Sebuah kisah yang akan kutuliskan adalah sebuah kisah nyata yang kudengar dari seorang guru. Meskipun bukan aku pribadi ataupun guruku sendiri yang mengalaminya tapi menurutku ini layak untuk dijadikan sebuah perenungan.
Menyulam Kehidupan
Pada suatu ketika di sebuah rumah sakit di Jogjakarta…
“Oek… oek…” lahirlah seorang bayi mungil. Seorang hamba Allah yang tiada punya dosa. Tapi malangnya ia hanya memiliki satu telinga. Semakin lama ia tumbuh besar. Dimana pun ia berada ia selalu di ejek oleh teman-temannya. Bahkan ada yang memanggilnya “Hai si Telinga Satu”. Betapa tidak manusiawi memanggilnya seperti itu. Hingga anak itu benar-benar merasa malu. Ia malu dengan keadaannya. Tak ada yang akan dilakukannya selain menangis. Setiap pulang sekolah ia selalu menangis dan berkata pada ibunya, “Oh ibu, aku malu dengan teman-temanku. Mengapa aku hanya dilahirkan dengan satu telinga, Bu? Mengapa? Apa salahku sesungguhnya?” Begitulah seterusnya.. Dan ibunya adalah penyejuk hati baginya. Ibunya selalu menghiburnya. “Ketahuilah anakku, sesungguhnya engkau tidak salah sedikit pun. Ini adalah ujian dari Tuhan karena kasih sayangNya padamu. Mungkin Dia ingin kau menjadi hambaNya yang kuat. Cobalah untuk bersyukur. Bersyukur karena keadaanmu masih cukup baik. Tenanglah anakku. Biarkan saja temanmu mengejekmu. Biarlah semua orang menjauhi dirimu. Tapi engkau tetaplah anak tersayangku. Ibu akan tetap ada di sampingmu meskipun dunia ini sudah tak berpihak padamu”. Sungguh dalam kata-kata sang Ibu. Setidaknya itu semua cukup membuat anaknya tenang. “Terimakasih Ibu…” kata sang Anak masih dalam tangisnya yang pilu.
Tapi kenyataannya anak itu tetap menangis setiap kali pulang sekolah. Yaaahh… Meski ia sudah berusaha untuk mencoba menuruti apa yang dikatakan ibunya untuk tidak mendengarkan apa yang dikatakan teman-temannya. Untuk tetap kuat dan tidak menangis. Tapi apalah daya ia hanya anak kecil.
Dan suatu ketika…
“Nak, tahukah kamu ibu punya kabar gembira untukmu?”
“Benarkah itu, Bu? Apa itu?”
“Hmm… Ada seseorang yang mau mendonorkan sebelah telinganya untukmu”
“Oh ya? Siapa ia, Bu?”
“Ibu tak bisa memberitahukannya padamu karena orang itu meminta untuk tidak diberitahukan identitasnya. Maaf ya, Sayang?”
“Iya Bu. Tidak apa-apa…”
Seminggu setelah itu pencangkokan telinga pun dilakukan. Akhirnya si anak kini memiliki dua telinga yang lengkap. Meski tidak sama persis, tapi ia merasa sangat bahagia. Mulai saat itu tidak ada teman-temannya yang memanggil si Telinga Satu.
Semakin lama anak itu beranjak dewasa.
Suatu ketika si anak sudah duduk di sebuah ruang dokter pada sebuah rumah sakit di Jakarta…
Telepon berdering. Diangkatnya telepon itu dan ternyata yang telepon adalah kakaknya. Kakaknya memberitahukan bahwa ibunya kini sedang dalam keadaan kritis di rumah sakit dan ia diminta untuk segera pulang. Tanpa pikir panjang ia segera menelepon istrinya dan memberitahukan keinginannya untuk pulang menemui sang Ibu. Ia meminta anak dan istrinya untuk menyusul nanti. Kemudian ia pulang ke Jogjakarta. Dalam perjalanan yang cukup lama ia berharap sebuah keajaiban akan terjadi pada ibunya. Ia berharap ketika dirumah nanti ia akan mendapati ibunya telah lebih baik.
Namun setibanya di gang menuju rumahnya…
Betapa terkejutnya ia karena mendapati sebuah bendera putih telah dipasang di depan rumahnya. Ia tak mampu lagi menyetir mobilnya. Air matanya jatuh begitu deras. Tak mampu ia membendungnya lagi. Orang yang sangat ia sayangi. Orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Orang yang selalu mendampinginya dikala ia sedang sedih, sedang senang, dalam keadaan apa pun dirinya. Tapi kini telah tiada lagi. Dan di saat terakhirnya pun ia tak bisa berada di samping ibunya. Untuk menemani sang Ibu..
Melihat keadaan di depan rumahnya yang begitu ramai, ia turun dari mobilnya. Ia melangkahkan kakinya menuju rumah. Ia ingin segera melihat jenazah sang Ibu.
Sesampai di rumahnya…
Ia terduduk di samping jenazah sang Ibu. Ia mengelus wajah sang Ibu. Ia mencium keningnya… dan bagai disambar petir di siang bolong, ia sangat terkejut mendapati telinga ibunya hanya sebelah saja. Ternyata selama ini pendonor telinga untuk dia adalah ibunya sendiri. Yang telah menyelamatkan dia dari ejekan-ejekan teman-temannya adalah ibunya sendiri. Tapi parahnya dia tidak mengetahui hal itu sama sekali. Karena selama ini ibunya selalu memakai kerudung. Sungguh semakin sedih dengan semua kenyataan ini. Sangat merasa bersalah. Sangat menyesal. Menyesal karena dulu terlalu sering manangis dan mengeluhkan keadaan dirinya. Hingga orang yang sangat berarti baginya, orang yang selalu mendampinginya dalam setiap langkah, orang yang selalu berusaha membuatnya bahagia rela berkorban untuknya. Oh Tuhan… Berilah dia kekuatan untuk menghadapi semua ini.
Seandainya kita yang mengalami semua ini, entah bagaimana jadinya kita. Kuatkah kita mendapati semua kenyataan yang ada? Mampukah kita bertahan antara rasa bersalah dan penyesalan yang teramat dalam kepada orang yang telah menyayangi kita, membahagiakan kita dan bahkan mengorbankan apa pun demi kita? Ibu, sosok yang banyak memberikan pengorbanan untuk kita. Coba ingatlah berapa banyak kita menyusahkan sosok itu, membutnya sedih dan menangis. Sedang beliau tetap memberikan kasih sayangnya untuk kita..
Mari kita renungkan semua yang telah terjadi… Dan marilah kita berusaha untuk bersikap lebih baik dalam setiap keadaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar