Rabu, 25 November 2009

metode jibril dalam tahfidz al quran

Penggunaan “metode jibril” dalam pembelajaran tahfidz al qur’an

Pengertian Metode Jibril

Latar belakang historis penyampaian ayat-ayat Al-Qur’an oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW dan atas firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Qiyamah ayat 18:

Artinya: “Apabila kami telah selesai membacakannya. Maka ikutilah bacaannya itu. (QS. Al-Qiyamah: 18)


Sebenarnya metode Jibril ini kata KH. M. Bashori Alwi diadopsi dari Imam Al-Jazari. Dikisahkan, bahwa beliau diminta untuk mengajar Al-Qur’an kepada masyarakat. Karena banyaknya orang yang mengaji maka beliau menyuruh seseorang membaca satu ayat kemudian ditirukan oleh semua orang, selanjutnya giliran orang di samping orang pertama yang disuruh membaca ayat berikutnya yang ditirukan oleh lainya. Begitu seterusnya hingga semua orang mendapat giliran membaca. Dengna demikian secara langsung terjadi proses tashih (membenarkan bacaan yang salah) dan waktu pembelajaran berlangsung efektif dan efisien.

Istilah metode Jibril yang digunakan sebagai nama dari metode pembelajaran Al-Qur’an yang diterapakan di Pesantren Ilmu Qur’an (PIQ) Singosari, adalah dilatar belakangi perintah Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengikuti bacaan Al-Qur’an yang telah dibacakan oleh malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu.

Menurut KH. M. Bashori Alwi sebagai pencetus metode Jibril menegaskan bahwa metode ini bersifat talqin-taqlid, yaitu murid menirukan bacaan gurunya. Dengan demikian, guru dituntut untuk professional dan memiliki kredibilitas yang mumpuni di bidangnya. Metode Jibril diadopsi dari Imam Al-Jazari dan dikombinasikan dengan cara mengajar Imam Abdurrahman As-Sulami, seorang yang ahli qiraat pada era awal kebangkitan Islam. Kombinasi tersebut diterapkan dalam teknik metode Jibril, yang disebut tashih. Teknik ini sangat bermanfaat dalam pengkaderan guru yang profesional.

Pengertian Qiraat Sab’ah

Menurut bahasa, kata qiraat merupakan bentuk jamak dari kata qira’ah yang berasal dari kata qara’a – yaqrou – qiraatan - qur’anan yang memiliki makna tilawah. Makna qiroah semula berarti kumpulan atau cakupan.

Sedangkan secara terminologis, qiraat sebagai dikemukakan Al-Zarkasyi adalah perbedaan lafazh-lafazh Al-Qur’an baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf tersebut, seperti takhfif, tasydid dan lain-lain.

Pendapat lain dikemukakan Al-Dimyati bahwa qiraat adalah suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur’an, baik yang disepakati (ikhtilaf) oleh para ahli qiraat (al-qurra), seperti hadzf (membuang huruf), itsbat (menetapkan huruf), tahrik (memberi harakat), taskin (memberi sukun), fashl (memisahkan huruf), washl (menyambungkan huruf), ibdal (menggantikan huruf) dan lain-lain, yang diperoleh melalui periwayatan (al-naql). Ada juga yang berpendapat bahwa qiraat menurut istilah berarti, mazhab pembacaan Al-Qur’an dari para imam qurra’ yang masing-masing mempunyai perbedaan dalam pengucapan Al-Qur’an dan disandarkan pada sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW.

Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at

Qiraat sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi walaupun pada saat itu qiraat buka merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa pendapat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu:

          1. Suatu ketika Umar bin Khattab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca Al-Qur’an. Umar merasa tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut Umar, bacaan Hisyam itu tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaanya pun berasal dari Nabi. Seusai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi untuk melaporkan peristiwa tersebut. Kemudian Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaanya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam selesai membaca, Nabi bersabda:

Memang begitulah Al-Qur’an diturunkan. Sesungguhnya Al-Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu”.


          1. Di dalam sebuah riwayatnya, Ubay pernah bercerita:

Aku masuk ke masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan ia membacasurat An-Nahl, tetapi bacaanya berbeda dengan bacanku. Setelah ia selesai, aku bertanya, “Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” Ia menjawab, “Rasulullah SAW”. Kemudian datanglah seorang lainya mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl, tetapi bacaanya berbeda dengan bacaanku dan bacaan orang yang pertama. Setelah shalatnya selesai aku bertanya, “Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?” Ia menjawab, “Rasulullah SAW”. Kedua orang itu lalu kuajak menghadap Nabi, beliau meminta salah satu dari dua orang itu membacakan lagi surat itu. Setelah bacaanya selesai, Nabi bersabda, “Baik”. Kemudian Nabi meminta pada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya “Baik” .

Jumlah dan Macam-Macam Qiraat

Para ulama meneliti dan menguji qiraat dari segi sanad, dengan menggunakan kriteria yang juga telah disepakati para ulama, yaitu:

a. Qiraat mutawatir yaitu qiraat yang disampaikan oleh sejumlah periwayat yang cukup banyak, sehingga tidak memungkinkan mereka sepakat berdusta dalam tiap angkatan, serta sanad bacaanya bersambung hingga ke Rasulullah SAW.

    1. Qiraat masyhurah adalah qiraat yang sanadnya sahih tetapi jumlah periwayatnya tidak sebanyak qiraat mutawatir. Qiraat dengan nilai mashyur ini masih populer di kalangan ahli qiraat dan wajib diakui sebagai Qur’an, tidak boleh dipungkiri sedikit pun. Sebagai contoh dari qiraat mashyur ini adalah yang dipopulerkan oleh Abu Ja’far.

    2. Qiraat ahad ialah bacaan yang juga memiliki sanad yang sahih namun di dalamnya banyak menyalahi kaidah-kaidah tata bahasa atau dengan khat Utsmani. Dan ini tidak wajib diyakini sebagai Qur’an.

    3. Qiraat syadz ialah bacaan yang tidak memiliki sanad yang sahih disampinh menyalahi tata bahasa atau khat Utsmani. Seperti bacaan Ibnu Syumaifa’.

    4. Qiraat mudarraj adalah qiraat yang secara jelas dapat dikenal sebagai kalimat tambahan bagi ayat-ayat Qur’an, yang biasanya dipakai untuk memperjelas maksud atau penafsiran ayat. Dan tentunya jelas bukan Qur‘an; seperti bacaan Sa’id bin Waqqas.

Penulis kitab Al-Itqan yakni Dr. Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasni menyebutkan bahwa qira’ah itu ada yang mutawatir, masyhurah, ahad, syadz, maudhu’ dan mudarraj.

Al-Qadhi Jalaluddin Al-Bulqini mengatakan bahwa qiraat itu dibagi menjadi mutawatir, ahad dan syadz. Adapun yang mutawatir adalah qiraat sab’ah yang termasyhur. Sedangkan yang ahad adalah qiraat tsalatsah (qiraat tiga), di mana imam tiga ini merupakan pelengkap “imam sepuluh” pada qiraat para sahabat. Dan yang syadz adalah qiraat para tabiin seperti A’masy , Yahya bin Watsab, Ibnu Jubair dan lain sebagainya.

Dalam permulaan kitabnya, An-Nasyr, Syaikh Abu Ja‘far Abu Al-Khair Al-Jaziri berkata:

Setiap qira’ah yang sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab walaupun dalam salah satu sisi saja yang sesuai dengan salah satu tulisan mushaf Utsmaniah, walaupun hanya kemungkinan dan memiliki sanad yang sahih, maka qira’ah itu kualitasnya sahih yang tidak boleh ditolah dan diingkari serta wajib diterima oleh setiap manusia karena qira’ah itu merupakan salah satu dari sekian cara Al-Qur’an diturunkan; baik qira’ah itu berasal dari imam yang tujuh atau dari imam yang sepuluh atau dari siapa saja yang keimamanya dapat diterima. Dan apabila ketiga persyaratan tersebut tidak terpenuhi, maka qira’ah itu kualitasnya dhaif (lemah) atau syadz (menyimpang) atau bathil (keliru), walaupun berasal dari imam yang tujuh atau dari imam yang lebih besar dari mereka. Inilah aturan sahih yang telah ditetapkan oleh imam-imam, baik dari kalangan salaf maupun khalaf “.

2 komentar: