Sejarah Pertumbuhan Pesantren
Dalam tinjauan historis ini dibatasi pada persoalan sejarah pertumbuhan serta gambaran secara umum mengenai pesantren. Hal ini karena berkaitan dengan sulitnya mencari data-data sejarah tentang awal berdirinya pesantren. Dalam buku-buku yang berkaitan dengan sejarah pesantren belum mampu menyimpulkan kapan berdirinya pesantren. Dan medan kajian dari penulis-penulis tersebut, hanya masih taraf penemuan-penemuan hubungan kebudayaan melalui matrik kurikulum, tradisi serta simbol-simbol bahasa yang sering dipakai dalam dunia pesantren. Seperti dalam tulisan Karel A. Steenbrink, model pendiskripsinya masih bermuara pada seputar hubungan pesantren dengan warisan Hindu-Budha, atau juga hubungan pesantren dengan tradisi kebangkitan Islam abad pertengahan di Timur-Tengah.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan dan pusat penyebaran agama Islam lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaan Islam masuk di Indonesia. Dan menurut Kafrawi, di pulau jawa lembaga ini berdiri untuk pertama kalinya di zaman walisongo. Untuk sementara, Sheikh Malik Ibrahim dianggap sebagai ulama yang pertama kali mendirikan pesantren di jawa.
Anggapan demikian bisa dimengerti, karena melihat kondisi obyektif pesantren dengan segala elemen dan tata cara serta kebahasaanya. Dimana di dalamnya terdapat elemen Hindu-Budha dan Islam. Misalnya Istilah funduq berasal dari bahasa Arab, yang artinya penginapan bagi orang yang berpergian. Sedangkan istilah pesantren berasal dari kata santri atau dalam bahasa sangsekertanya adalah shantri yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis. Dan menurut Kafrawi, hal itulah yang kemudian dimiliki oleh Maulana Malik Ibrahim. Sebagai seorang ulama yang dilahirkan di Gujarat India, yang sebelumnya telah mengenal perguruan Hindu-Budha dengan sistem biara dan asrama sebagai proses belajar mengajar para biksu dan pendeta yang kemudian mendirikan pesantren dengan system yang menyerupai pembelajaran biksu dan pendeta tersebut. Hanya saja terjadi perubahan dari pengajaran agama Hindu dan Budha menjadi pengajaran agama Islam.
Seperti halnya yang pernah dirintis oleh para wali, dalam fase selanjutnya, berdirinya Pondok Pesantren tidak bisa lepas dari kehadiran seorang kyai. Kyai tersebut biasanya sudah pernah bermukim bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun untuk mengaji dan mendalami pengetahuan agama Islam di Makkah atau di Madinah atau pernah mengaji pada seorang kyai terkenal di tanah air, lalu menguasai beberapa atau satu keahlian tertentu.
Kondisi lain yang tergambar dalam kehidupan kyai adalah bahwa seorang kyai bermukim di desa. Langkah awal kyai untuk membangun lembaga pendidikan Islam adalah dengan mendirikan langgar atau surau untuk sholat berjamaah. Yang biasanya diikuti oleh sebagian masyarakat desa. Pada setiap menjelang atau selesai sholat, kyai mengadakan pengajian agama yang materi pengajiannya meliputi rukun Iman, rukun Islam dan akhlaq.
Berkat caranya yang menarik dan keihlasanya serta perilakunya yang sesuai dan senafas dengan isi pengajiannya, lama-lama jamaahnya bertambah banyak. Bukan saja orang-orang dalam desa tersebut yang datang, tetapi juga orang dari desa lain setelah mendengar kepandaiannya, keihlasan dan budi luhur kyai.. Sebagian dari jamaah pengajian itu menitipkan anak-anaknya pada kyai dengan harapan supaya menjadi anak sholeh, memperoleh berkah dan ridho dari kyai tersebut. Untuk menampung anak didiknya maka timbul niat atau ide kyai untuk mendirikan tempat belajar dan pemondokan yang biasanya didukung oleh orang tua santri dan seluruh masyarakat secara bergotong royong.
Jadi pada hakekatnya tumbuhnya suatu pesantren di mulai dengan adanya suatu pengakuan suatu lingkungan masyarakat tertentu terhadap kelebihan (kharismatik) seorang kyai dalam suatu keahlian (vak) tertentu serta kesalihannya, sehingga penduduk dalam lingkungan tersebut banyak datang untuk belajar menuntut ilmu kepadanya. Bahkan kyai dalam pedesaan sering menjadi cikal bakal dari berdirinya sebuah desa.
Seperti yang di bicarakan Karel A. Steenbrink, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam pada dasarnya hanya mengajarkan agama Islam sedang sumber mata pelajaranya adalah kitab-kitab dari bahasa Arab. Dan pelajaran yang biasa dikaji dalam pesantren adalah Al-qur’an, dengan tajwidnya dan tafsirnya, Aqoid dan ilmu kalam, fighi dengan usul fighi, hadist dengan musthollah hadist, bahasa arab dengan ilmu alatnya, seperti nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, bad dan aruld, tarikh manthiq dan tasawuf. Dan menurut Martin Van Bruinessen, kitab-kitab yang dikaji dalam pesantren biasanya, disebut kitab kuning, yaitu kitab tua yang ditulis oleh ulama-ulama Islam pada abad pertengahan (antara abad 12 s/d 15).
Sedangkan metode yang digunakan dalam pesantren adalah sorogan dan wetonan. Istilah sorogan berasal dari bahasa jawa sorog yang berarti menyodorkan kitabnya di hadapan kyai atau asisten (pembantu). Penerapan metode ini, santri menghadap guru satu demi satu dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Kemudian kyai membacanya perkalimat, menterjemahkan dan menerangkan maksudnya. Dan istilah wetonan berasal dari bahasa jawa, wektu yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu yaitu sebelum atau sesudah menjalankan sholat fardhu. Dan di jawa barat metode ini disebut dengan bondongan, atau di Sumatera disebut halaqah. Untuk jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal, umumnya kenaikan tingkat seorang santri di tandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang dipelajari. Apabila seorang santri telah menguasai sebuah kitab atau beberapa kitab yang telah dipelajarinya dan lulus, (imtihan / ujian) dari kyainya, ia bisa pindah ke kitab lain, misalnya dalam ilmu fiqh mereka mengaji kitab Fathul Qorib syarah matan Taqrib (ibnu Qossim al Ghazi, 1512 M), kemudian Fathul Mu’in syarh Qurrutul ian (Zainuddin al-Maliba, 1574 M), Minhajut Tholibin (an Nawawi, 1277 M), Hasyiyatul Fathur Qorib (Ibrahim al-Bajuri, 1891), al-Iqna (Syaibin, 1569 M), Fathul Wahab dan dilanjutkan dengan Tuhfah (Ibnu Hajar, 1891 M) dan Nihayah (Romli, 1550 M).
Tetapi ada beberapa hal mengenai jenjang pendidikan yang terjadi dalam pesantren, bahwa diantara para santri ada yang mendalami secara khusus salah satu keahlian dari kitab yang diajarkan maupun materi pengajaran. Misalnya ilmu Hadist dan tafsir. Di jawa untuk takhosus ini, seorang santri selain mendatangi seorang kyai besar, juga harus memiliki pondok pesantren tertentu. Seperti untuk mendapatkan ijazah, fathul wahab dan mahadli, seorang santri harus pergi ke pondok pesantren kyai Kholil, Lasem Jawa Tengah, untuk Jami’ul jawani dan Alfiyah ke pondok pesantren kyai Ma’sum dan seterusnya.
Dari fenomena di atas, dalam pesantren merupakan proses pembentukan tata nilai dan kebiasaan di lingkungan pondok, yang di dalamnya secara umum terdapat tiga faktor Pertama, Lingkungan / sistem asrama dengan cara hidup bersama, Kedua, Prilaku kyai sebagai sentra-figure, Ketiga, pengenalan isi kitab-kitab yang dipelajari.
Sistem Nilai dalam Pesantren
Dalam pembahasan sistem yang dikembangkan oleh pesantren adalah sebuah pranata yang muncul dari agama dan tradisi islam. Secara khusus Nurcholis Madjid menjelaskan, bahwa akar kultural dari sistem nilai yang dikembangkan oleh pesantren ialah ahlu’l-sunnah wa-‘l-jama’ah. Dimana, jika dibahas lebih jauh akar-akar kultural ini akan membentuk beberapa segmentasi pemikiran pesantren yang mengarah pada watak-watak ideologis pemahamannya, yang paling nampak adalah konteks intelektualitasnya terbentuk melalui “ideologi” pemikiran, misalnya dalam fiqh- lebih didominasi oleh ajaran-ajaran syafi’iyah, walaupun biasanya pesantren mengabsahkan madzhab arbain, begitu juga dalam pemikiran tauhid pesantren terpengaruh oleh pemikiran Abu Hasan al-Ash’ary dan juga al-Ghazali. Dari hal yang demikian pula, pola rumusan kurikulum serta kitab-kitab yang dipakai menggunakan legalitas ahlu sunnah wal jama’ah tersebut (madzhab Sunni).
Secara lokalistik faham sentralisasi pesantren yang mengarah pada pembentukan pemikiran yang terideologisasi tersebut, mempengaruhi pula pola sentralisasi sistem yang berkembang dalam pesantren. Dalam dunia pesantren legalitas tertinggi adalah dimiliki oleh Kyai, dimana Kyai disamping sebagai pemimpin “formal” dalam pesantren, juga termasuk figur yang mengarahkan orientasi kultural dan tradisi keilmuan dari tiap-tiap pesantren. Bahkan menurut Habib Chirzin, keunikan yang terjadi dalam pesantren demikian itu, menjadi bagian tradisi yang perlu dikembangkan, karena dari masing-masing memiliki efektifitas untuk melakukan mobilisasi kultural dan komponen-komponen pendidikannya.
Akhirnya Abdurrahman Wahid menggarisbawahi, bahwa pranata nilai yang berkembang dalam pesantren adalah berkaitan dengan visi untuk mencapai penerimaan disisi Allah dihari kelak menempati kedudukan terpenting, visi itu berkaitan dengan terminologi “keikhlasan”, yang mengandung muatan nilai ketulusan dalam menerima, memberikan dan melakukan sesuatu diantara makhluk. Hal demikian itulah yang disebut dengan orientasi kearah kehidupan akherat (pandangan hidup ukhrawi). Bentuk lain dari pandangan hidup tersebut adalah kesediaan tulus menerima apa saja kadar yang diberikan kehidupan, walaupun dengan materi yang terbatas, akan tetapi yang terpenting adalah terpuaskan oleh kenikmatan rohaniah yang sangat eskatologi (keakheratan). Maka dari hal demikian pranata nilai ini memiliki makna positif, ialah kemampuan penerimaan perubahan-perubahan status dengan mudah serta flesibilitas santri dengan melakukan kemandirian hidup.
Maka jargon-jargon dan terminologi dalam pendidikan pesantren, terutama dalam mensuplimasi tata nilai ini lebih ditekankan sisi kehidupan yang mengedepankan unsur-unsur etika, moral dan spiritual daripada orientasi pembentukan pranata kecerdasan dan kepandaian, paling tidak visi yang ingin ditampilkan pesantren adalah adanya kehidupan yang seimbang dari dimensi kehidupan dunia dan akherat, walaupun menggunakan prioritas-prioritas tertentu.
Tujuan Pendidikan Pesantren
Berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain, yang pada umumnya menyatakan tujuan pendidikan dengan jelas, misalnya dirumuskan dalam anggaran dasar, maka pesantren, terutama pesantren-pesantren lama pada umumnya tidak merumuskan secara eksplisit dasar dan tujuan pendidikannya. Hal ini terbawah oleh sifat kesederhanaan pesantren yang sesuai dengan motivasi berdirinya, dimana kyainya mengajar dan santrinya belajar, atas dasar untuk ibadah dan tidak pernah dihubungkan dengan tujuan tertentu dalam lapangan penghidupan atau tingkat dan jabatan tertentu dalam hirarkhi sosial maupun ekonomi.
Karenanya untuk mengetahui tujuan dari pada pendidikan yang diselenggarakan oleh pesantren, maka jalan yang harus ditempuh adalah dengan pemahaman terhadap fungsi yang dilaksanakan dan dikembangkan oleh pesantren itu sendiri baik hubungannya dengan santri maupun dengan masyarakat sekitarnya.
Hal demikian juga seperti yang pernah dilakukan oleh para wali di Jawa dalam merintis suatu lembaga pendidikan Islam, misalnya Syeih Maulana Malik Ibrahim yang dianggap sebagai bapak pendiri pondok pesantren, sunan Bonang atau juga sunan Giri. Yaitu mereka mendirikan pesantren bertujuan lembaga yang dipergunakan untuk menyebarkan agama dan tempat memperlajari agama Islam.
Tujuan dan fungsi pesantren sebagai lembaga penyebaran agama Islam adalah agar ditempat tersebut dan sekitarnya dapat dipengaruhi sedemikian rupa, sehingga yang sebelumnya tidak atau belum pernah menerima agama Islam dapat berubah menerimanya bahkan menjadi pemeluk-pemeluk agama Islam yang taat. Sedangkan pesantren sebagai tempat mempelajari agama Islam adalah, karena memang aktifitas yang pertama dan utama dari sebuah pesantren diperuntukkan mempelajari dan mendalami ilmu pengetahuan agama Islam. Dan fungsi-fungsi tersebut hampir mampu mempengaruhi pada kebudayaan sekitarnya, yaitu pemeluk Islam yang teguh bahkan banyak melahirkan ulama yang memiliki wawasan keislaman yang tangguh.
Dari pada transformasi sosial dan budaya yang dilakukan pesantren, pada proses berikutnya melahirkan dampak-dampak baru dan salah satunya reorientasi yang semakin kompleks dari seluruh perkembangan masyarakat. Bentuk reorientasi itu diantaranya, karena pesantren kemudian menjadi legitimasi sosial. Bagian dari reorientasi dari fungsi dan tujuan tersebut digambarkan oleh Abdurrahman Wahid ialah, diantaranya pesantren memiliki peran mengajarkan keagamaan, yaitu nilai dasar dan unsur-unsur ritual Islam. Dan pesantren sebagai lembaga sosial budaya, artinya fungsi dan perannya ditujukan pada pembentukan masyarakat yang ideal. Serta fungsi pesantren sebagai kekuatan sosial, politik dalam hal ini pesantren sebagai sumber atau tindakan politik, akan tetapi lebih diarahkan pada penciptaan kondisi moral yang akan selalu melakukan kontrol dalam kehidupan sosial politik.
Apapun yang terjadi dalam dunia pesantren, termasuk sigmentasi fungsi dan tujuannya, sesuatu yang tidak dapat dipisahkan adalah, bahwa hubungan-hubangan dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam pesantren, karena adanya fenomena substansial dan mekanistik antara kyai, santri, metode dan kitab kuning sekaligus hubungan metodologisnya. Sebagaimana dalam pandangan Kafrawi ;
Peranan kulturilnya yang utama adalah penciptaan pandangan hidup yang bersifat khas santri, yang dirumuskan dalam sebuah tata nilai (value system) yang lengkap dan bulat. Tata nilai itu berfungsi sebagai pencipta keterikatan satu sama lain (homogenitas) dikalangan penganutnya, disamping sebagai penyaring dan penyerap nilai-nilai baru yang datang dari luar. Sebagai alat pencipta masyarakat, tata nilai yang dikembangkan itu mula-mula dipraktekkan dalam lingkungan pesantren sendiri / antara ulama / kyai dengan para santrinya maupun sesama santri. Kemudian di kembangkan di luar pesantren. Secara sosial tata nilai yang bersifat kulturil diterjemahkan ke dalam serangkaian etik sosial yang bersifat khas santri pula. Antara lain berkembangnya etik sosial yang berwatak pengayoman (patnorage). Etik sosial yang seperti ini lalu menghasilkan struktur kehidupan masyarakat yang berwatak populis.
Demikian tujuan pesantren pada umumnya tidak dinyatakan secara eksplisit, namun dari uraian-uraian di atas secara inplisit dapat dinyatakan bahwa tujuan pendidikan pesantren tidak hanya semata-mata bersifat keagamaan (ukhrawi semata), akan tetapi juga memiliki relevansi dengan kehidupan masyarakat.
Kurikulum Pendidikan Pesantren
Pada sebagian pesantren terutama pada pesantren-pesantren lama, istilah kurikulum tidak dapat diketemukan, walaupaun materinya ada di dalam praktek pengajaran, bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan sehari-hari di pesantren. Bahkan dalam kajian atau hasil penelitian pembahasan kurikulum secara sistematik jarang diketemukan, seperti jika kita melihat hasil penelitian Karel A. Steenbrink. Tentang pesantren, ketika membahas sistem pendidikan pesantren, lebih banyak mengemukakan sesuatu yang bersifat naratif, yaitu menjelaskan interaksi santri dan kyai serta gambaran pengajaran agama Islam, termasuk Al-qur’an dan kitab-kitab yang dipakai sehari-hari.
Oleh sebab itu menurut Kafrawi, yang dimaksud dengan kurikulum pesantren adalah, seluruh aktifitas santri sehari semalam, yang kesemuanya itu dalam kehidupan pesantren memiliki nilai-nilai pendidikan. Jadi menurut pendapat di atas, pengertian kurikulum tidak hanya sesuatu yang berkaitan dengan materi pelajaran, tetapi termasuk di luar pelajaran banyak kegiatan yang bernilai pendidikan dilakukan di pesantren, seperti berupa latihan hidup sederhana, mengatur kepentingan bersama, mengurus kebutuhan sendiri, latihan bela diri, ibadah dengan tertib dan riyadlah (melatih hidup prihatin).
Akan tetapi untuk mempertajam pembahasan dengan kebutuhan merumuskan kurikulum, terutama yang berkaitan dengan materi pelajaran, maka pembahasan berikut mengacu pada interaksi mata pelajaran yang dimaksud.
Apabila ditinjau dari mata pelajaran yang diberikan secara formal oleh kyai, maka sebagaimana telah diuraikan bahwa pelajaran yang diberikan dapat dianggap sebagai kurikulum yaitu yang berkisar pada ilmu pengetahuan agama dengan seluruh elemen atau cabang-cabangnya.
Dalam hal tersebut dipentingkan dalam pesantren adalah pengetahuan-pengetahuan yang berhubungan dengan bahasa Arab (ilmu sharaf, nahwu, dan ilmu-ilmu alat lainnya) dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan syariat (ilmu fiqh, baik ibadah maupun muamalat). Ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Qur’an dan tafsirnya, hadist serta mustholahul hadist, begitu juga mengenai ilmu kalam, tauhid dan sebagainya, termasuk pelajaran yang diberikan pada tingkat tinggi. Demikian juga pelajaran tentang mantik (logika), tarikh serta tasawuf. Ilmu pengetahuan hampir tidak diajarkan dalam pesantren. Hal ini tentu saja berkaitan dengan pengetahuan kyai yang selama bertahun-tahun hanya mendalami ilmu-ilmu agama.
Untuk membahas metode, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, yaitu dengan menggunakan metode wetonan dan sorogan. Dalam pengajaran metode tersebut tidak dikenal perjenjangan sebagaimana yang terdapat dalam lembaga pendidikan umum atau juga madrasah. Kenaikan tingkat ditandai dengan bergantinya kitab. Sedangkan metode evaluasi yang dipakai adalah dilakukan kyai atau santri-santri, untuk melihat kemampuan santri untuk mengikuti jenjang pengajaran kitab berikutnya. Dan bagian lain yang terjadi dalam pesantren ialah tidak ada batas masa belajar, santri bisa menentukan belajarnya, termasuk mencari pesantren lain yang punya keahlian-keahlian tertentu. Dengan demikian batas waktu tersebut sangat variatif dan juga mobilitas santri sangat tinggi untuk melakukan belajar, termasuk memilih keahlian dalam pondok-pondok tertentu.
Oleh sebab itu dapat dijabarkan, bahwa kurikulum pesantren sangat variatif, dengan pengertian pesantren yang satu berbeda dengan pesantren yang lain, dengan demikian ada keunggulan tertentu, dalam cabang-cabang ilmu-ilmu agama dalam masing-masing pesantren. Bahkan menurut Habib Chirzin, ketidak seragaman tersebut merupakan ciri pesantren salaf, sekaligus tanda atas kebebasan tujuan pendidikan.
Dari uraian di atas bukan berarti menunjukkan realitas pesantren yang statis, karena dalam beberapa kurun waktu dan kenyataannya, pesantren juga bersentuhan dengan efek-efek perubahan dunia pendidikanya, seperti di gambarkan oleh Karel A. Steenbrink, akhirnya pesantren melakukan refleksi dinamis pada dirinya, didalamnya sudah terdapat program-program belajar, dan juga melakukan perubahan sistem madrasah dan sekolah. Yang demikian juga proyek orientasi baru dalam dunia pesantren dengan elemennya.