Generasi Rabbani, Generasi Qur’any
Istilah rabbani, mungkin bukanlah istilah yang akan terdengar asing bagi kita. Yang gampang saja, dalam dunia bisnis, kita kenal produk krudung dan jilbab rabbani. Dalam dunia pendidikan, rabbani merupakan sebuah konsep individu yang bertaqwa dan berpengetahuan luas serta sempurna dalam ketaqwaan dan keilmuannya. Istilah kerennya adalah ulama yang intelek. Inilah motto yang banyak digaungkan di lembaga-lembaga pendidikan Islam, jadilah ulama yang intelek dan jangan jadi intelek yang ulama. Jadi dapat dipahami bahwa unsur ketakwaan adalah unsur utama dalam pembentukan generasi rabbani.
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." Akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya...”
Dalam konsep orang-orang rabbani dalam Al Qur’an diatas, dijelaskan bahwa generasi rabbani adalah orang-orang yang mengajarkan Al Qur’an dan senantiasa mempelajarinya. Bahkan Allah memerintahkan umat manusia untuk menjadi insan-insan rabbani. Perhatikan pula isi surat Ali Imran ayat 79.
Dalam kajian tafsir yang dilakukan oleh para mufassir dalam kitab-kitab tafsir klasik, akan didapat pemahaman bahwa “Insan Rabbani” adalah orang yang berma’rifah kepada Allah serta selalu taat beribadah, berpegang pada agama, bersaksi atas kebenaran al-kitab, menjaga keutuhannya, selalu menggali ilmu pengetahuan dengan mengkajinya lalu mengajarkan serta mendidik orang lain, melakukan amar ma’ruf nahyi munkar, menggunakan daya nalar dan daya fikir, berilmu pengetahuan, beradab, ramah terhadap lingkungan, dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan, dengan menyadari akan dirinya sebagai makhluk Allah yang tidak selalu benar, mempunyai sifat pelupa.
Para ulama menyebutkan bahwa generasi rabbani adalah generasi yang memiliki ciri-ciri istimewa sebagai berikut, yaitu 1) ‘Aalim, yaitu orang yang mendalam ilmunya; 2) Faqieh, yaitu orang yang benar dan mendalam pemahaman agamanya; 3) Haliem, yaitu orang yang sabar dan santun; 4) Hakiem, yaitu orang yang memiliki sikap bijaksana; 5)‘Aabid, yaitu orang yang ahli ibadah, dan 6)Muttaqie, yaitu orang yang ahli taqwa.
Dalam dunia akademika, konsep rabbani ini diadobsi sebagai etika kependidikan. Yaitu untuk mengajar dan senantiasa belajar. Jadi, disini terdapat suatu hubungan timbal balik, mau memberi dan mau menerima. Mungkin mudah saja menuangkannya dalam teori, tapi dalam pengaplikasiannyalah yang terdapat banyak kesulitan. Kesulitan tersebut diantaranya adalah dari segi emosi dan keegoisan. Orang hanya mau mengajar tanpa mau belajar ataupun diajari.
Dengan kata lain, orang tersebut sudah merasa teorinyalah yang paling tepat dan sempurna. Dari sudut pandang akhlak, sikap seperti ini adalah sikap yang tidak tepat untuk ditunjukkan dan dimiliki oleh seorang akademika yang berkecimpung di dunia pendidikan. Kesombongan yang sedemikianlah yang menjadikan keilmuan dalam diri orang tersebut terbatasi dan terkotak hanya sebatas apa yang ia ketahui dan anggap benar itu.
Padahal pada hakekatnya, ilmu adalah petunjuk dari Allah dan memiliki sifat seperti cahaya. Dalam hadist, rasulullah menyatakan bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan datang kepada orang yang melakukan kemaksiatan. Maksiat yang dimaksud bukan seperti perbuatan zina, melainkan segala perbuatan buruk yang kepada pelakunya Allah mengganjarnya dengan dosa. Dan apakah kesombongan itu merupakan hal baik dan bukan maksiat? Tentunya dalam hal ini, semua orang dapat memutuskan sendiri, baik atau tidaknya.
Orang-orang yang merasa hebat dengan keilmuannya dan pengetahuannya itu, biasanya ketika ada seseorang yang berpendapat lain dengan pendapatnya maka ia tidak akan menerimanya, bahkan apabila pendapat itu adalah benar. Al Qur’an adalah petunjuk dari Allah, yang di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan bagaimana seseorang harus hidup untuk dunia dan akhiratnya. Dalam surat An Naml ayat 14 dijelaskan tentang orang-orang yang sombong dengan kesombongannya.
Kesombongan ini biasanya lahir dari kepuasan dan kegembiraan yang berlebihan terhadap keilmuan dan pengetahuan yang ada pada dirinya, sehingga ia merasa lebih dari pada orang lain. Padahal diatas langit masih terdapat langit yang lebih tinggi. Hal ini diterangkan pula dalam surat Al Hadid ayat 23, yang bunyinya :
لِكَيْلا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Pendidikan sepanjang hayat
Ditanya sejak kapan dan sampai kapan seorang manusia itu harus belajar, maka jawabannya adalah seumur hidup. Dalam hadist disebutkan “uthlubul ilma min al lahdi ila al mahdi”, dari ketika lahir hingga menuju liang lahat. Inilah yang kemudian mengilhami adanya konsep pendidikan “long live education”, pendidikan seumur hidup.
Sering kita dengar bahwa ilmu Allah itu luas dan bertebaran dimuka bumi. Ilmu Allah tercecer dimana-mana karena banyaknya. Dimana kita berada, disitu pula ada ilmu Allah. Mengkloning pendapat bahwa ilmu Allah ada dimana-mana dan konsep “long live education”, yang dipadukan dengan pendidikan keagamaan bahwa ilmu itu adalah cahaya, di sebuah pondok di Jawa Timur, gontor, bergaung motto “apa yang kamu lihat, lakukan dan rasakan adalah ilmu”. Motto ini yang kemudian mengilhami semua aktivitas didalam lembaga pendidikan tersebut, yang seperti tidak ada matinya.
Pendidikan yang ada haruslah pendidikan yang berunsurkan akidah, ibadah dan akhlak, yang dipadukan secara dinamis dalam pelaksanaan pendidikan. Sehingga pendidikan tidak hanya dititikberatkan pada pembentukan manusia cerdas intelektual tanpa memperhatikan unsur akhlak dan akidahnya. Seperti membentuk kecerdasan pada robot, cerdas tanpa moral. Disinilah Islam berperan dalam dunia pendidikan.
Dalam tafsir fi dzilali al Qur’an. Qardhawi menyatakan bahwa pembentukan generasi rabbani adalah dengan tahap : 1. Melalui Ibadah, 2. Melalui Akhlak, 3. Melalui Pendidikan dan pembentukan.
Andai konsep generasi rabbani ini dikembangkan secara luas dalam masyarakat kita, maka salah satu tujuan pembangunan nasional yang diemban oleh negara, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, dapat tercapai secara cepat, maksimal dan tepat sasaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar