungan untuk mempertahankan tradisi yang berorientasi pada pikiran-pikiran ulama ahli fiqh, hadits, tafsir dan tasawuf yang hidup antara abad 7 sampai dengan abad 13, sehingga muncul kesan yang melekat bahwa dalam beberapa hal muslaim tradisional mengalami stagnasi.
Hal ini tampak pada beberapa hal yang menjadi ciri umum pesantren yang mempertahankan pola lama, antara lain:
Fisik
Hasil penelitian Arifin di Bogor menunjukkan adanya lima macam pola fisik pondok pesantren, yang apabila diklasifikasikan pada pola lama dan modern, nampak bahwa pola pertama, kedua dan ketiga, merupakan pola lama.
Sementara menurut Zimek dalam mengklasifikasikan unsur-unsur kelengkapan pesantren, membagi menjadi lima tipe. Dari lima tipe tersebut sudah dicermati smenunjukkan kategori jenis lama dan modern. Untuk jenis lama antara lain:
Jenis A. yaitu merupakan jenis pesantren yang paling sederhana. Biasanya dianut oleh para kyai yang memulai pendirian pesantren. Dan elemennya pun disamping kyai hanya ada masjid dan santri. Dengan demikian aktivitasnya pun maksimal hanya pada kitab-kitab Islam dan penguasaan serta pemahamannya. Usaha dititik beratkan sekedar pada usaha menarik santri.
Jenis B. Yaitu pesantren yang lebih tinggi tingkatannya, terdiri dari komponen-komponen; Kyai, masjidm pondok, dan santri. Dimana pondok berfungsi sebagai tempat untuk menampung para snatri agar lebih dapat berkonsentrasi dalam mempelajari agama islam
Menurut Nurcholis Madjid, dalam menyoroti aspek lingkungan, bahwa lingkungan pesantren merupakan hasil pertumbuhan tidak berencana, pengaturan tata kota, meskipun merupakan ciri khas namun terkesan kurang direncanakan secara matang, sehingga perkembangannya cenderung sporadis. Kamar asramanya sempit, pendek, cendela terlalu kecil dan pengaturannya pun semrawut, selain itu minim peralatan. Jumlah kamar mandi dan WC tidak sebanding dengan penghuni pondok, bahkan ada yang tidak menyediakan fasilitas ini, sehingga para santrinya mandi dan buang air di sungai. Kalaupun ada kondisinya tidak memenuhi syarat sistem sanitasi modern dan sehat. Halamannya tidak teratur, gersang, dimusim kemarau gersang, dimusim hujan becek, kadang-kadang sampah berserakan di sana sisni. Madrasah atau ruangan kelas yang digunakan belajar kurang memenuhi persyaratan metodik-didaktik atau ilmu pendidikan yang semestinya, seperti ukuran yang terlalu sempit atau terlalu luas. Antara dua ruang kelas tidak dipisahkan oleh suatu penyekat, ataupun kalau ada penyekatnya tidak tahan suara sehingga gaduh. Perabotnya yang berupa bangku, papan tulis, dan lain-lain juga kurang mencukupi baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Tempat ibadah biasanya mengecewakan, laantainya kotor, tempat wudlu-nya ditempat yang keruh dan kotor, arsitek bangunannya tidak menunjukkan efesiensi dan kerapian, penerangan terbatas, dan lain-lain.
Non Fisik
Dikaji dari aspek non fisik, pesantren pola lama sistem pengajarannya berbentuk non klasikal, dengan metode pengajaran berbentuk; Sorogan, wetonan, bandongan, halaqah dan hafalan, dengan mengkaji kitab awal; cabang ilmu fiqh meliputi: Safinatul al-Sholah, Safinatu al-Najah, Fathu al-Qarib, Taqrib, Fathu al-mu’in, Minhaju al-Qawiem, Mutmainnah al-Iqnah, Fathu al-Wahab. Cabang ilmu tauhid meliputi; Aqidatu al-awwam (Nadzham), bad’u al-amal (Nadzham), dan sanusiyah. Cabang ilmu tasawuf; al-Nasha’ih-u al-Diniyah, irsyadu al-‘Ibad, Tanbighu al-Ghafilin, Minhaj al-‘Abidin, al-Da’wat-u al-Tammah, al-Hikam, Risalat-u al-Mu’awanah wa al-Muzhaharah, Bidayat-u al-Hidayah. Cabang Ilmu Nahwu Sharaf; al-Maqsud (nazham), ‘Awamil (nazham), Imrithi (nazham), Ajurumiyah, Kaylani, Mirwat-u al-I’rab, Alfiyah (nazham), Ibnu al-‘Aqil, dan dalam bidang akhlaq adalah ta’lim al-Muta’allim.
Sistem, materi dan metode kajian diatas, dipandang dari sudut pengembangan intelektual, sistem ini hanya bermanfaat bagi santri yang cerdas, rajin dan mampu, serta bersedia mengorbankan waktu yang cukup besar untuk studi ini. Dari segi pola kepemimpinan, cendrung Kiai sentris dengan manajemen otoritarinistik, yang pada akhirnya kurang perspektif, apabila meninggal dunia, maka pesantren gulung tikar. Dalam mempertahankan karisma, Kiai memelihara prinsip keep distance atau keep aloof, yakni jaga jarak ketinggian dengan para santri. Cenderung religio-feodalisme, yakni menjadi pemimpin agama sekaligus merupakan traditional mobility dalam masyarakat feodal, dan feodalisme yang terbungkus keagamaan ini bila disalahgunakan jauh lebi berbahaya dari pada feodalisme biasa. Dan tidak memiliki kecakapan teknis, sehingga menjadi sala satu sebab pokok tertinggalnya pesantren dari perkembangan zaman.
yang tidak terjembatani antara kyai serta keluarganya disatu pihak dan para Menurut Abdurrahman Wachid walaupun telah dibentuk pengurus yang bertugas melaksanakan segala sesuatu yang berhubungan dengan jalannya pesantren sehari-hari, kekuasaan mutlak senantiasa masih berada di tangan sang kyai. Karenanya, betapa demokratisnya susunan pimpinan di pesantren, masih terdapat jarak asatid dan santri di pihak lain; kyai cenderung bertindak sebagai pemilik tunggal Directeur eingenaur. Kedudukan yang dipegang seorang kyai adalah kedudukan ganda sebagai pengasuh dan sekaligus pemilik pesantren dan secara kultura kedudukan ini sama dengan kedudukan bangsawan yang biasa dikenal dengan nama kanjeng di pulau jawa.
Dari aspek prilaku santri; menggeluti kehidupan sufistik, melalui wirid dan ngalab berkah pada kuburan kyai tua dalam berpakaian, songkok danb sarung kurang dapat membedakan anatara pakaian belajar dengan pakaian tidur. Dalam hal kesehatan; penyakit yang biasanya diasosiasikan dengan para santri adalah penyakit gudis. Dalam bertingkah laku cenderung liberal dalam pesantren, tetapi rendak dan minder dalam tata pergaulan dengan masyarakat luas. Dan perilaku yang paling tidak simpatik adalah praktek para penghuni pondok (kamar) yang bertentangan dengan ajaran moral Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar