Daftar pustaka
Referensi buku :
.Ilyas, Wirawan B, Burton, Richard. 2001. Hukum Pajak , edisi pertama. Jakarta : Salemba Empat
-. 2007. Hukum Pajak , edisi ketiga. Jakarta : Salemba Empat
-. 2008. Hukum Pajak , edisi keempat. Jakarta : Salemba Empat
Mardiasmo. 1995. Perpajakan, edisi 3. Yogyakarta : Penerbit ANDI
Markus, Muda. 2005. Perpajakan Indonesia, Suatu Pengantar. Jakarta : Gramedia
Pudyatmoko, Y. Sri. 2009. Pengantar Hukum Pajak, Edisi Terbaru. Yogyakarta : Penerbit ANDI
-. 2007. Penegakan dan Perlindungan Hukum di Bidang Pajak. Jakarta : Salemba Empat
Soemarso. S.R. 2007. Perpajakan, Pendekatan Komprehensif. Jakarta : Salemba Empat
Suandy, Erly. 2009. Hukum Pajak, Edisi Keempat. Jakarta: Salemba Empat
Sukardji, Untung. 2006. Pajak Pertambahan Nilai. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Sumitro, Rochmat, Sugiharti, Dewi Kania. 2004. Asas dan Dasar Perpajakan 1, edisi revisi. Bandung : Refika Aditama
Referensi internet :
http://ariefadi.wordpress.com/2010/04/07/f-a-q-pemeriksaan-pajak/ diakses pada 20 Oktober 2010
http://big-sugeng.blogspot.com/2009/11/standar-pemeriksaan-pajak.html diakses pada 20 Oktober 2010
http://www.kanwilmalang.pajak.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=18:seri-10-pemeriksaan-pajak&catid=7:kup&Itemid=6 diakses pada 20 Oktober 2010
http://www.ortax.org/ortax/?mod=panduan&page=show&id=73&q=&hlm= Diakses pada 20 Oktober 2010
http://www.pajak.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=736:apa-yang-dimaksud-dengan-objek-pajak&catid=131&Itemid=44 diakses pada 20 Oktober 2010
http://www.pajak.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=7386:meliputi-apa-saja-objek-pajak-tersebut-&catid=131&Itemid=44 diakses pada 25 Oktober 2010
http://www.pajak.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=736:apa-yang-dimaksud-dengan-objek-pajak&catid=131&Itemid=44 diakses pada 20 Oktober 2010
http://www.pajak.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=7388:apa-yang-dimaksud-dengan-deviden-&catid=131&Itemid=44 diakses pada 20 Oktober 2010
http://www.pajakindonesia.com/desc_ensiklopedia.php?idb=400 diakses pada 20 Oktober 2010
http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=133 diakses pada 20 Oktober 2010
http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=134 diakses pada 20 Oktober 2010
http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=768 diakses pada 20 Oktober 2010
Wanita diciptakan dengan kelembutan dan kasih sayang. lemah tapi tegar.Dimuliakan oleh Allah,dan disayangi oleh Rasulullah SAW.Diciptakan dari tulang rusuk adam,yang dekat dengan hati untuk dikasihi dan dicintai,dekat dengan tangan untuk dijaga dan dilindungi.Maka.... berbahagialah kamu wahai kaum wanita
Senin, 25 Oktober 2010
objek pajak dan pemeriksaan di bidang pajak 3
BAB III
Pemeriksaan di Bidang Pajak
Pembahasan mengenai pemeriksaan di bidang pajak atau di bidang perpajakan ini tentu tidak lepas dari hubungan antara subjek pajak atau wajib pajak dengan pejabat pajak atau fiscus. Dan hubungan antara keduanya ini, terikat oleh bagaimana sistem pengenaan pajak yang berlaku. Maka sebagai awal kami akan membahas mengenai sistem pengenaan pajak.
1.Sistem pengenaan pajak
Yang dimaksud dengan sistem pengenaan pajak tidaklah sebatas pada masalah waktu pemungutan pajak saja, melainkan juga mengenai kewenangan dan tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan besarnya utang pajak. Dan dalam perpajakan dikenal beberapa sistem pengenaan pajak sebagai berikut1 :
a.Official Assessement System
Sistem ini merupakan sistem pengenaan pajak yang memberi kewenangan kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-ciri dari sistem ini adalah2 :
1.Wewenang untuk menentukan besar pajak terutang ada pada fiscus,
2.Wajib pajak bersifat pasif,
3.Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya SKP (Surat Keterangan Pajak) oleh fiscus.
Dalam sistem ini, fiscus memiliki peranyang dominan dalam menghitung dan menentukan pajak terutang wajib pajak. Salah satu pajak di Indonesia yang masih menggunakan sistem ini adalah pajak bumi dan bangunan, karena pemerintah masih merasa sulit untuk mengharapkan masyarakat selaku wajib pajak dari PBB mampu memahami dan menghitung sendiri pajaknya3.
b.Self Assessment System
Sistem ini adalah suatu sistem pengenaan pajak dimana kewenangan berada di tangan wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang.
Ciri-ciri sistem ini adalah4:
1.Wewenang menentukan besarnya pajak berada pada wajib pajak,
2.Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajaknya.
3.Fiscus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
Sistem ini dijalankan karena wajib pajak dianggap mampu untuk menghitung dan menentukan pajaknya. Dan umumnya subjek pajaknya relatif terbatas. Sistem ini berlaku pada PPh, PPn dan PPnBM.
c.With Holding System
Sistem ini adalah sistem dimana penentu besar pajak terutang wajib pajak bukanlah wajib pajak ataupun fiscus. Dengan kata lain, pihak yang berwewenang adalah pihak diluar pemerintah dan subjek pajak. Penentuan besar pajak yang harus dibayar oleh subjek pajak adalah pihak ketiga. Sistem ini diberlakukan pada pengenaan pajak PPh pasal 21.5
2.Hubungan hukum antara fiscus dan wajib pajak
Hubungan hukum antara fiscus dan wajib pajak ini tercipta dari adanya undang-undang., sehingga tidak diperlukan pendapat dan kesepakatan para pihak, dan tidak ada perjanjian antara pemerintah sebagai fiscus dengan rakyat sebagai wajib pajak atau subjek pajak. Persetujuan rakyat sebagai wajib pajak terjadi dengan mekanisme undang-undang dimana wakil rakyat yang ada di DPR telah memberikan persetujuannya mengenai pengenaan pajak.6
Hubungan hukum tersebut menempatkan para pihak tidak dalam kedudukan sederajat. Kekuasaan dan kewenangan pemerintah selaku fiskus lebih besar dibandingkan dengan rakyat selaku wajib pajak yang menanggung beban pajak. Dalam hubungan hukum ini, pemerintah dilengkapi dengan instrumen hukum publik yang merupakan kewenangan istimewanya. Konsekwensinya adalah fiscus dapat menentukan secara sepihak tanpa menunggu persetujuan dari wajib pajak.7
Karena adanya ketidak seimbangan kedudukan para pihak dalam hukum pajak ini, dan tidak adanya kontreprestasi secara langsung kepada wajib pajak yang membayar pajak, maka terkadang terjadilah tindakan-tindakan perlawanan terhadap pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Adapun yang dimaksud dengan perlawanan terhadap pajak8 ini adalah hambatan-hambatan yang terjadi dalam upaya pemungutan pajak.
Selanjutnya, perlawanan terhadap pajak ini dibedakan menjadi dua, yaitu :
1.Perlawanan pasif
Hambatan ini tidak dilakukan wajib pajak secara aktif dan agresif. Hambatan ini erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu negara, perkembangan intelektualitas dan pendidikan masyarakat dan moral masyarakat juga adanya sistem perpajakan yang tidak bisa dengan mudah diterapkan dalam masyarakat.9 Sebagai contohnya adalah adanya pemanfaatan secara maksimal celah yang ada dalam aturan perpajakan, seperti memaksimalkan alokasi-alokasi biaya yang tidak kena pajak dan lain sebagainya.
2.Perlawanan aktif
Perlawanan aktif ini meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiscus dengan tujuan menghindari pajak. Tindakan yang dilakukan diantaranya adalah berupa : penghindaran diri dari pajak, pengelakan/penyelundupan pajak dan melalaikan pajak.10
3.Pemeriksaan di bidang pajak
3.1pengertian pemeriksaan
Supaya hukum dapat ditegakkan, maka setiap SPT yang telah dilaporkan wajib pajak kepada KPP (kantor Pelayanan Pajak) tempatnya terdaftar harus diteliti atau diperiksa oleh aparat perpajakan. Dalam struktur organisasi Ditjen pajak, yang diberi tugas untuk meneliti atau memeriksa SPT adalah KPP atau KARIPKA (Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak).11
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh fiscus untuk menilai kelengkapan penulisan SPT dan lampiran-lampirannya termasuk memeriksa kebenaran penulisan dan perhitungannya. Objek penelitian ini adalah aspek hukum atau formal yang dilakukan untuk mengetahui wajib pajak telah melanggar ketentuan formal atau tidak, seperti ketepatan penyetoran pajak dan penyerahan SPT, kelengkapan dan kebenaran penulisan SPTnya.12
Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah dan/atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan maretial peraturan perundang-undangan. Objek pemeriksaan pajak adalah aspek hukum atau ketentuan material dari SPT WP. Yang diperiksa adalah apakah dasar pengenaan pajaknya adalah sesuai dengan ketentuan atau tidak, tarif pajaknya sudah sesuai atau tidak, perhitungan kreditnya sudah benar atau tidak dan lain sebagainya.13
Pemeriksaan Pajak dilakukan oleh Pemeriksa Pajak yaitu Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan Pemeriksaan.Dan kualifikasi pemeriksa pajak tertuang dalam Standar Pemeriksaan yaitu pada Standar Umum.
Adapun istilah-istilah yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak terdapat pada peraturan pelaksanaan, yaitu pada 545/KMK.04/2000, SE - 03/PJ.7/2001, SE - 06/PJ.7/2004, SE - 02/PJ.7/2005, KEP - 142/PJ./2005.14 Dan istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut :
1.Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2.Pemeriksaan Kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan kepada Wajib Pajak di Kantor Unit Pelaksana pemeriksaan pajak yang meliputi satu jenis pajak tertentu pada tahun berjalan dan tahun-tahun sebelumnya yang dapat dilaksanakan melalui Pemeriksaan Sederhana Kantor atau Pemeriksaan dengan Korespondensi.
3.Pemeriksaan Sederhana Kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan mengirimkan surat panggilan kepada Wajib Pajak untuk datang ke kantor Dirjen Pajak dan meminjamkan buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen.
4.Pemeriksa Pajak adalah PNS dilingkungan DJP atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak yang diberi tugas wewenang, dan tanggungjawab untuk melaksanakan pemeriksaan dibidang perpajakan
5.Kartu Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak adalah kartu yang diterbitkan oleh Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Pajak sebagai bukti bahwa pemegang kartu tersebut adalah pemeriksa pajak.
6.Surat Perintah Pemeriksaan Pajak adalah surat perintah untuk melakukan pemeriksaan pajak yang diterbitkan oleh Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Pajak.
7.Hasil pengelohan data elektronik adalah data yang sifat dan bentuknya elektronik, dihasilkan oleh komputer atau pengolah data elektronik lainnya, disimpan di dalam disket, CD, tape backup, hard disk atau media simpan elektronik lainnya atau data yang masih berada dalam suatu jaringan elektronik.
8.Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi laba pada setiap tahun pajak berakhir.
9.Pembahasan Akhir Pemeriksaan (Closing Conference) adalah pembahasan yang dilakukan antara pemeriksa pajak dan Wajib Pajak atas temuan selama pemeriksaan, dan hasil bahasan temuan tersebut baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui dituangkan dalam Berita Acara Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak.
10.Kertas Kerja Pemeriksaan adalah catatan secara rinci dan jelas yang diselenggarakan oleh Pemeriksa Pajak mengenai prosedur pemeriksaan yang ditempuh, pengujian yang dilakukan, bukti dan keterangan yang dikumpulkan dan kesimpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan pemeriksaan.
11.Laporan pemeriksaan pajak adalah laporan terutang hasil pemeriksaan yang disusun oleh pemeriksa pajak secara ringkas, dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan pemeriksaan.
12.Bukti permulaan adalah keadaan dan atau bukti-bukti, baik berupa keterangan, tulisan, perbuatan, atau benda-benda yang dapat memberikan petunjuk bahwa suatu tindak pidana sedang atau telah terjadi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang dapat menimbulkan kerugian pada Negara
13.Pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan pajak untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan
14.Ekstensifikasi adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan jumlah Wajib Pajak dan atau Pengusaha Kena Pajak (PKP) terdaftar serta untuk menghitung besarnya angsuran Pajak Penghasilan (PPh) dalam tahunnnn berjalan dan penyetoran pajak dalam suatu masa pajak.
15.Ruang lingkup pemeriksaan adalah Pemeriksaan Lapangan melalui Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL).
16.PSL ekstensifikasi termasuk dalam jenis pemeriksaan rutin untuk tujuan lain, sehingga daftar Wajib Pajak yang akan dilakukan PSL ekstensifikasi harus dimasukkan ke dalam daftar nominatif pemeriksaan rutin sebagaimana diatur dalam kebijakan pemeriksaan yang berlaku.
17.Daftar nominatif adalah daftar usulan pemeriksaan mengenai daftar nama WP yang akan dilakukan pemeriksaan beserta alasan dilakukannya pemeriksaan yang diusulkan, dibuat dan diajukan oleh KPP, KP4, Karikpa, Kanwil atau KP DJP kepada Direktorat P4.
Dan jenis-jenis pemeriksaan15 di bidang pajak adalah sebagai berikut :
1.Pemeriksaan rutin,
2.Pemeriksaan kriteria seleksi
3.Pemeriksaan khusus
4.Pemeriksaan wajib pajak lokasi
5.Pemeriksaan tahun berjalan
6.Pemeriksaan bukti berjalan
3.2 Standart pemeriksaan di bidang pajak
Standar Umum yaitu standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa Pajak dan mutu pekerjaannya. Standar ini terdiri atas :
1.telah mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak, dan menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama;
2.jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara; dan
3.taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk taat terhadap batasan waktu yang ditetapkan.
4.Dalam hal diperlukan, Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan oleh tenaga ahli dari luar Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.16
Standar Pelaksanaan Pemeriksaan, yaitu:
1.pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang seksama;
2.luas Pemeriksaan (audit scope) ditentukan berdasarkan petunjuk yang diperoleh yang harus dikembangkan melalui pencocokan data, pengamatan, permintaan keterangan, konfirmasi, teknik sampling, dan pengujian lainnya berkenaan dengan Pemeriksaan;
3.temuan Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
4.Pemeriksaan dilakukan oleh suatu tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim dan seorang atau lebih anggota tim;
5.Tim Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d dapat dibantu oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian tertentu yang bukan merupakan Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), baik yang berasal dari Direktorat Jenderal Pajak maupun yang berasal dari instansi di luar Direktorat Jenderal Pajak yang telah ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai tenaga ahli seperti peterjemah bahasa, ahli di bidang teknologi informasi, dan pengacara;
6.apabila diperlukan, Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan tim pemeriksa dari instansi lain;
7.Pemeriksaan dapat dilaksanakan di kantor Direktorat Jenderal Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, tempat tinggal Wajib Pajak, atau di tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak;
8.Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan di luar jam kerja;
9.pelaksanaan Pemeriksaan didokumentasikan dalam bentuk Kertas Kerja Pemeriksaan17
10.Laporan Hasil Pemeriksaan digunakan sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak.
Standar pelaporan hasil Pemeriksaan, yaitu:18
1.Laporan Hasil Pemeriksaan disusun secara ringkas dan jelas,
2. memuat ruang lingkup atau pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan,
3.memuat simpulan Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan
4.memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait dengan Pemeriksaan.
Laporan Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan antara lain mengenai: Penugasan Pemeriksaan; Identitas Wajib Pajak; Pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak; Pemenuhan kewajiban perpajakan; Data/informasi yang tersedia; Buku dan dokumen yang dipinjam; Materi yang diperiksa; Uraian hasil Pemeriksaan; Ikhtisar hasil Pemeriksaan; Penghitungan pajak terutang; Simpulan dan usul Pemeriksa Pajak.
3.3Dasar pemeriksaan pajak19
Pemeriksaan pajak terhadap wajib pajak dilakukan atas Instruksi dari 1) Kantor Pusat Pajak (Direktorat Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak / Direktorat pemeriksaan dan Penagihan); dan 2) Kantor Wilayah Pajak, yang dilakukan berdasarkan:
Usulan dari KPP / Karikpa
Analisa Potensi
Informasi
Laporan / Pengaduan
Bentuk-bentuk Intruksi dari Kantor Pusat kepada KPP / Karikpa antara lain:
Pemeriksaan Khusus (Beberapa atau satu jenis pajak)
Pemeriksaan Kriteria Seleksi (Seluruh jenis pajak)
Bukti Permulaan (Semua jenis pajak, Beberapa jenis, dan satu jenis pajak)
Tujuan lain
Bentuk-bentuk Instruksi dari Kantor Wilayah kepada KPP / Karikpa antara lain:
Pemeriksaan Rutin (Semua jenis pajak, Beberapa jenis, dan satu jenis pajak)
Pemeriksaan Khusus (Beberapa atau satu jenis pajak)
Pemeriksaan Kriteria Seleksi (Seluruh jenis pajak)
Bukti Permulaan (Semua jenis pajak, Beberapa jenis, dan satu jenis pajak)
Tujuan lain
Dasar hukum pemeriksaan pajak20:
Pasal 29 dan 44 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 TAHUN 1994 Tanggal 23 Desember 1994 Tentang Pencabutan atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1983 tentang Pendaftaran, Pemberian NPWP, Penyampaian SPT dan Persyaratan Pengajuan Keberatan dan atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1986 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Perpajakan
KMK Nomor 625/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Perpajakan
KMK Nomor 545/KMK.04/2000 Tanggal 22 Desember 2000 Tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Perpajakan
KEP - 01/PJ.7/1993 Tanggal 9 Maret 1993 Tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa
KEP - 18/PJ/1995 Tanggal 23 Februari 1995 tentang Tata Cara Penyegelan Dalam Rangka Pemeriksaan di Bidang Perpajakan
KEP - 137/PJ./1999 Tanggal 18 Juni 1999 Tentang Sistem Kriteria Seleksi SPT Untuk Diperiksa
SE - 11/PJ.7/1994 Tanggal 19 Agustus 1994 Tentang Pemeriksaan Keterkaitan
SE - 07/PJ.7/1995 Tanggal 31 Maret 1995 Tentang Kerahahasiaan Bank Dalam Kaitannya Dengan Pemeriksaan Pajak
SE - 14/PJ.7/1995 Tanggal 15 Agustus 1995 Tentang Penegasan Pemeriksaan Keterkaitan
SE - 02/PJ.7/1996 Tanggal 14 Februari 1996 Tentang Penegasan dan Penyempurnaan Ketentuan Pemeriksaan Rutin
SE - 03/PJ.7/1996, 7 Maret 1996 Tentang Pemeriksaan Khusus
SE - 18/PJ.7/1996 Tanggal 24 Oktober 1996 Tentang Pemeriksaan Sederhana Lapangan Dalam Rangka Ekstensifikasi Wajib Pajak
SE - 02/PJ.7/1997 Tanggal 7 Februari 1997 Tentang Pemeriksaan Sederhana Lapangan PPN dan PPn BM Terhadap Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran
SE - 12/PJ.73/1997 Tanggal 26 September 1997 Tentang Penegasan atas Pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi
SE - 01/PJ.7/1998 Tanggal 30 Maret 1998 Tentang Pemeriksaan Ulang
SE - 04/PJ.7/1998 Tanggal 15 Juni 1998 Tentang Penegasan Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak
SE - 06/PJ.7/1998 Tanggal 3 Juli 1998 Tentang Pencabutan Ketentuan Tentang Pemeriksaan
SE - 07/PJ.7/1998 Tanggal 28 Juli 1998 Tentang Penegasan Kebijaksanaan Pemeriksaan
SE - 09/PJ.7/1998 Tanggal 28 Agustus 1998 Tentang Penegasan atas Pelaksanaan Pemeriksaan/Penyelesaian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi/Badan Yang Menyatakan Lebih Bayar
SE - 11/PJ.7/1998 Tanggal 19 Oktober 1998 tentang Pemeriksaan Sederhana Lapangan Terhadap Wajib Pajak Yang Tempat Terdaftarnya Berpindah dari KPP Tempat Wajib Pajak Semula Terdaftar ke KPP Lainnya
SE - 06/PJ.7/1999 Tanggal 11 Agustus 1999 Tentang Perlakuan dan Pendekatan Pemeriksaan Terhadap Golongan Wajib Pajak Serta Penerapan Teknik Sampling Dalam Pemeriksaan Pajak.
SE - 6/PJ.5/1985 Tanggal 20 Nopember 1985 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan
SE - 04/PJ.43/2000 Tanggal 8 Maret 2000 Tentang Pemeriksaan Sederhana Lapangan Atas Wajib Pajak Yang Telah Mendapat Izin Pemusatan Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21
SE - 04/PJ.7/2000 Tanggal 12 April 2000 Tentang Kebijaksanaan Pemeriksaan Tahun 2000
SE - 04/PJ.5/1986 Tanggal 25 April 1986 Tentang Penjelasan Tentang Bukti Permulaan Adanya Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
SE - 07/PJ.7/2000 Tanggal 17 Juli 2000 Tentang Implementasi Rencana dan Strategi Pemeriksaan Pajak
SE - 10/PJ.7/2000 Tanggal 13 Oktober 2000 Tentang Penegasan Kebijaksanaan Pemeriksaan Tahun 2000
SE - 06/PJ.7/2002 tentang Pemeriksaan oleh Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan.
SE - 07/PJ.7/2002 tentang Penegasan Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) atas Penghapusan NPWP/NPPKP karena perubahan tempat terdaftar.
SE - 03/PJ.7/2001 tentang Kebijakan Pemeriksaan ( Seri Pemeriksaan 01-01)
SE - 01/PJ.7/2003' Tanggal 1 April 2003 Tentang Kebijakan Pemeriksaan Pajak (Seri Pemeriksaan 01-03).
SE - 02/PJ.7/2003 Tanggal 30 April 2003 Tentang Masa Transisi Penerapan SE - 01/PJ.7/2003
SE - 05/PJ.7/2003 Tanggal 26 September 2003 Tentang Beberapa Penegasan Kebijakan Pemeriksaan Pajak.
SE - 06/PJ.7/2004 Tanggal 6 Agustus 2004 Tentang Pemeriksaan Sederhana Lapangan Dalam Rangka Ekstensifikasi Wajib Pajak.
SE - 02/PJ.7/2005 Tanggal 31 Maret 2005 Tentang Kebijakan Pemeriksaan Berdasar Kriteria Seleksi
KEP - 142/PJ./2005 Tanggal 31 Agustus 2005 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kantor
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-01/PJ.7/2003. tanggal 01 April 2003 tentang Kebijakan pemeriksaan pajak Junto SE-05/PJ.7/2003 tanggal 26 September 2003 tentang Beberapa penegasan kebijakan pemeriksaan pajak21
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-02/PJ.7/2005
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-03/PJ.7/2005
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-04/PJ.7/2005
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-05/PJ.7/2005
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-07/PJ.7/2005
3.4Tujuan pemeriksaan pajak22
Diadakannya pemeriksaan pajak oleh fiscus kepada wajib pajak memiliki tujuan tertentu yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan pajak. Dan tujuan-tujuan tersebut adalah :
1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan:
1.SPT lebih bayar dan atau rugi.
2.SPT tidak atau terlambat disampaikan.
3.SPT memenuhi kriteria yang ditentukan Direktur Jenderal Pajak untuk diperiksa.
4.Adanya indikasi tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban selain kewajiban pada huruf.
5.Adanya indikasi tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban selain kewajiban pada huruf
2. Tujuan lain, yaitu:
1.Pemberian NPWP (secara jabatan)
2.Penghapusan NPWP.
3.Pengukuhan PKP secara jabatan dan pengukuhan atau pencabutan Pengukuhan PKP
4.Wajib Pajak mengajukan keberatan atau banding .
5.Pengumpulan bahan untuk penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
6.Pencocokan data dan atau alat keterangan.
7.Penentuan Wajib Pajak berlokasi di tempat terpencil .
8.Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN
9.Tujuan lain selain a s/d g.
3.5 Wewenang pemeriksa pajak23
Berdasarkan Pasal 12 Kep. Menkeu No. 545/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 tentang "Tata Cara Pemeriksaan Pajak", diatur bahwa dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor, pemeriksa memang berwenang untuk :
a.memeriksa dan atau meminjam buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya termasuk keluaran atau media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya;
b.meminta keterangan lisan dan atau tertulis dari Wajib Pajak yang diperiksa;
c.memasuki tempat atau ruangan yang diduga merupakan tempat menyimpan dokumen, uang, barang, yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan atau tempat-tempat lain yang dianggap penting serta melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tersebut,
d.melakukan penyegelan tempat atau ruangan tersebut pada huruf c, apabila Wajib Pajak atau wakil atau kuasanya tidak memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan dimaksud, atau tidak ada di tempat pada saat pemeriksaan dilakukan;
e.meminta keterangan dan atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa.
Dengan demikian bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang dapat menghitung penghasilan neto-nya dengan menggunakan norma penghitungan Cfm Kep. Ditjen Pajak No. KEP-536/PJ./2000 yang sedang diperiksa, harus memperlihatkan segala dokumen (yang dibutuhkan oleh pemeriksa pajak) yang berkaitan dengan kegiatan pelaksanaan pemeriksaan pajak, sesuai dengan ketentuan Kep. Menkeu tersebut diatas.
3.6 Kewenangan wajib pajak dalam pemeriksaan pajak24
Dalam pemeriksaan pajak, tidak hanya terdapat kewenangan pada fiscus saja, melainkan juga pada wajib pajak. Berikut hak wajib pajak apabila dilakukan pemeriksaan :
1.Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa
2.Meminta tindasan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak
3.Menolak untuk diperiksa apabila Pemeriksa tidak dapat menunjukan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan
4.Meminta penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan
5.Meminta tanda bukti peminjaman buku-buku, catatan-catatan, serta dokumen dokumen yang dipinjam oleh Pemeriksa Pajak
6.Meminta rincian berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) mengenai koreksi-koreksi yang dilakukan oleh Pemeriksa Pajak terhadap SPT yang telah disampaikan
7.Mengajukan pengaduan apabila kerahasiaan usaha dibocorkan kepada pihak
lain yang tidak berhak Memperoleh lembarAsli Berita Acara Penyegelan apabila Pemeriksa Pajak melakukan penyegelan atas tempat atau ruangan tertentu.
Kewajiban Wajib Pajak Apabila Dilakukan Pemeriksaan
1.Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas WP atau objek yang terutang pajak.
2.Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu oleh pemeriksa dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
3.Memberi keterangan yang diperlukan
3.7Langkah-langkah pemeriksaan pajak25
Langkah-langkah pemeriksaan pajak adalah sebagai berikut:
Penerbitan SP3 (surat perintah pemeriksaan pajak)
Penerbitan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak
Temui Wajib Pajak, serahkan administrasi SP3 lalu lakukan pemeriksaan dokumen pajak
Melakukan pemanggilan terhadap Wajib Pajak bilamana diperlukan adanya permintaan keterangan
Membuat kertas kerja pemeriksaan (KKP), bisa beberapa kali dan bisa diverifikasi kepada WP
Buat draft Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP) ditujukan kepada Kepala Kantor Pemeriksaan Pajak
Jika disetujui diterbitkan draft SPHP (surat pemberitahuan hasil pemeriksaan)
Jika mendapat tanggapan dari wajib pajak secara tertulis dilakukan pembahasan dan apabila pembahasan dianggap clear maka pemeriksaan di anggap selesai.
KKP merupakan lembaran kerja petugas pemeriksa pajak dan hanya untuk kepentingan dinas pajak saja sehingga tidak boleh diserahkan kepada wajib pajak.
Pemeriksa pajak tidak boleh melakukan negosiasi dengan wajib pajak dalam hal mengenai jumlah besaran pajak. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 Pasal 3 angka 1 huruf f, tetapi, Negosiasi dalam arti adu argumentasi sesuai peraturan yang berlaku diperbolehkan bilamana dilakukan dalam forum pembahasan setelah wajib pajak mengajukan sanggahan atas temuan pemeriksaan dalam SPHP secara tertulis dan mengajukan bukti.
Pemeriksaan di Bidang Pajak
Pembahasan mengenai pemeriksaan di bidang pajak atau di bidang perpajakan ini tentu tidak lepas dari hubungan antara subjek pajak atau wajib pajak dengan pejabat pajak atau fiscus. Dan hubungan antara keduanya ini, terikat oleh bagaimana sistem pengenaan pajak yang berlaku. Maka sebagai awal kami akan membahas mengenai sistem pengenaan pajak.
1.Sistem pengenaan pajak
Yang dimaksud dengan sistem pengenaan pajak tidaklah sebatas pada masalah waktu pemungutan pajak saja, melainkan juga mengenai kewenangan dan tanggung jawab untuk menghitung dan menetapkan besarnya utang pajak. Dan dalam perpajakan dikenal beberapa sistem pengenaan pajak sebagai berikut1 :
a.Official Assessement System
Sistem ini merupakan sistem pengenaan pajak yang memberi kewenangan kepada pemerintah (fiscus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak.
Ciri-ciri dari sistem ini adalah2 :
1.Wewenang untuk menentukan besar pajak terutang ada pada fiscus,
2.Wajib pajak bersifat pasif,
3.Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya SKP (Surat Keterangan Pajak) oleh fiscus.
Dalam sistem ini, fiscus memiliki peranyang dominan dalam menghitung dan menentukan pajak terutang wajib pajak. Salah satu pajak di Indonesia yang masih menggunakan sistem ini adalah pajak bumi dan bangunan, karena pemerintah masih merasa sulit untuk mengharapkan masyarakat selaku wajib pajak dari PBB mampu memahami dan menghitung sendiri pajaknya3.
b.Self Assessment System
Sistem ini adalah suatu sistem pengenaan pajak dimana kewenangan berada di tangan wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang.
Ciri-ciri sistem ini adalah4:
1.Wewenang menentukan besarnya pajak berada pada wajib pajak,
2.Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri pajaknya.
3.Fiscus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
Sistem ini dijalankan karena wajib pajak dianggap mampu untuk menghitung dan menentukan pajaknya. Dan umumnya subjek pajaknya relatif terbatas. Sistem ini berlaku pada PPh, PPn dan PPnBM.
c.With Holding System
Sistem ini adalah sistem dimana penentu besar pajak terutang wajib pajak bukanlah wajib pajak ataupun fiscus. Dengan kata lain, pihak yang berwewenang adalah pihak diluar pemerintah dan subjek pajak. Penentuan besar pajak yang harus dibayar oleh subjek pajak adalah pihak ketiga. Sistem ini diberlakukan pada pengenaan pajak PPh pasal 21.5
2.Hubungan hukum antara fiscus dan wajib pajak
Hubungan hukum antara fiscus dan wajib pajak ini tercipta dari adanya undang-undang., sehingga tidak diperlukan pendapat dan kesepakatan para pihak, dan tidak ada perjanjian antara pemerintah sebagai fiscus dengan rakyat sebagai wajib pajak atau subjek pajak. Persetujuan rakyat sebagai wajib pajak terjadi dengan mekanisme undang-undang dimana wakil rakyat yang ada di DPR telah memberikan persetujuannya mengenai pengenaan pajak.6
Hubungan hukum tersebut menempatkan para pihak tidak dalam kedudukan sederajat. Kekuasaan dan kewenangan pemerintah selaku fiskus lebih besar dibandingkan dengan rakyat selaku wajib pajak yang menanggung beban pajak. Dalam hubungan hukum ini, pemerintah dilengkapi dengan instrumen hukum publik yang merupakan kewenangan istimewanya. Konsekwensinya adalah fiscus dapat menentukan secara sepihak tanpa menunggu persetujuan dari wajib pajak.7
Karena adanya ketidak seimbangan kedudukan para pihak dalam hukum pajak ini, dan tidak adanya kontreprestasi secara langsung kepada wajib pajak yang membayar pajak, maka terkadang terjadilah tindakan-tindakan perlawanan terhadap pajak yang dilakukan oleh wajib pajak. Adapun yang dimaksud dengan perlawanan terhadap pajak8 ini adalah hambatan-hambatan yang terjadi dalam upaya pemungutan pajak.
Selanjutnya, perlawanan terhadap pajak ini dibedakan menjadi dua, yaitu :
1.Perlawanan pasif
Hambatan ini tidak dilakukan wajib pajak secara aktif dan agresif. Hambatan ini erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu negara, perkembangan intelektualitas dan pendidikan masyarakat dan moral masyarakat juga adanya sistem perpajakan yang tidak bisa dengan mudah diterapkan dalam masyarakat.9 Sebagai contohnya adalah adanya pemanfaatan secara maksimal celah yang ada dalam aturan perpajakan, seperti memaksimalkan alokasi-alokasi biaya yang tidak kena pajak dan lain sebagainya.
2.Perlawanan aktif
Perlawanan aktif ini meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada fiscus dengan tujuan menghindari pajak. Tindakan yang dilakukan diantaranya adalah berupa : penghindaran diri dari pajak, pengelakan/penyelundupan pajak dan melalaikan pajak.10
3.Pemeriksaan di bidang pajak
3.1pengertian pemeriksaan
Supaya hukum dapat ditegakkan, maka setiap SPT yang telah dilaporkan wajib pajak kepada KPP (kantor Pelayanan Pajak) tempatnya terdaftar harus diteliti atau diperiksa oleh aparat perpajakan. Dalam struktur organisasi Ditjen pajak, yang diberi tugas untuk meneliti atau memeriksa SPT adalah KPP atau KARIPKA (Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak).11
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh fiscus untuk menilai kelengkapan penulisan SPT dan lampiran-lampirannya termasuk memeriksa kebenaran penulisan dan perhitungannya. Objek penelitian ini adalah aspek hukum atau formal yang dilakukan untuk mengetahui wajib pajak telah melanggar ketentuan formal atau tidak, seperti ketepatan penyetoran pajak dan penyerahan SPT, kelengkapan dan kebenaran penulisan SPTnya.12
Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah dan/atau keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan maretial peraturan perundang-undangan. Objek pemeriksaan pajak adalah aspek hukum atau ketentuan material dari SPT WP. Yang diperiksa adalah apakah dasar pengenaan pajaknya adalah sesuai dengan ketentuan atau tidak, tarif pajaknya sudah sesuai atau tidak, perhitungan kreditnya sudah benar atau tidak dan lain sebagainya.13
Pemeriksaan Pajak dilakukan oleh Pemeriksa Pajak yaitu Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan Pemeriksaan.Dan kualifikasi pemeriksa pajak tertuang dalam Standar Pemeriksaan yaitu pada Standar Umum.
Adapun istilah-istilah yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak terdapat pada peraturan pelaksanaan, yaitu pada 545/KMK.04/2000, SE - 03/PJ.7/2001, SE - 06/PJ.7/2004, SE - 02/PJ.7/2005, KEP - 142/PJ./2005.14 Dan istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut :
1.Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
2.Pemeriksaan Kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan kepada Wajib Pajak di Kantor Unit Pelaksana pemeriksaan pajak yang meliputi satu jenis pajak tertentu pada tahun berjalan dan tahun-tahun sebelumnya yang dapat dilaksanakan melalui Pemeriksaan Sederhana Kantor atau Pemeriksaan dengan Korespondensi.
3.Pemeriksaan Sederhana Kantor adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan mengirimkan surat panggilan kepada Wajib Pajak untuk datang ke kantor Dirjen Pajak dan meminjamkan buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen.
4.Pemeriksa Pajak adalah PNS dilingkungan DJP atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Dirjen Pajak yang diberi tugas wewenang, dan tanggungjawab untuk melaksanakan pemeriksaan dibidang perpajakan
5.Kartu Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak adalah kartu yang diterbitkan oleh Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Pajak sebagai bukti bahwa pemegang kartu tersebut adalah pemeriksa pajak.
6.Surat Perintah Pemeriksaan Pajak adalah surat perintah untuk melakukan pemeriksaan pajak yang diterbitkan oleh Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Pajak.
7.Hasil pengelohan data elektronik adalah data yang sifat dan bentuknya elektronik, dihasilkan oleh komputer atau pengolah data elektronik lainnya, disimpan di dalam disket, CD, tape backup, hard disk atau media simpan elektronik lainnya atau data yang masih berada dalam suatu jaringan elektronik.
8.Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi laba pada setiap tahun pajak berakhir.
9.Pembahasan Akhir Pemeriksaan (Closing Conference) adalah pembahasan yang dilakukan antara pemeriksa pajak dan Wajib Pajak atas temuan selama pemeriksaan, dan hasil bahasan temuan tersebut baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui dituangkan dalam Berita Acara Hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak.
10.Kertas Kerja Pemeriksaan adalah catatan secara rinci dan jelas yang diselenggarakan oleh Pemeriksa Pajak mengenai prosedur pemeriksaan yang ditempuh, pengujian yang dilakukan, bukti dan keterangan yang dikumpulkan dan kesimpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan pemeriksaan.
11.Laporan pemeriksaan pajak adalah laporan terutang hasil pemeriksaan yang disusun oleh pemeriksa pajak secara ringkas, dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan pemeriksaan.
12.Bukti permulaan adalah keadaan dan atau bukti-bukti, baik berupa keterangan, tulisan, perbuatan, atau benda-benda yang dapat memberikan petunjuk bahwa suatu tindak pidana sedang atau telah terjadi yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang dapat menimbulkan kerugian pada Negara
13.Pemeriksaan bukti permulaan adalah pemeriksaan pajak untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan
14.Ekstensifikasi adalah kegiatan yang dilakukan dalam rangka meningkatkan jumlah Wajib Pajak dan atau Pengusaha Kena Pajak (PKP) terdaftar serta untuk menghitung besarnya angsuran Pajak Penghasilan (PPh) dalam tahunnnn berjalan dan penyetoran pajak dalam suatu masa pajak.
15.Ruang lingkup pemeriksaan adalah Pemeriksaan Lapangan melalui Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL).
16.PSL ekstensifikasi termasuk dalam jenis pemeriksaan rutin untuk tujuan lain, sehingga daftar Wajib Pajak yang akan dilakukan PSL ekstensifikasi harus dimasukkan ke dalam daftar nominatif pemeriksaan rutin sebagaimana diatur dalam kebijakan pemeriksaan yang berlaku.
17.Daftar nominatif adalah daftar usulan pemeriksaan mengenai daftar nama WP yang akan dilakukan pemeriksaan beserta alasan dilakukannya pemeriksaan yang diusulkan, dibuat dan diajukan oleh KPP, KP4, Karikpa, Kanwil atau KP DJP kepada Direktorat P4.
Dan jenis-jenis pemeriksaan15 di bidang pajak adalah sebagai berikut :
1.Pemeriksaan rutin,
2.Pemeriksaan kriteria seleksi
3.Pemeriksaan khusus
4.Pemeriksaan wajib pajak lokasi
5.Pemeriksaan tahun berjalan
6.Pemeriksaan bukti berjalan
3.2 Standart pemeriksaan di bidang pajak
Standar Umum yaitu standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa Pajak dan mutu pekerjaannya. Standar ini terdiri atas :
1.telah mendapat pendidikan dan pelatihan teknis yang cukup serta memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak, dan menggunakan keterampilannya secara cermat dan seksama;
2.jujur dan bersih dari tindakan-tindakan tercela serta senantiasa mengutamakan kepentingan negara; dan
3.taat terhadap berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk taat terhadap batasan waktu yang ditetapkan.
4.Dalam hal diperlukan, Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan oleh tenaga ahli dari luar Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.16
Standar Pelaksanaan Pemeriksaan, yaitu:
1.pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang seksama;
2.luas Pemeriksaan (audit scope) ditentukan berdasarkan petunjuk yang diperoleh yang harus dikembangkan melalui pencocokan data, pengamatan, permintaan keterangan, konfirmasi, teknik sampling, dan pengujian lainnya berkenaan dengan Pemeriksaan;
3.temuan Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
4.Pemeriksaan dilakukan oleh suatu tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim dan seorang atau lebih anggota tim;
5.Tim Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d dapat dibantu oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian tertentu yang bukan merupakan Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), baik yang berasal dari Direktorat Jenderal Pajak maupun yang berasal dari instansi di luar Direktorat Jenderal Pajak yang telah ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai tenaga ahli seperti peterjemah bahasa, ahli di bidang teknologi informasi, dan pengacara;
6.apabila diperlukan, Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan tim pemeriksa dari instansi lain;
7.Pemeriksaan dapat dilaksanakan di kantor Direktorat Jenderal Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, tempat tinggal Wajib Pajak, atau di tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak;
8.Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan di luar jam kerja;
9.pelaksanaan Pemeriksaan didokumentasikan dalam bentuk Kertas Kerja Pemeriksaan17
10.Laporan Hasil Pemeriksaan digunakan sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak.
Standar pelaporan hasil Pemeriksaan, yaitu:18
1.Laporan Hasil Pemeriksaan disusun secara ringkas dan jelas,
2. memuat ruang lingkup atau pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan,
3.memuat simpulan Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan
4.memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait dengan Pemeriksaan.
Laporan Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan antara lain mengenai: Penugasan Pemeriksaan; Identitas Wajib Pajak; Pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak; Pemenuhan kewajiban perpajakan; Data/informasi yang tersedia; Buku dan dokumen yang dipinjam; Materi yang diperiksa; Uraian hasil Pemeriksaan; Ikhtisar hasil Pemeriksaan; Penghitungan pajak terutang; Simpulan dan usul Pemeriksa Pajak.
3.3Dasar pemeriksaan pajak19
Pemeriksaan pajak terhadap wajib pajak dilakukan atas Instruksi dari 1) Kantor Pusat Pajak (Direktorat Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak / Direktorat pemeriksaan dan Penagihan); dan 2) Kantor Wilayah Pajak, yang dilakukan berdasarkan:
Usulan dari KPP / Karikpa
Analisa Potensi
Informasi
Laporan / Pengaduan
Bentuk-bentuk Intruksi dari Kantor Pusat kepada KPP / Karikpa antara lain:
Pemeriksaan Khusus (Beberapa atau satu jenis pajak)
Pemeriksaan Kriteria Seleksi (Seluruh jenis pajak)
Bukti Permulaan (Semua jenis pajak, Beberapa jenis, dan satu jenis pajak)
Tujuan lain
Bentuk-bentuk Instruksi dari Kantor Wilayah kepada KPP / Karikpa antara lain:
Pemeriksaan Rutin (Semua jenis pajak, Beberapa jenis, dan satu jenis pajak)
Pemeriksaan Khusus (Beberapa atau satu jenis pajak)
Pemeriksaan Kriteria Seleksi (Seluruh jenis pajak)
Bukti Permulaan (Semua jenis pajak, Beberapa jenis, dan satu jenis pajak)
Tujuan lain
Dasar hukum pemeriksaan pajak20:
Pasal 29 dan 44 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Peraturan Pemerintah Nomor 43 TAHUN 1994 Tanggal 23 Desember 1994 Tentang Pencabutan atas Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1983 tentang Pendaftaran, Pemberian NPWP, Penyampaian SPT dan Persyaratan Pengajuan Keberatan dan atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1986 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Perpajakan
KMK Nomor 625/KMK.04/1994 tanggal 27 Desember 1994 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Perpajakan
KMK Nomor 545/KMK.04/2000 Tanggal 22 Desember 2000 Tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Perpajakan
KEP - 01/PJ.7/1993 Tanggal 9 Maret 1993 Tentang Pedoman Pemeriksaan Pajak Terhadap Wajib Pajak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa
KEP - 18/PJ/1995 Tanggal 23 Februari 1995 tentang Tata Cara Penyegelan Dalam Rangka Pemeriksaan di Bidang Perpajakan
KEP - 137/PJ./1999 Tanggal 18 Juni 1999 Tentang Sistem Kriteria Seleksi SPT Untuk Diperiksa
SE - 11/PJ.7/1994 Tanggal 19 Agustus 1994 Tentang Pemeriksaan Keterkaitan
SE - 07/PJ.7/1995 Tanggal 31 Maret 1995 Tentang Kerahahasiaan Bank Dalam Kaitannya Dengan Pemeriksaan Pajak
SE - 14/PJ.7/1995 Tanggal 15 Agustus 1995 Tentang Penegasan Pemeriksaan Keterkaitan
SE - 02/PJ.7/1996 Tanggal 14 Februari 1996 Tentang Penegasan dan Penyempurnaan Ketentuan Pemeriksaan Rutin
SE - 03/PJ.7/1996, 7 Maret 1996 Tentang Pemeriksaan Khusus
SE - 18/PJ.7/1996 Tanggal 24 Oktober 1996 Tentang Pemeriksaan Sederhana Lapangan Dalam Rangka Ekstensifikasi Wajib Pajak
SE - 02/PJ.7/1997 Tanggal 7 Februari 1997 Tentang Pemeriksaan Sederhana Lapangan PPN dan PPn BM Terhadap Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran
SE - 12/PJ.73/1997 Tanggal 26 September 1997 Tentang Penegasan atas Pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi
SE - 01/PJ.7/1998 Tanggal 30 Maret 1998 Tentang Pemeriksaan Ulang
SE - 04/PJ.7/1998 Tanggal 15 Juni 1998 Tentang Penegasan Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak
SE - 06/PJ.7/1998 Tanggal 3 Juli 1998 Tentang Pencabutan Ketentuan Tentang Pemeriksaan
SE - 07/PJ.7/1998 Tanggal 28 Juli 1998 Tentang Penegasan Kebijaksanaan Pemeriksaan
SE - 09/PJ.7/1998 Tanggal 28 Agustus 1998 Tentang Penegasan atas Pelaksanaan Pemeriksaan/Penyelesaian SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi/Badan Yang Menyatakan Lebih Bayar
SE - 11/PJ.7/1998 Tanggal 19 Oktober 1998 tentang Pemeriksaan Sederhana Lapangan Terhadap Wajib Pajak Yang Tempat Terdaftarnya Berpindah dari KPP Tempat Wajib Pajak Semula Terdaftar ke KPP Lainnya
SE - 06/PJ.7/1999 Tanggal 11 Agustus 1999 Tentang Perlakuan dan Pendekatan Pemeriksaan Terhadap Golongan Wajib Pajak Serta Penerapan Teknik Sampling Dalam Pemeriksaan Pajak.
SE - 6/PJ.5/1985 Tanggal 20 Nopember 1985 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan
SE - 04/PJ.43/2000 Tanggal 8 Maret 2000 Tentang Pemeriksaan Sederhana Lapangan Atas Wajib Pajak Yang Telah Mendapat Izin Pemusatan Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 21
SE - 04/PJ.7/2000 Tanggal 12 April 2000 Tentang Kebijaksanaan Pemeriksaan Tahun 2000
SE - 04/PJ.5/1986 Tanggal 25 April 1986 Tentang Penjelasan Tentang Bukti Permulaan Adanya Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
SE - 07/PJ.7/2000 Tanggal 17 Juli 2000 Tentang Implementasi Rencana dan Strategi Pemeriksaan Pajak
SE - 10/PJ.7/2000 Tanggal 13 Oktober 2000 Tentang Penegasan Kebijaksanaan Pemeriksaan Tahun 2000
SE - 06/PJ.7/2002 tentang Pemeriksaan oleh Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan.
SE - 07/PJ.7/2002 tentang Penegasan Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) atas Penghapusan NPWP/NPPKP karena perubahan tempat terdaftar.
SE - 03/PJ.7/2001 tentang Kebijakan Pemeriksaan ( Seri Pemeriksaan 01-01)
SE - 01/PJ.7/2003' Tanggal 1 April 2003 Tentang Kebijakan Pemeriksaan Pajak (Seri Pemeriksaan 01-03).
SE - 02/PJ.7/2003 Tanggal 30 April 2003 Tentang Masa Transisi Penerapan SE - 01/PJ.7/2003
SE - 05/PJ.7/2003 Tanggal 26 September 2003 Tentang Beberapa Penegasan Kebijakan Pemeriksaan Pajak.
SE - 06/PJ.7/2004 Tanggal 6 Agustus 2004 Tentang Pemeriksaan Sederhana Lapangan Dalam Rangka Ekstensifikasi Wajib Pajak.
SE - 02/PJ.7/2005 Tanggal 31 Maret 2005 Tentang Kebijakan Pemeriksaan Berdasar Kriteria Seleksi
KEP - 142/PJ./2005 Tanggal 31 Agustus 2005 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemeriksaan Kantor
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-01/PJ.7/2003. tanggal 01 April 2003 tentang Kebijakan pemeriksaan pajak Junto SE-05/PJ.7/2003 tanggal 26 September 2003 tentang Beberapa penegasan kebijakan pemeriksaan pajak21
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-02/PJ.7/2005
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-03/PJ.7/2005
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-04/PJ.7/2005
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-05/PJ.7/2005
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-07/PJ.7/2005
3.4Tujuan pemeriksaan pajak22
Diadakannya pemeriksaan pajak oleh fiscus kepada wajib pajak memiliki tujuan tertentu yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan pajak. Dan tujuan-tujuan tersebut adalah :
1. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan:
1.SPT lebih bayar dan atau rugi.
2.SPT tidak atau terlambat disampaikan.
3.SPT memenuhi kriteria yang ditentukan Direktur Jenderal Pajak untuk diperiksa.
4.Adanya indikasi tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban selain kewajiban pada huruf.
5.Adanya indikasi tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban selain kewajiban pada huruf
2. Tujuan lain, yaitu:
1.Pemberian NPWP (secara jabatan)
2.Penghapusan NPWP.
3.Pengukuhan PKP secara jabatan dan pengukuhan atau pencabutan Pengukuhan PKP
4.Wajib Pajak mengajukan keberatan atau banding .
5.Pengumpulan bahan untuk penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto.
6.Pencocokan data dan atau alat keterangan.
7.Penentuan Wajib Pajak berlokasi di tempat terpencil .
8.Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN
9.Tujuan lain selain a s/d g.
3.5 Wewenang pemeriksa pajak23
Berdasarkan Pasal 12 Kep. Menkeu No. 545/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 tentang "Tata Cara Pemeriksaan Pajak", diatur bahwa dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan lapangan dan pemeriksaan kantor, pemeriksa memang berwenang untuk :
a.memeriksa dan atau meminjam buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen pendukung lainnya termasuk keluaran atau media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya;
b.meminta keterangan lisan dan atau tertulis dari Wajib Pajak yang diperiksa;
c.memasuki tempat atau ruangan yang diduga merupakan tempat menyimpan dokumen, uang, barang, yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha Wajib Pajak dan atau tempat-tempat lain yang dianggap penting serta melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tersebut,
d.melakukan penyegelan tempat atau ruangan tersebut pada huruf c, apabila Wajib Pajak atau wakil atau kuasanya tidak memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan dimaksud, atau tidak ada di tempat pada saat pemeriksaan dilakukan;
e.meminta keterangan dan atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa.
Dengan demikian bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang dapat menghitung penghasilan neto-nya dengan menggunakan norma penghitungan Cfm Kep. Ditjen Pajak No. KEP-536/PJ./2000 yang sedang diperiksa, harus memperlihatkan segala dokumen (yang dibutuhkan oleh pemeriksa pajak) yang berkaitan dengan kegiatan pelaksanaan pemeriksaan pajak, sesuai dengan ketentuan Kep. Menkeu tersebut diatas.
3.6 Kewenangan wajib pajak dalam pemeriksaan pajak24
Dalam pemeriksaan pajak, tidak hanya terdapat kewenangan pada fiscus saja, melainkan juga pada wajib pajak. Berikut hak wajib pajak apabila dilakukan pemeriksaan :
1.Meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa
2.Meminta tindasan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak
3.Menolak untuk diperiksa apabila Pemeriksa tidak dapat menunjukan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan
4.Meminta penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan
5.Meminta tanda bukti peminjaman buku-buku, catatan-catatan, serta dokumen dokumen yang dipinjam oleh Pemeriksa Pajak
6.Meminta rincian berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan Surat Pemberitahuan (SPT) mengenai koreksi-koreksi yang dilakukan oleh Pemeriksa Pajak terhadap SPT yang telah disampaikan
7.Mengajukan pengaduan apabila kerahasiaan usaha dibocorkan kepada pihak
lain yang tidak berhak Memperoleh lembarAsli Berita Acara Penyegelan apabila Pemeriksa Pajak melakukan penyegelan atas tempat atau ruangan tertentu.
Kewajiban Wajib Pajak Apabila Dilakukan Pemeriksaan
1.Memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas WP atau objek yang terutang pajak.
2.Memberi kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang dipandang perlu oleh pemeriksa dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
3.Memberi keterangan yang diperlukan
3.7Langkah-langkah pemeriksaan pajak25
Langkah-langkah pemeriksaan pajak adalah sebagai berikut:
Penerbitan SP3 (surat perintah pemeriksaan pajak)
Penerbitan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak
Temui Wajib Pajak, serahkan administrasi SP3 lalu lakukan pemeriksaan dokumen pajak
Melakukan pemanggilan terhadap Wajib Pajak bilamana diperlukan adanya permintaan keterangan
Membuat kertas kerja pemeriksaan (KKP), bisa beberapa kali dan bisa diverifikasi kepada WP
Buat draft Laporan Pemeriksaan Pajak (LPP) ditujukan kepada Kepala Kantor Pemeriksaan Pajak
Jika disetujui diterbitkan draft SPHP (surat pemberitahuan hasil pemeriksaan)
Jika mendapat tanggapan dari wajib pajak secara tertulis dilakukan pembahasan dan apabila pembahasan dianggap clear maka pemeriksaan di anggap selesai.
KKP merupakan lembaran kerja petugas pemeriksa pajak dan hanya untuk kepentingan dinas pajak saja sehingga tidak boleh diserahkan kepada wajib pajak.
Pemeriksa pajak tidak boleh melakukan negosiasi dengan wajib pajak dalam hal mengenai jumlah besaran pajak. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 Pasal 3 angka 1 huruf f, tetapi, Negosiasi dalam arti adu argumentasi sesuai peraturan yang berlaku diperbolehkan bilamana dilakukan dalam forum pembahasan setelah wajib pajak mengajukan sanggahan atas temuan pemeriksaan dalam SPHP secara tertulis dan mengajukan bukti.
makalah objek pajak dan pemeriksaan pajak 2
BAB II
OBJEK PAJAK
1.Pengertian objek pajak
Dalam perpajakan, yang dimaksud dengan objek pajak yaitu apa-apa yang dikenakan pajak. Mengingat penting dan strategisnya objek pajak dalam perpajakan, baik hukum maupun akuntansi, sehingga dalam UU perpajakan Indonesia dengan tegas menyatakan apa yang menjadi objek pajak setiap jenis pajak. Untuk itu, sebagai contoh, pasal 4 Ayat (1) dan ayat (2) undang-undang pajak pengahasilan telah memberikan penegasan mengenai objek pajak penghasilan.1
Dalam website pemerintah pengurus dan pengelola pajak negara dinyatakan bahwa “Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. ”2
Secara umum, sedikit sekali pengarang buku-buku perpajakan menyebutkan dalam bukunya tentang definisi objek pajak. Erly Suandy menyebutkan secara ringkas definisi objek pajak adalah segala sesuatu yang akan dikenakan pajak.3 Dan sebagaimana telah kami singgung sebelumnya, dalam pasal 4 Undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang PPh, disebutkan tentang definisi obyek pajak penghasilan sebagaimana definisi objek pajak yang telah disebutkan oleh pemerintah pengurus pajak dalam websitenya, http://pajak.go.id.
Meskipun segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan objek yang dapat dikenakan pajak (tatsbestand), namun dalam menentukan objek tersebut (fiscus) harus jeli dan teliti, jangan sampai menimbulkan kerugian bagi wajib pajak karena suatu objek seharusnya tidak dapat dikekanakan pajak, justru berubah menjadi objek yang dapat dikenakan pajak.
Dari mekanisme aliran pertambahan kemampuan ekonomis, penghasilan yang diterima oleh Wajib pajak dapat dikatagoriakan atas 4 (empat) sumber:4
1.Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan berdasarkan hubungan kerja dan pekerjaan bebas.
2.Penghasilan dari usaha dan kegiatan
3.Penghasilan dari modal
4.Penghasilan lain-lain, seperti hadiah, pembebasan utang, dan sebagainya.5
2.Perluasan Objek Pajak
Pada dasarnya obyek pajak yang ditentukan oleh pemerintah tidaklah banyak macam ataupun jenisnya, tetapi perkembangan teknologi dan sistem keuangan menjadikan obyek pajak tersebut harus mengalami perluasan. Perluasan yang terjadi ini, dalam arti perluasan cakupan, diatur dalam peraturan perundangan yang berkaitan dengan perpajakan.
Sebagai contoh, Undang-undang No 11 Tahun 1994 maupun Undang-undang No 18 Tahun 2000, perluasan objek pajak diatur dalam pasal 4 UU PPN tahun 1984 dan mengalami perluasan yang dilakuan dengan UU No 11 tahun 1994. Pada dasarnya perluasan obyek pajak tersebut memiliki dua sifat:6
a.Bersifat Kondifikasi
Berbagai peraturan pelaksanaan dan petunjuk pelaksanan dalam banyak surat edaran Direktur Jndral Pajak yang acapkali mengatur permasalahan yang tidak pernah ditemukan dalam UU, sevara konsolidatif di masikan dalam UU No 8 1983;
1)Objek pajak berasal dari Peraturan Pelaksanaan Pasal 4 ayat (2) UU No 8 Thn 83’ pra revisi, yaitu:
a)PP No 22 Thn 1985 (jenis jasa yang atas penyerahannya terutang pajak )sejak Tgl 1 Aprl 1985 ( jasa pemborong banguna atuat barang tak bergerak)
b)PP No 28 Thn 1988 ( diperluas) sejak Tgl 1 April 1989 atas;
c)PP No 75 Thn 7991 yang memperluas objekl pajak pertambahan nilai atas penyerahaan barang kena pajak yang dilakukan didaerah Pabean dalam lingkuyangan perusahaan atau pekerjaan pedagang eceran besar terhitung 1 Aprl 1992.7
2)Perluasan pennyerahan barang kena pajak yang tidak pernah disebut dalam UU, semuala diatur hanya dalam petunjuk pelaksanaan yang dituangkan dalam beberapa surat edaran :
a)Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No: SE-28/Pj.3/1985 tgl 2 aprl 1985 (SERI PPN-41) menegaskan bahwa penyerahan barang kena pajak secara konsinyasi termasuk dalam pengertian penyerahan kena pajak.8
b)Penyerahaan barang kena pajak dari kantor pusat ke cabang dan antar cabang yang tidak memperoleh persetujuan Direktur Jendral Pajak untuk melakuakn pemusatan tempat pajak terutang, merupakan penyerahan kena pajak.
b.Bersifat Perluasan Objek
Dalam perjalanan sejarah UU PP 1984 sejak ditetapkan mulai berlaku 1 Apr 1985 oleh peraturan pemerintah No 1 Thn 1985 hingga perubahan terakhir yang berlaku mulai 1 Jan 2001 yang dilakukan dengan UU No 18 Thn 2000, Objek pajak pertambahan nilai telah mengalami beberapa kali perluasaan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 4 ayat (2) yang lama PPN dapat diberlakukan hingga penyerahan barang kena pajak yang dilakukan dalam daerah pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan pedagang eceran dan semua penyerahaan jasa kena pajak.
3.Macam-macam obyek pajak.
Banyak sekali yang dapat dimasukkan dalam kategori ini obyek pajak yang dalam bahasa jerman disebut dengan tatbestand. Dalam masyarakat terdapat banyak hal yang dapat dikenakan pajak. Pengenaan ini dapat dikarenakan keadaan, perbuatan maupun peristiwa.9 Misalnya :
Keadaan : kekayaan seseorang pada waktu tertentu atau kepemilikan atas suatu benda;
Perbuatan ; melakukan suatu transaksi, mendirikan bangunan, menerima penghasilan, dan bepergian keluar negeri;
Peristiwa : kematian, keuntungan yang diterima secara mendadak, dan segala sesuatu yang diluar kehendak seseorang atau manusia.
Selain itu, obyek pajak dapat dibedakan juga dalam kategori obyek pajak langsung dan obyek pajak tidak langsung.10 Pada pajak tak langsung, besarnya pajak yang dikenakan tidak terpengaruhi oleh keadaan wajib pajak, tetapi obyeknya saja yang menentukan. Contohnya seperti pengenaan PPN dan bea cukai. Sebaliknya, pajak langsung pengenaannya masih tergantung pada keadaan wajib pajak. Contohnya pada pajak penghasilan, dalam perhitungannya terdapat penghasilan yang tidak kena pajak, yang mana dalam penghasilan pajak ini, keadaan wajib pajak mempengaruhi besarnya penghasilan tidak kena pajak. Menikah atau tidak, memiliki anak atau tidak dan lain sebagainya inilah yang mempengaruhi besar penghasilan tidak kena pajak tersebut.
Membahas sedikit tentang pajak penghasilan, dalam hal ketentuan pemerintah tentang penghasilan tidak kena pajak, kami merasa ada ketidakadilan di dalamnya. Mengapa? Apabila kita kaji lagi, dasar pengenaan penghasilan tidak kena pajak atau yang biasa disebut dengan PTKP tidaklah sesuai dengan iklim sosiologis negara kita, terutama apabila dikaitkan dengan ketentuan Islam sebagai dasarnya.
PTKP yaitu batasan penghasilan dari orang pribadi dalam satu tahun yang tidak dikenakan pajak.11 Dalam ketentuan Undang-undang no. 36 tahun 2008, yang diberlakukan sejak januari 2009, pada pasal 7 ayat (1) ditentukan bahwa : PTKP untuk wajib pajak peibadi dalam satu tahun adalah Rp 15.840.000,00, dan terdapat tambahan sebesar Rp 1.320.000,00 untuk wajib pajak kawin, dan tambahan sebesar Rp 1.320.000,00. Dan untuk mudahnya, kami berikan gambaran contoh penghitungan PTKP sebagai berikut.
Uraian
PTKP
Tidak kawin (TK)
15.840.000
Kawin (K)
17.160.000
Kawin 1 anak (K/1)
18.480.000
Kawin 2 anak (K/2)
18.800.000
Kawin 3 anak(K/3)
21.120.000
Dari tabel diatas, bila dihitung secara matematik, maka setiap bulannya seorang suami ataupun seorang individu yang tidak menikah akan mendapat PTKP sebesar Rp 1.320.000,00 dan jumlah tersebut merupakan besar tunjangan istri selama setahun, yang apabila dihitung lagi, maka seorang istri hanya mendapat tunjangan sebesar Rp 110.000,00. Tentunya dapat kita pahami dalam logika kita bahwa dalam mekanisme perpajakan terdapat diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak.
Berkenaan dengan adanya sistem poligami dalam islam, dalam mekanisme PTKP istri kedua dan ketiga tidaklah masuk dalam hitungan. Bahkan apabila jumlah anak atau tanggungan sedarah kebawah ini berjumlah lebih dari 3 orang. Hal ini didasarkan pada ketentuan pemerintah yang berkenaan dengan PNS atau pegawai negeri.
Pertanyaan lainnya adalah bagaimana apabila orang tua yang menjadi tanggungan? Hal ini diijinkan dengan ketentuan bahwa orang tua tersebut telah dinyatakan tidak berpenghasilan dan tidak bekerja, dan jumlah tanggungan tersebut hanyalah sebesar 1% saja. Dan ketentuan 1% ini dapat diberlakukan pada tanggungan yang tidak mendapat tunjangan, baik pada garis keatas, maupun kebawah.
Bagaimana apabila ada saudara kita yang ada dalam tanggungan seorang wajib pajak, sebagaimana dalam masyarakat kita apabila orang tua telah tiada maka perwalian dan pertanggungannya akan jatuh pada saudara yang lebih tua atau saudara yang telah berpenghasilan. Garis keturunan kesamping ini sejauh ini tidak diakui dalam pembahasan tentang pajak penghasilan, khususnya berkaitan dengan PTKP. Dan hal ini belum dibahas dalam ketentuan perpajakan manapun di negara kita.
1.Objek pajak yang pernah berlaku di Indonesia
Berikut ini terdapat macam-macam obyek pajak yang lain, selain atas dasar alasan pengenaan dan keadaan subyek pajak, yang pernah berlaku di Indonesia.
1.1Obyek pajak penghasilan12
Pendapatan dapat dijadikan obyek pajak pendapatan (ordonansi PPd 1944, Stb. 1944 no. 17). Dalam peraturan atau ordonansi tersebut terdapat definisi pendapatan yang dinyatakan bahwa pendapatan adalah gunggungan jumlah uang atau nilai uang yang selama tahun takwim diperoleh seseorang sebagai hasil dari ;
a.Usaha dan tenaga,
b.Barang tak gerak,
c.Harta gerak,
d.Hak atas bayaran berkala.
1.2Obyek pajak perseroan13
Dalam pasal 1 dan 3 Ordonansi 1925 no. 319, ditentukan : “Dengan nama pajak perseroan dipungut pajak :
1.Dari laba yang diperoleh perseroan terbatas, perseroan komanditer,... dst. ... yang modal seluruhnya atau sebagian terbagi atas saham-saham perusahaan negara dalam bentuk apapun, perkumpulan koperasi, perkumpulan gotong royong asuransi, maatschap, firma, kongsi dan sebagainya yang berkedudukan di Indonesia.
2.Dan laba yang diperoleh perkumpulan yang modalnya tidak terbagi dalam saham-saham yang berkedudukan di Indonesia, lain dari pada perusahaan yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan masyarakat umum,
3.Dari laba yang diperoleh badan, yang berkedudukan di Indonesia oleh suatu pendirian yang tetap. Yang berkedudukan di Indonesia... dst.”
Selanjutnya pasal 3 PPPs 1925 menentukan : “dengan laba dimaksudkan jumlah keuntungan yang diperoleh bersih, dengan nama dan bentuk apapun, dari perusahaan dan dari modal yang dipergunakan di luar perusahaan.”
1.3Obyek pajak penghasilan14
Yang dijadikan obyek pajak penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh orang pribadi atau badan, baik yang bertempat tinggal atau yang berkedudukan di Indonesia, maupun yang bertempat tinggal atau yang berkedudukan di luar negeri. Selanjutnya, penghasilan diuraikan lagi dalam pasal 4 UU PPh atau UU no 17 tahun 2000, sebagaimana yang telah kami sebutkan diatas.
Objek pajak penghasilan yang diperoleh bentuk usaha tetap (BUT), diatur dalam pasal 2 dan 3c dalam UU PPh 1984, digolongkan sebagai subjek pajak dalam negeri, berlainan dengan kebiasaan internasional. Dan pada UU PPh no 17 tahun 2000, BUT tergolong sebagai subjek pajak luar negeri.15
Pada pasal 5 ayat (1) PPh 1984, khusus yang mengatur BUT sebagai wajib pajak dalam negeri, menyatakan bahwa yang dikenakan pajak penghasilan adalah :
a.Penghasilan dari kegiatan usaha BUT tersebut (dimana saja diperoleh), dan juga penghasilan dari harta yang dikuasai atau dimilikinya (tidak pandang dimana letaknya)16;
b.Penghasilan induk atau badan lain yang bukan wajib pajak dalam negeri, yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk perusahaan tersebut, dari kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian jasa yang dilakukan oleh BUT di Indonesia, kecuali penghasilan yang disebut dalam pasal 2.17
Selanjutnya, pasal 5 ayat (2) memberikan pengecualian, yaitu penghasilan yang didapat pleh induk BUT atau oleh badan lain (yang bukan wajib pajak PPh dalam negeri) yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk BUT tersebut, yang berupa deviden, bunga royalty dan sebagainya, yang sudah dikenakan pajak penghasilan di Indonesia berdasarkan pasal 26 UU PPh, yang tidak ada hubungannya dengan BUT di Indonesia, tidak dianggap sebagai penghasilan dari BUT tersebut. Akan tetapi biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan induk tidak pula boleh dikurangkan sebagai beban BUT, dan juga pajak yang telah dibayar oleh induk (berdasarkan pasal 26 UU PPh) tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang menjadi beban BUT.
1.4Objek pajak kekayaan18
Pajak ini dikenakan berdasarkan Stb. 1932 no. 405, dan peraturan ini tidak diberlakukan lagi mulai 1 januari 1986.
1.5Objek pajak penjualan19
Pajak ini termasuk dalam jenis pajak tidak langsung. Dasar pengenaan pajak ini adalah undang-undang no. 19 tahun 1951, yang sudah ditiadakan dan tidak diberlakukan lagi.
1.6Objek pajak pertambahan nilai20
Objek pajak ini diatur dalam Undang-undang PPn no 8 tahun 1983, yang telah mengalami perubahan sebanyak dua kali, yaitu dengan UU no 11 tahun 1994 dan kemudian dengan UU no. 18 tahun 2000.
1.7Objek pajak rumah tangga21
Pemberlakuan pajak terhadap objek pajak ini didasarkan pada ketentuan dalam Stb. No 13 tahun 1908 yang diperbarui dengan LN no 112 tahun 1959. Dan kemudian tidak diberlakukan lagi sejak 1 Januari 1986.
1.8Objek pajak kendaraan bermotor 22
Objek pajak ini berlaku dengan berdasar kepada Stb no 718 tahun 1934. Dan pada PP no. 3 tahun 1957, pajak ini digolongkan ke dalam pajak-pajak yang oleh pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat 1.
1.9Objek bea balik nama kendaraan bermotor23
Objek yang menjadi sasaran bea balik nama kendaraan bermotor sesuai yang ditentukan dalam pasal 1 Perpu no. 27 tahun 1959, adalah: penyerah kendaraan bermotor dalam hak milik yang dilakukan di Indonesia. Dalam hal penyerahan hak milik ini, tidak dijelaskan tentang bagaimana proses penyerahan tersebut, baik melalui jual beli, hibah, dan sebagainya. Selanjutnya diberikan kepastian melalui fiksi, bahwa penguasaan kendaraan bermotor oleh yang bukan miliknya selama 12 bulan, dianggap sebagai penyerahan hak milik, kecuali jika penyerahan hak milik itu akibat dari sewa-menyewa maupun jabatan (pemegang kendaraan bermotor milik pemerintah).
1.10Objek pajak anjing dan objek pajak sepeda24
Mengenai objek pajak ini diatur dalam Lembaran Kotapraja Jakarta Raya no. 24 tahun 1959 dan Lembaran Kotapraja Jakarta Raya no. 6 tahun 1958.
Dalam ketentuan ini tidak dijelaskan secara detail tentang apa yang dimaksud “anjing” sebagai objek pajak. Demikian juga tentang sepeda. Setiap orang tentu mengetahui apa itu sepeda, yang merupakan alat angkut baik beroda dua maupun beroda tiga. Sehingga aturan ini tidak diberlakukan lagi di Indonesia maupun di Jakarta sendiri.
1.11Objek pajak jalan25
Objek pajak jalan ini diberlakukan berkenaan dengan jalan dan letaknya terhadap jalan umum maupun taman yang ada di jakarta. Hal ini terkait dengan pemeliharaan kota. Pengaturannya terdapat dalam Lembaran Kotapraja jakarta Raya no. 25 tahun 1959 yang tidak diberlakukan lagi sejak 1 januari 1986.
2.Macam-macam objek pajak berdasarkan kedudukan wajib pajak
Selanjutnya, Rochmat Sumitro dan Dewi Kania menggolongkan objek pajak dalam 3 golongan, yaitu : objek pajak wajib pajak dalam negeri, objek pajak wajib pajak luar negeri, dan objek pajak yang tercakup oleh traktat pajak.26
2.1Objek pajak wajib pajak dalam negeri
Ada beberapa jenis pajak yang memiliki wajib pajak dalam negeri, diantaranya adalah PPn, Pajak Penjualan, Pajak kendaraan bermotor dan lain sebagainya. Hal ini wajar karena objeknya harus berada di dalam negeri atau di Indonesia. Tetapi objek pajak wajib pajak dalam negeri, dikenakan pada objek pajak yang entah ada di dalam ataupun luar negeri yang dimiliki oleh wajib pajak di dalam negeri.
Pajak ini dikenakan oleh negara tempat wajib pajak itu berdomisili. Ini yang disebut dengan asas domisili. Asas ini merupakan asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa negara tempat wajib pajak bertempat tinggal atau berkedudukan labih berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak dalam negeri yang berasal dari sumber mana saja sumber itu berada, baik sumber itu berada di dalam negeri ataupun di luar negeri. Inilah yang menyebabkan adanya azas world wide income.
2.2Objek pajak wajib pajak luar negeri
Orang atau badan yang bertempat tinggal atau yang berkedudukan di luar negeri hanya dapat dikenakan pajak di Indonesia apabila orang atau badan itu memperoleh penghasilan dari objek pajak yang ada di dalam negeri. Memang kurang beralasan apabila orang atau badan yang berada di luar negeri dikenakan pajak di Indonesia apabila ia tidak memiliki hubungan ekonomis dengan Indonesia.
Hubungan ekonomis dengan Indonesia itu ada jika ia mempunyai objek pajak yang ada di bumi Indonesia, yaitu memiliki sumber penghasilan yang ada di Indonesia, atau memiliki kekayaan berupa benda tak gerak di Indonesia. Penghasilan (objek) orang atau badan luar negeri yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan yang ada di Indonesia, pasti dikenakan pajak penghasilan baik secara langsung atau tidak langsung.
Penghasilan berupa laba dari perusahaan yang dilakukan di Indonesia oleh orang yang bertempat tinggal di luar negeri dikenakan kepada badan yang disebut BUT, yang dalam UU PPh dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri walaupun wajib pajak yang menerima berada di luar negeri. Kalau sumbernya harta tak gerak terletak di Indonesia, maka pajak penghasilannya dikenakan pada wakilnya atau orang yang mengurus harta tak gerak itu dengan jalan Surat Keterangan Pajak (SKP), sebab wajib pajak itu tidak berkewajiban memasukkan SPT sehingga ia tidak dapat memasukkan sendiri pajak terutangnya.
Jika sumbernya sumbernya berupa saham, obligasi atau piutang, maka deviden atau bunga yang diterima oleh orang luar negeri itu dikenakan pajak pada sumbernya dengan jalan withholding (pemotongan pajak) yang dilakukan oleh orang atau badan yang membayar hasil tersebut. Orang atau badan yang membayar hasil itu diwajibkan memotong pajak penghasilan berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam pasal 26 UU PPh 1984. Bagi wajib pajak luar negeri berlaku azas sumber atau source principal, yaitu bahwa hanya hasil yang keluar dari sumber yang ada di Indonesia dikenakan pajak di Indonesia, di negara tempat sumber itu berada.
2.3Objek pajak yang tercakup oleh traktat pajak
Traktat pajak atau yang lazimnya disebut perjanjian pajak ganda antara dua negara atau lebih, dengan maksud mencegah pajak ganda. Maksudnya adalah untuk mencegah, menghindarkan, atau menghapuskan pajak ganda yang terjadi karena seseorang atau badan melakukan usaha di negara lain, di luar negara tempat tinggalnya atau tempat kedudukannya. Tujuan dicegahnya pajak berganda tiada lain adalah untuk meghapuskan hambatan (straint) atas lalu lintas modal, teknologi, jasa managerial skill, dan sophisticated instrument.
Objek pajak yang sering dijadikan masalah dalam traktat pajak antara lain adalah :
a.Fiscal domicile (tempat tinggal) wajib pajak,
b.Bussiness income (penghasilan perusahaan),
c.Penghasilan dari harta tak gerak,
d.Penghasilan berupa bunga, deviden, dan royalty,
e.Penghasilan dari permanent Establishment,
f.Penghasilan dari personal services, direktur, dan sebagainya,
g.Penghasilan para mahasiswa,
h.Penghasilan para olahragawan,
i.Dan lain sebagainya.
Untuk pembahasan lebih lengkap mengenai pajak yang berkaitan dengan hukum internasional ini akan dibahas pada pembahasan yang berkaitan dengan hukum pajak internasional atau yang berkaitan dengan pajak berganda internasional. Atau dapat dibaca di buku Hukum Pajak Internasional Indonesia karya Rochmat Soemitro, yang diterbitkan oleh PT. Refika Aditama, Bandung.
Dalam Pasal 1 huruf c dab huruf b lama UU PPN 1984 sebelum 1 januari 1995, pengertian barang kena pajak di rumuskan sebagai berikut:
“barang kena pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak sebagai hasil proses pengelolahan barang (pabrikasi) yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini”27
Sedangkan dalam pasal 1 angka 3 dan angka 2 UU PPN tahun 1984 pengertian barang kena pajak dirumuskan sebagai berikut:
“barang kena pajak barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau berang tidak bergerak maupun barang berwujud atau tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini”.28
Pengertian yang luas tentang barang kena pajak tersebut masih dibatasi oleh pasal 4A UU PPN 1984 yang menentukan bahwa dengan peraturan pemerintah akan ditetapkan jenis-jenis barang yang tidak dikenakan pajak. Berdasarkan UU PPN 1984. Dengan demikian maka sejak 1 januari 1995, pada prinsipnya semua barang dikenakan PPN kecuali undang-undang menetapkan sebaliknya sebagaimana ditegaskan dalam memori penjelasan pasal 1 Huruf c.29
Secara umum pemerintah Indonesia menetapkan objek pajak mencakup hal-hal berikut ini :
1. imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, seperti : gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
2.hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3.laba usaha.
4.keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, seperti:
5.keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
6.keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
7.keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
8.keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
9.penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
10.bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
11.dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
12.royalti.
13.sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
14.penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
15.keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
16.keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
17.selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
18.premi asuransi.
19.iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
20.tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Hal ini dilihat dari sumber mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak.30
Selain menentukan apa-apa yang menjadi objek pajak, pemerintah juga menentukan pengecualian-pengecualian atau apa-apa yang tidak termasuk dalam objek pajak31, yaitu sebagai berikut :
1.Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
2.Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
3.Warisan.
4.Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.
5.Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah.
6.Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
7.Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a.dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b.bagi perseroan terbatas, BUMN/ BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
8.Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
9.Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
10.Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi.
11.Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh reksa dana selama lima tahun pertama sejak tanggal. pendirian atau tanggal kontrak
12.Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a.merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dan
b.sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Dalam hal perpajakan, pengertian dividen termasuk pula:32
1.pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2.pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3.pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4.pembagian laba dalam bentuk saham;
5.pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6.jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
7.pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8.pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda -tanda laba tersebut;
9.bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10.bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11.pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12.pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Selanjutnya, royalty juga sering disebut dalam suatu usaha dan merupakan salah satu objek pajak. Pengertian royalti adalah imbalan sehubungan dengan penggunaan:
1.hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan;
2.hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya
3.informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.
3.Macam-macam objek pajak berkenaan dengan macam-macam pajak yang berlaku di Indonesia saat ini.
Setelah membahas tentang beberapa macam objek pajak yang ada di Indonesia dan apa saja yang termasuk objek pajak dan tidak termasuk objek pajak secara umum, berikut ini kami akan memberikan paparan tentang macam-macam pajak berkenaan dengan macam-macam pajak yang berlaku di Indonesia hingga saat ini.
3.1Objek pajak penghasilan
Objek PPh adalah penghasilan. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah Pengertian pengahasilan Menurut UU PPh adalah”Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menanmbahkan kekayaan Wajib pajak yang bersangkuta, dengan nama dan dalam bentuk apapun.”,maka undang-undang PPh m,engatur lebih rinci pembagian objek pajak yang diatur dalam pasal-pasal yang menyebutkan lebih popular dengan menyebutkan menurut pasal yang menegaturnya, yaitu sebagai berikut:33
PPh Pasal 21
Adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.34
a)Pemotong PPh Pasal 21 adalah :
a. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan.
b. Bendahara pemerintah baik Pusat maupun Daerah
c. Dana pensiun atau badan lain seperti Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), PT Taspen, PT ASABRI.
d. Perusahaan dan bentuk usaha tetap.
e. Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
f. Penyelenggara kegiatan.
b)Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
a. Pegawai tetap.
b. Tenaga lepas (seniman, olahragawan, penceramah, pemberi jasa, pengelola proyek, peserta perlombaan, petugas dinas luar asuransi), distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis.35
c. Penerima pensiun, mantan pegawai, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
d. Penerima honorarium.
e. Penerima upah.
f. Tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan Aktuaris).
g. Peserta Kegiatan.
c)Penerima Penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21
a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat:
- bukan warga negara Indonesia dan
- di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
b. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan sepanjang bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.36
d)Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara teratur berupa gaji,uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transpot, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, bea siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun;37
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap;
c. upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan atau pemagangan yang merupakan calon pegawai;
d. uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, uang pesangon dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja;
e. honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, terdiri dari :38
1. tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan Aktuaris)
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/ peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial;
7. agen iklan;
8. pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, dan peserta sidang atau rapat;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan;
10. peserta perlombaan;
11. petugas penjaja barang dagangan;
12. petugas dinas luar asuransi;
13. peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan sebagai calon pegawai;
14. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
f. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji dan honorarium atau imbalan lain yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya.39
e)Yang tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
a. pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan,asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
b. penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan Wajib Pajak selain Pemerintah, atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
c. iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja;
d. zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
e. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu (Psl 3(1) UU PPh). Ketentuannya di atur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 246/PMK.03/200840
PPh pasal 22
Pasal 22 undang-undang PPh mengatur mengenai pemungutan pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahaan barang dan adanya kegiatan di bidang impor atau kegiatan atau usaha lainnya.
Objek PPh pasal 22adalah:41
Penyerahan barang atau jasa kepada instutusi pemerintahaan.
Kegiatan impor kedalam daerah pabean.
Sedangkan Yang bukan Objek pajak PPH pasal 22 adalah:
Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan tidak terutang pajak penghasilan.
Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk, antara lain:
i.Barang perwakilan Negara asing beserta para penjabat yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbale balik;
ii.Barang untuk keperluan badan internasional beserta penjabat yang bertugas di Indonesia yang dinyatakan sebagai dubjek pajak penghasilan berdasarkan keputusan mentri keuangan.
iii.Buku ilmu pengetahuan;
iv.Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, social, atau kebudayaan.
v.Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lainnya semacam itu yang terbuka untuk umum.
vi.Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
vii.Barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat lainnya.42
PPh Pasal 23
Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.43
Objek pajak PPh pasal 23 adalah :
1. Dividen
2. Bunga
3. royalti
4. sewa selain sewa tanah/bangunan44
5. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21, antara lain:45
a. jasa konsultan
b. Jasa penilai (appraisal);
c. Jasa aktuaris;
d. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
e. Jasa perancang (design)
f. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);
g. Jasa penunjang di bidang penambangan migas;
h. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas
i. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;46
j. Jasa penebangan hutan
k. Jasa pengolahan limbah
l. Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services)
m. Jasa perantara dan/atau keagenan;
n. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga , kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI;
o. Jasa kustodian/pemyimpanan /penitipan, kecuali yang dilakukan oelh KSEI;
p. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara dan Jasa mixing film;
q. Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
s. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;47
t. Jasa perawatan/ perbaikan/ pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/ kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;48
u. Jasa penyelidikan dan keamanan;
v. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
w. Jasa pengepakan;
x. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;
y. Jasa pembasmian hama;
z. Jasa kebersihan atau cleaning service dan Jasa catering atau tata boga.
Sedangkan yang bukan termasuk Objek PPh pasal 23 adalah:49
i.Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
ii.Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
iii.Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai pajak dalam negri, koprasi, yayasan atau orhasisasi yang sejeni, badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia
iv.Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana.
v.Bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia.
vi.Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koripsi kepada anggotanya.
vii.Bunga simpanan yang tidak melebihi jumlah sebesar Rp.240.000,00 setiap bulan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.50
PPh Pasal 26
Pada dasarnya objek PPh pasal 26 sama dengan objek PPh pasal 23 hanya saja dalam PPh pasal 23 yang menerima penghasilan tersebut adalah wajib pajak luar negeri, sedangkan dalam PPh pasal 23 yang menerima pengahasilan adalah wajib pajak dalam negeri. Selain itu, sifat pemotongan PPh pasal 26 adal bersifat final(tidak dapat dikreditkan) sedangkan pemotongan Dalam PPh pasal 23 sifatnya tidak Final. (dapat dikreditkan).51
3.2Pajak pertambahan nilai
Pajak ini merupakan pajak yang dikenakan terhadap penyerahan atau import barang kena pajak atau jasa kena pajak yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak dan dapat dikenakan berkali-kali setiap pertambahan nilai dan dapat dikreditkan. Mengenai pajak ini diatur dalam undang-undang no. 8 tahun 1983 dan telah mengalami bebepara perubahan, dan perubahan terakhirnya adalah undang-undang no 42 tahun 2009, tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah.
Objek PPn diatur dalam pasal 4, pasal 16C, dan pasal 16D UU PPn, sebagai berikut :52
1.Penyerahan barang kena pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak.
2.Import barang kena pajak.
3.Penyerahan barang kena pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak.
4.Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
5.Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
6.Eksport barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak
7.Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak di lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, baik yang hasilnya akan digunakan sendiri atau digunakan oleh orang lain.
8.Penyerahan aset oleh pengusaha kena pajak yang menurut tujuan semula aset tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPn yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan yang dikreditkan.
Barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPn, adalah sebagai berikut :53
Barang yang tidak dikenakan PPn :
1.Barang hasil pertambangan atau pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya, seperti ;
a.Minyak mentah (crude oil),
b.Gas bumi,
c.Panas bumi,
d.Pasir dan kerikil,
e.Batu bara sebelum dproses menjadi briket batu bara,
f.Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak derta bijih bauksit.
2.Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak, seperti :
a.Beras,
b.Gabah,
c.Jagung,
d.Sagu,
e.Kedelai, dan
f.Garam, baik yang beryodium ataupun yang tidak beryodium.
3.Makanan yang disajikan di hotel, restauran, rumah makan, warung dan sejenisnya.
4.Uang, emas batangan dan surat-surat berharga.
Jasa yang tidak dikenakan PPn :
1.Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik,
2.Jasa di bidang pelayanan sosial,
3.Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko,
4.Jasa di bidang perbankan, asuransi, sewa guna usaha dengan hak opsi,
5.Jasa di bidang keagamaan,
6.Jasa di bidang pendidikan,
7.Jasa di bidang Kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan,
8.Jasa di bidang penyiaran yang bukan iklan,
9.Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air,
10.Jasa di bidang tenaga kerja,
11.Jasa di bidang perhotelan,
12.Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.
3.3Pajak penjualan atas barang mewah
Pajak ini dikenal dengan nama PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan atau import barang-barang berwujud yang tergolong mewah. Pajak ini hanya dikenakan sekali pada sumbernya yaitu pada pabrik atau saat import dan tidak dapat dikreditkan. Dan pajak ini dikenakan bersamaan dengan pajak pertambahan nilai, dan keduanya diatur dalam undang-undang no. 42 tahun 2009.
3.4Pajak bumi dan bangunan
Pajak ini merupakan pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek, yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Dan keadaan subjeknya tidak mempengaruhi. Sumber hukum pengenaan PBB adalah undang-undang no. 12 tahun 1985 yang diubah dengan undang-undang no 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).54
Objek pajak ini adalah:55
Bumi : permukaan bumi (tanah/perairan) dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Bangunan : konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan di wilayah Republik Indonesia.
Berikut ini adalah objek PBB yang dikecualikan56, yaitu ;
1.Objek yang semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang sosial, ibadah, pendidikan dan kebudayaan nasional dan tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan.
2.Digunakan untuk kuburan atau tempat purbakala.
3.Merupakan hutan lindung, suaka marga satwa, taman nasional dan lain-lain.
4.Dimiliki oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas timbal balik dan organisasi Internasional yang ditentukn oleh menteri keuangan.
3.5Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
Pajak ini merupakan pajak yang dikenakan atas perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan orang pribadi atau badan. Hak atas tanah ini diatur dalam undang-undang no. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. Dan kemudian mengalami perubahan pada undang-undang no 21 tahun 1997 yang kemudian diubah lagi dengan undang-undang no 20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB ).57
Objek pajak dari pajak ini adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang meliputi58 :
1.Pemindahan hak karena :
a.Jual beli,
b.Tukar-menukar,
c.Hibah,
d.Hibah wasiat,
e.Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya,
f.Penyerahan hak yang berakibat pada peralihan,
g.Penunjukan pembeli dalam lelang,
h.Pelaksanaan putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap,
i.Hadiah
2.Pemberian hak baru karena :
a.Kelanjutan pelepasan hak,
b.Di luar pelepasan hak.
Hak atas tanah meliputi : hak milik, hak guna usaha, hak bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.
Objek pajak yang tidak dikenakan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah59 :
1.Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan perlakuan timbal balik,
2.Negara untuk penyelanggaraan pemerintahan dan/atau untuk melaksanakan pembangunan guna kepentingan umum,
3.Orang atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh menteri,
4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum yang lain dengan tidak adanya perubahan nama,
5.Karena wakaf,
6.Karena warisan,
7.Untuk digunakan guna kepentingan ibadah.
3.6Bea materai
Objek pajak dari pajak ini adalah dokumen. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengendung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan pihak-pihak yang berkepentingan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengenaan Bea Materai bukanlah pada perbuatan hukumnya melainkan pada ada atau tidaknya dokumen yang dibuat untuk membuktikan adanya berbuatan itu.60
Dokumen yang dikenakan Bea Meterai adalah :
a.Surat perjanjian dan surat-surat lainnya ( a.l. Surat Kuasa, Surat Hibah, Surat Pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan/ keadaan yang bersifat perdata.
b.Akta-akta Notaris termasuk salinannya
c.Akta-akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk –rangkapnya
d.Surat yang memuat jumlah uang yaitu :
1) Yang menyebutkan penerimaan uang;
2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalan rekening bank
3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
4) Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya/sebagian telah dilunasi/ diperhitungkan.
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek
f. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan:
1. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan
2. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain/ digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula
Objek pajak bea materai yang tidak dikenakan bea meterai: 61
1. Dokumen yang berupa :
a. Surat Penyimpanan Barang
b. Konsemen
c. Surat angkutan penumpang dan barang
d. Keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c
e. Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang
f. Surat Pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
g. Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam hurup a sampai hurup f.
2. Segala bentuk ijasah
3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.
4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.
8. Surat gadai yang diberikan oleh perusahaan umum pegadaian.
9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
OBJEK PAJAK
1.Pengertian objek pajak
Dalam perpajakan, yang dimaksud dengan objek pajak yaitu apa-apa yang dikenakan pajak. Mengingat penting dan strategisnya objek pajak dalam perpajakan, baik hukum maupun akuntansi, sehingga dalam UU perpajakan Indonesia dengan tegas menyatakan apa yang menjadi objek pajak setiap jenis pajak. Untuk itu, sebagai contoh, pasal 4 Ayat (1) dan ayat (2) undang-undang pajak pengahasilan telah memberikan penegasan mengenai objek pajak penghasilan.1
Dalam website pemerintah pengurus dan pengelola pajak negara dinyatakan bahwa “Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. ”2
Secara umum, sedikit sekali pengarang buku-buku perpajakan menyebutkan dalam bukunya tentang definisi objek pajak. Erly Suandy menyebutkan secara ringkas definisi objek pajak adalah segala sesuatu yang akan dikenakan pajak.3 Dan sebagaimana telah kami singgung sebelumnya, dalam pasal 4 Undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang PPh, disebutkan tentang definisi obyek pajak penghasilan sebagaimana definisi objek pajak yang telah disebutkan oleh pemerintah pengurus pajak dalam websitenya, http://pajak.go.id.
Meskipun segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan objek yang dapat dikenakan pajak (tatsbestand), namun dalam menentukan objek tersebut (fiscus) harus jeli dan teliti, jangan sampai menimbulkan kerugian bagi wajib pajak karena suatu objek seharusnya tidak dapat dikekanakan pajak, justru berubah menjadi objek yang dapat dikenakan pajak.
Dari mekanisme aliran pertambahan kemampuan ekonomis, penghasilan yang diterima oleh Wajib pajak dapat dikatagoriakan atas 4 (empat) sumber:4
1.Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan berdasarkan hubungan kerja dan pekerjaan bebas.
2.Penghasilan dari usaha dan kegiatan
3.Penghasilan dari modal
4.Penghasilan lain-lain, seperti hadiah, pembebasan utang, dan sebagainya.5
2.Perluasan Objek Pajak
Pada dasarnya obyek pajak yang ditentukan oleh pemerintah tidaklah banyak macam ataupun jenisnya, tetapi perkembangan teknologi dan sistem keuangan menjadikan obyek pajak tersebut harus mengalami perluasan. Perluasan yang terjadi ini, dalam arti perluasan cakupan, diatur dalam peraturan perundangan yang berkaitan dengan perpajakan.
Sebagai contoh, Undang-undang No 11 Tahun 1994 maupun Undang-undang No 18 Tahun 2000, perluasan objek pajak diatur dalam pasal 4 UU PPN tahun 1984 dan mengalami perluasan yang dilakuan dengan UU No 11 tahun 1994. Pada dasarnya perluasan obyek pajak tersebut memiliki dua sifat:6
a.Bersifat Kondifikasi
Berbagai peraturan pelaksanaan dan petunjuk pelaksanan dalam banyak surat edaran Direktur Jndral Pajak yang acapkali mengatur permasalahan yang tidak pernah ditemukan dalam UU, sevara konsolidatif di masikan dalam UU No 8 1983;
1)Objek pajak berasal dari Peraturan Pelaksanaan Pasal 4 ayat (2) UU No 8 Thn 83’ pra revisi, yaitu:
a)PP No 22 Thn 1985 (jenis jasa yang atas penyerahannya terutang pajak )sejak Tgl 1 Aprl 1985 ( jasa pemborong banguna atuat barang tak bergerak)
b)PP No 28 Thn 1988 ( diperluas) sejak Tgl 1 April 1989 atas;
c)PP No 75 Thn 7991 yang memperluas objekl pajak pertambahan nilai atas penyerahaan barang kena pajak yang dilakukan didaerah Pabean dalam lingkuyangan perusahaan atau pekerjaan pedagang eceran besar terhitung 1 Aprl 1992.7
2)Perluasan pennyerahan barang kena pajak yang tidak pernah disebut dalam UU, semuala diatur hanya dalam petunjuk pelaksanaan yang dituangkan dalam beberapa surat edaran :
a)Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No: SE-28/Pj.3/1985 tgl 2 aprl 1985 (SERI PPN-41) menegaskan bahwa penyerahan barang kena pajak secara konsinyasi termasuk dalam pengertian penyerahan kena pajak.8
b)Penyerahaan barang kena pajak dari kantor pusat ke cabang dan antar cabang yang tidak memperoleh persetujuan Direktur Jendral Pajak untuk melakuakn pemusatan tempat pajak terutang, merupakan penyerahan kena pajak.
b.Bersifat Perluasan Objek
Dalam perjalanan sejarah UU PP 1984 sejak ditetapkan mulai berlaku 1 Apr 1985 oleh peraturan pemerintah No 1 Thn 1985 hingga perubahan terakhir yang berlaku mulai 1 Jan 2001 yang dilakukan dengan UU No 18 Thn 2000, Objek pajak pertambahan nilai telah mengalami beberapa kali perluasaan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 4 ayat (2) yang lama PPN dapat diberlakukan hingga penyerahan barang kena pajak yang dilakukan dalam daerah pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan pedagang eceran dan semua penyerahaan jasa kena pajak.
3.Macam-macam obyek pajak.
Banyak sekali yang dapat dimasukkan dalam kategori ini obyek pajak yang dalam bahasa jerman disebut dengan tatbestand. Dalam masyarakat terdapat banyak hal yang dapat dikenakan pajak. Pengenaan ini dapat dikarenakan keadaan, perbuatan maupun peristiwa.9 Misalnya :
Keadaan : kekayaan seseorang pada waktu tertentu atau kepemilikan atas suatu benda;
Perbuatan ; melakukan suatu transaksi, mendirikan bangunan, menerima penghasilan, dan bepergian keluar negeri;
Peristiwa : kematian, keuntungan yang diterima secara mendadak, dan segala sesuatu yang diluar kehendak seseorang atau manusia.
Selain itu, obyek pajak dapat dibedakan juga dalam kategori obyek pajak langsung dan obyek pajak tidak langsung.10 Pada pajak tak langsung, besarnya pajak yang dikenakan tidak terpengaruhi oleh keadaan wajib pajak, tetapi obyeknya saja yang menentukan. Contohnya seperti pengenaan PPN dan bea cukai. Sebaliknya, pajak langsung pengenaannya masih tergantung pada keadaan wajib pajak. Contohnya pada pajak penghasilan, dalam perhitungannya terdapat penghasilan yang tidak kena pajak, yang mana dalam penghasilan pajak ini, keadaan wajib pajak mempengaruhi besarnya penghasilan tidak kena pajak. Menikah atau tidak, memiliki anak atau tidak dan lain sebagainya inilah yang mempengaruhi besar penghasilan tidak kena pajak tersebut.
Membahas sedikit tentang pajak penghasilan, dalam hal ketentuan pemerintah tentang penghasilan tidak kena pajak, kami merasa ada ketidakadilan di dalamnya. Mengapa? Apabila kita kaji lagi, dasar pengenaan penghasilan tidak kena pajak atau yang biasa disebut dengan PTKP tidaklah sesuai dengan iklim sosiologis negara kita, terutama apabila dikaitkan dengan ketentuan Islam sebagai dasarnya.
PTKP yaitu batasan penghasilan dari orang pribadi dalam satu tahun yang tidak dikenakan pajak.11 Dalam ketentuan Undang-undang no. 36 tahun 2008, yang diberlakukan sejak januari 2009, pada pasal 7 ayat (1) ditentukan bahwa : PTKP untuk wajib pajak peibadi dalam satu tahun adalah Rp 15.840.000,00, dan terdapat tambahan sebesar Rp 1.320.000,00 untuk wajib pajak kawin, dan tambahan sebesar Rp 1.320.000,00. Dan untuk mudahnya, kami berikan gambaran contoh penghitungan PTKP sebagai berikut.
Uraian
PTKP
Tidak kawin (TK)
15.840.000
Kawin (K)
17.160.000
Kawin 1 anak (K/1)
18.480.000
Kawin 2 anak (K/2)
18.800.000
Kawin 3 anak(K/3)
21.120.000
Dari tabel diatas, bila dihitung secara matematik, maka setiap bulannya seorang suami ataupun seorang individu yang tidak menikah akan mendapat PTKP sebesar Rp 1.320.000,00 dan jumlah tersebut merupakan besar tunjangan istri selama setahun, yang apabila dihitung lagi, maka seorang istri hanya mendapat tunjangan sebesar Rp 110.000,00. Tentunya dapat kita pahami dalam logika kita bahwa dalam mekanisme perpajakan terdapat diskriminasi terhadap perempuan dan anak-anak.
Berkenaan dengan adanya sistem poligami dalam islam, dalam mekanisme PTKP istri kedua dan ketiga tidaklah masuk dalam hitungan. Bahkan apabila jumlah anak atau tanggungan sedarah kebawah ini berjumlah lebih dari 3 orang. Hal ini didasarkan pada ketentuan pemerintah yang berkenaan dengan PNS atau pegawai negeri.
Pertanyaan lainnya adalah bagaimana apabila orang tua yang menjadi tanggungan? Hal ini diijinkan dengan ketentuan bahwa orang tua tersebut telah dinyatakan tidak berpenghasilan dan tidak bekerja, dan jumlah tanggungan tersebut hanyalah sebesar 1% saja. Dan ketentuan 1% ini dapat diberlakukan pada tanggungan yang tidak mendapat tunjangan, baik pada garis keatas, maupun kebawah.
Bagaimana apabila ada saudara kita yang ada dalam tanggungan seorang wajib pajak, sebagaimana dalam masyarakat kita apabila orang tua telah tiada maka perwalian dan pertanggungannya akan jatuh pada saudara yang lebih tua atau saudara yang telah berpenghasilan. Garis keturunan kesamping ini sejauh ini tidak diakui dalam pembahasan tentang pajak penghasilan, khususnya berkaitan dengan PTKP. Dan hal ini belum dibahas dalam ketentuan perpajakan manapun di negara kita.
1.Objek pajak yang pernah berlaku di Indonesia
Berikut ini terdapat macam-macam obyek pajak yang lain, selain atas dasar alasan pengenaan dan keadaan subyek pajak, yang pernah berlaku di Indonesia.
1.1Obyek pajak penghasilan12
Pendapatan dapat dijadikan obyek pajak pendapatan (ordonansi PPd 1944, Stb. 1944 no. 17). Dalam peraturan atau ordonansi tersebut terdapat definisi pendapatan yang dinyatakan bahwa pendapatan adalah gunggungan jumlah uang atau nilai uang yang selama tahun takwim diperoleh seseorang sebagai hasil dari ;
a.Usaha dan tenaga,
b.Barang tak gerak,
c.Harta gerak,
d.Hak atas bayaran berkala.
1.2Obyek pajak perseroan13
Dalam pasal 1 dan 3 Ordonansi 1925 no. 319, ditentukan : “Dengan nama pajak perseroan dipungut pajak :
1.Dari laba yang diperoleh perseroan terbatas, perseroan komanditer,... dst. ... yang modal seluruhnya atau sebagian terbagi atas saham-saham perusahaan negara dalam bentuk apapun, perkumpulan koperasi, perkumpulan gotong royong asuransi, maatschap, firma, kongsi dan sebagainya yang berkedudukan di Indonesia.
2.Dan laba yang diperoleh perkumpulan yang modalnya tidak terbagi dalam saham-saham yang berkedudukan di Indonesia, lain dari pada perusahaan yang semata-mata ditujukan untuk kepentingan masyarakat umum,
3.Dari laba yang diperoleh badan, yang berkedudukan di Indonesia oleh suatu pendirian yang tetap. Yang berkedudukan di Indonesia... dst.”
Selanjutnya pasal 3 PPPs 1925 menentukan : “dengan laba dimaksudkan jumlah keuntungan yang diperoleh bersih, dengan nama dan bentuk apapun, dari perusahaan dan dari modal yang dipergunakan di luar perusahaan.”
1.3Obyek pajak penghasilan14
Yang dijadikan obyek pajak penghasilan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh orang pribadi atau badan, baik yang bertempat tinggal atau yang berkedudukan di Indonesia, maupun yang bertempat tinggal atau yang berkedudukan di luar negeri. Selanjutnya, penghasilan diuraikan lagi dalam pasal 4 UU PPh atau UU no 17 tahun 2000, sebagaimana yang telah kami sebutkan diatas.
Objek pajak penghasilan yang diperoleh bentuk usaha tetap (BUT), diatur dalam pasal 2 dan 3c dalam UU PPh 1984, digolongkan sebagai subjek pajak dalam negeri, berlainan dengan kebiasaan internasional. Dan pada UU PPh no 17 tahun 2000, BUT tergolong sebagai subjek pajak luar negeri.15
Pada pasal 5 ayat (1) PPh 1984, khusus yang mengatur BUT sebagai wajib pajak dalam negeri, menyatakan bahwa yang dikenakan pajak penghasilan adalah :
a.Penghasilan dari kegiatan usaha BUT tersebut (dimana saja diperoleh), dan juga penghasilan dari harta yang dikuasai atau dimilikinya (tidak pandang dimana letaknya)16;
b.Penghasilan induk atau badan lain yang bukan wajib pajak dalam negeri, yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk perusahaan tersebut, dari kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan kegiatan usaha atau penjualan barang-barang dan/atau pemberian jasa yang dilakukan oleh BUT di Indonesia, kecuali penghasilan yang disebut dalam pasal 2.17
Selanjutnya, pasal 5 ayat (2) memberikan pengecualian, yaitu penghasilan yang didapat pleh induk BUT atau oleh badan lain (yang bukan wajib pajak PPh dalam negeri) yang mempunyai hubungan istimewa dengan induk BUT tersebut, yang berupa deviden, bunga royalty dan sebagainya, yang sudah dikenakan pajak penghasilan di Indonesia berdasarkan pasal 26 UU PPh, yang tidak ada hubungannya dengan BUT di Indonesia, tidak dianggap sebagai penghasilan dari BUT tersebut. Akan tetapi biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan induk tidak pula boleh dikurangkan sebagai beban BUT, dan juga pajak yang telah dibayar oleh induk (berdasarkan pasal 26 UU PPh) tidak boleh dikreditkan dengan pajak yang menjadi beban BUT.
1.4Objek pajak kekayaan18
Pajak ini dikenakan berdasarkan Stb. 1932 no. 405, dan peraturan ini tidak diberlakukan lagi mulai 1 januari 1986.
1.5Objek pajak penjualan19
Pajak ini termasuk dalam jenis pajak tidak langsung. Dasar pengenaan pajak ini adalah undang-undang no. 19 tahun 1951, yang sudah ditiadakan dan tidak diberlakukan lagi.
1.6Objek pajak pertambahan nilai20
Objek pajak ini diatur dalam Undang-undang PPn no 8 tahun 1983, yang telah mengalami perubahan sebanyak dua kali, yaitu dengan UU no 11 tahun 1994 dan kemudian dengan UU no. 18 tahun 2000.
1.7Objek pajak rumah tangga21
Pemberlakuan pajak terhadap objek pajak ini didasarkan pada ketentuan dalam Stb. No 13 tahun 1908 yang diperbarui dengan LN no 112 tahun 1959. Dan kemudian tidak diberlakukan lagi sejak 1 Januari 1986.
1.8Objek pajak kendaraan bermotor 22
Objek pajak ini berlaku dengan berdasar kepada Stb no 718 tahun 1934. Dan pada PP no. 3 tahun 1957, pajak ini digolongkan ke dalam pajak-pajak yang oleh pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah tingkat 1.
1.9Objek bea balik nama kendaraan bermotor23
Objek yang menjadi sasaran bea balik nama kendaraan bermotor sesuai yang ditentukan dalam pasal 1 Perpu no. 27 tahun 1959, adalah: penyerah kendaraan bermotor dalam hak milik yang dilakukan di Indonesia. Dalam hal penyerahan hak milik ini, tidak dijelaskan tentang bagaimana proses penyerahan tersebut, baik melalui jual beli, hibah, dan sebagainya. Selanjutnya diberikan kepastian melalui fiksi, bahwa penguasaan kendaraan bermotor oleh yang bukan miliknya selama 12 bulan, dianggap sebagai penyerahan hak milik, kecuali jika penyerahan hak milik itu akibat dari sewa-menyewa maupun jabatan (pemegang kendaraan bermotor milik pemerintah).
1.10Objek pajak anjing dan objek pajak sepeda24
Mengenai objek pajak ini diatur dalam Lembaran Kotapraja Jakarta Raya no. 24 tahun 1959 dan Lembaran Kotapraja Jakarta Raya no. 6 tahun 1958.
Dalam ketentuan ini tidak dijelaskan secara detail tentang apa yang dimaksud “anjing” sebagai objek pajak. Demikian juga tentang sepeda. Setiap orang tentu mengetahui apa itu sepeda, yang merupakan alat angkut baik beroda dua maupun beroda tiga. Sehingga aturan ini tidak diberlakukan lagi di Indonesia maupun di Jakarta sendiri.
1.11Objek pajak jalan25
Objek pajak jalan ini diberlakukan berkenaan dengan jalan dan letaknya terhadap jalan umum maupun taman yang ada di jakarta. Hal ini terkait dengan pemeliharaan kota. Pengaturannya terdapat dalam Lembaran Kotapraja jakarta Raya no. 25 tahun 1959 yang tidak diberlakukan lagi sejak 1 januari 1986.
2.Macam-macam objek pajak berdasarkan kedudukan wajib pajak
Selanjutnya, Rochmat Sumitro dan Dewi Kania menggolongkan objek pajak dalam 3 golongan, yaitu : objek pajak wajib pajak dalam negeri, objek pajak wajib pajak luar negeri, dan objek pajak yang tercakup oleh traktat pajak.26
2.1Objek pajak wajib pajak dalam negeri
Ada beberapa jenis pajak yang memiliki wajib pajak dalam negeri, diantaranya adalah PPn, Pajak Penjualan, Pajak kendaraan bermotor dan lain sebagainya. Hal ini wajar karena objeknya harus berada di dalam negeri atau di Indonesia. Tetapi objek pajak wajib pajak dalam negeri, dikenakan pada objek pajak yang entah ada di dalam ataupun luar negeri yang dimiliki oleh wajib pajak di dalam negeri.
Pajak ini dikenakan oleh negara tempat wajib pajak itu berdomisili. Ini yang disebut dengan asas domisili. Asas ini merupakan asas mengenai pengenaan pajak yang menentukan bahwa negara tempat wajib pajak bertempat tinggal atau berkedudukan labih berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak dalam negeri yang berasal dari sumber mana saja sumber itu berada, baik sumber itu berada di dalam negeri ataupun di luar negeri. Inilah yang menyebabkan adanya azas world wide income.
2.2Objek pajak wajib pajak luar negeri
Orang atau badan yang bertempat tinggal atau yang berkedudukan di luar negeri hanya dapat dikenakan pajak di Indonesia apabila orang atau badan itu memperoleh penghasilan dari objek pajak yang ada di dalam negeri. Memang kurang beralasan apabila orang atau badan yang berada di luar negeri dikenakan pajak di Indonesia apabila ia tidak memiliki hubungan ekonomis dengan Indonesia.
Hubungan ekonomis dengan Indonesia itu ada jika ia mempunyai objek pajak yang ada di bumi Indonesia, yaitu memiliki sumber penghasilan yang ada di Indonesia, atau memiliki kekayaan berupa benda tak gerak di Indonesia. Penghasilan (objek) orang atau badan luar negeri yang diperoleh dari sumber-sumber penghasilan yang ada di Indonesia, pasti dikenakan pajak penghasilan baik secara langsung atau tidak langsung.
Penghasilan berupa laba dari perusahaan yang dilakukan di Indonesia oleh orang yang bertempat tinggal di luar negeri dikenakan kepada badan yang disebut BUT, yang dalam UU PPh dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri walaupun wajib pajak yang menerima berada di luar negeri. Kalau sumbernya harta tak gerak terletak di Indonesia, maka pajak penghasilannya dikenakan pada wakilnya atau orang yang mengurus harta tak gerak itu dengan jalan Surat Keterangan Pajak (SKP), sebab wajib pajak itu tidak berkewajiban memasukkan SPT sehingga ia tidak dapat memasukkan sendiri pajak terutangnya.
Jika sumbernya sumbernya berupa saham, obligasi atau piutang, maka deviden atau bunga yang diterima oleh orang luar negeri itu dikenakan pajak pada sumbernya dengan jalan withholding (pemotongan pajak) yang dilakukan oleh orang atau badan yang membayar hasil tersebut. Orang atau badan yang membayar hasil itu diwajibkan memotong pajak penghasilan berdasarkan ketentuan yang dimuat dalam pasal 26 UU PPh 1984. Bagi wajib pajak luar negeri berlaku azas sumber atau source principal, yaitu bahwa hanya hasil yang keluar dari sumber yang ada di Indonesia dikenakan pajak di Indonesia, di negara tempat sumber itu berada.
2.3Objek pajak yang tercakup oleh traktat pajak
Traktat pajak atau yang lazimnya disebut perjanjian pajak ganda antara dua negara atau lebih, dengan maksud mencegah pajak ganda. Maksudnya adalah untuk mencegah, menghindarkan, atau menghapuskan pajak ganda yang terjadi karena seseorang atau badan melakukan usaha di negara lain, di luar negara tempat tinggalnya atau tempat kedudukannya. Tujuan dicegahnya pajak berganda tiada lain adalah untuk meghapuskan hambatan (straint) atas lalu lintas modal, teknologi, jasa managerial skill, dan sophisticated instrument.
Objek pajak yang sering dijadikan masalah dalam traktat pajak antara lain adalah :
a.Fiscal domicile (tempat tinggal) wajib pajak,
b.Bussiness income (penghasilan perusahaan),
c.Penghasilan dari harta tak gerak,
d.Penghasilan berupa bunga, deviden, dan royalty,
e.Penghasilan dari permanent Establishment,
f.Penghasilan dari personal services, direktur, dan sebagainya,
g.Penghasilan para mahasiswa,
h.Penghasilan para olahragawan,
i.Dan lain sebagainya.
Untuk pembahasan lebih lengkap mengenai pajak yang berkaitan dengan hukum internasional ini akan dibahas pada pembahasan yang berkaitan dengan hukum pajak internasional atau yang berkaitan dengan pajak berganda internasional. Atau dapat dibaca di buku Hukum Pajak Internasional Indonesia karya Rochmat Soemitro, yang diterbitkan oleh PT. Refika Aditama, Bandung.
Dalam Pasal 1 huruf c dab huruf b lama UU PPN 1984 sebelum 1 januari 1995, pengertian barang kena pajak di rumuskan sebagai berikut:
“barang kena pajak adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak sebagai hasil proses pengelolahan barang (pabrikasi) yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini”27
Sedangkan dalam pasal 1 angka 3 dan angka 2 UU PPN tahun 1984 pengertian barang kena pajak dirumuskan sebagai berikut:
“barang kena pajak barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau berang tidak bergerak maupun barang berwujud atau tidak berwujud yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang ini”.28
Pengertian yang luas tentang barang kena pajak tersebut masih dibatasi oleh pasal 4A UU PPN 1984 yang menentukan bahwa dengan peraturan pemerintah akan ditetapkan jenis-jenis barang yang tidak dikenakan pajak. Berdasarkan UU PPN 1984. Dengan demikian maka sejak 1 januari 1995, pada prinsipnya semua barang dikenakan PPN kecuali undang-undang menetapkan sebaliknya sebagaimana ditegaskan dalam memori penjelasan pasal 1 Huruf c.29
Secara umum pemerintah Indonesia menetapkan objek pajak mencakup hal-hal berikut ini :
1. imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, seperti : gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
2.hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
3.laba usaha.
4.keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta, seperti:
5.keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
6.keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
7.keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
8.keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
9.penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
10.bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.
11.dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
12.royalti.
13.sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.
14.penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
15.keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
16.keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.
17.selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.
18.premi asuransi.
19.iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
20.tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. Hal ini dilihat dari sumber mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak.30
Selain menentukan apa-apa yang menjadi objek pajak, pemerintah juga menentukan pengecualian-pengecualian atau apa-apa yang tidak termasuk dalam objek pajak31, yaitu sebagai berikut :
1.Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak.
2.Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
3.Warisan.
4.Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.
5.Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib
Pajak atau Pemerintah.
6.Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.
7.Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
a.dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
b.bagi perseroan terbatas, BUMN/ BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
8.Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai.
9.Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
10.Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi.
11.Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh reksa dana selama lima tahun pertama sejak tanggal. pendirian atau tanggal kontrak
12.Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
a.merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dan
b.sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Dalam hal perpajakan, pengertian dividen termasuk pula:32
1.pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan dalam bentuk apapun;
2.pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah modal yang disetor;
3.pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham;
4.pembagian laba dalam bentuk saham;
5.pencatatan tambahan modal yang dilakukan tanpa penyetoran;
6.jumlah yang melebihi jumlah setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan yang bersangkutan;
7.pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetorkan, jika dalam tahun-tahun yang lampau diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah;
8.pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai penebusan tanda -tanda laba tersebut;
9.bagian laba sehubungan dengan pemilikan obligasi;
10.bagian laba yang diterima oleh pemegang polis;
11.pembagian berupa sisa hasil usaha kepada anggota koperasi;
12.pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Selanjutnya, royalty juga sering disebut dalam suatu usaha dan merupakan salah satu objek pajak. Pengertian royalti adalah imbalan sehubungan dengan penggunaan:
1.hak atas harta tak berwujud, misalnya hak pengarang, paten, merek dagang, formula, atau rahasia perusahaan;
2.hak atas harta berwujud, misalnya hak atas alat-alat industri, komersial, dan ilmu pengetahuan. Yang dimaksud dengan alat-alat industri, komersial dan ilmu pengetahuan adalah setiap peralatan yang mempunyai nilai intelektual, misalnya peralatan-peralatan yang digunakan di beberapa industri khusus seperti anjungan pengeboran minyak (drilling rig), dan sebagainya
3.informasi, yaitu informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin belum dipatenkan, misalnya pengalaman di bidang industri, atau bidang usaha lainnya. Ciri dari informasi dimaksud adalah bahwa informasi tersebut telah tersedia sehingga pemiliknya tidak perlu lagi melakukan riset untuk menghasilkan informasi tersebut. Tidak termasuk dalam pengertian informasi di sini adalah informasi yang diberikan oleh misalnya akuntan publik, ahli hukum, atau ahli teknik sesuai dengan bidang keahliannya, yang dapat diberikan oleh setiap orang yang mempunyai latar belakang disiplin ilmu yang sama.
3.Macam-macam objek pajak berkenaan dengan macam-macam pajak yang berlaku di Indonesia saat ini.
Setelah membahas tentang beberapa macam objek pajak yang ada di Indonesia dan apa saja yang termasuk objek pajak dan tidak termasuk objek pajak secara umum, berikut ini kami akan memberikan paparan tentang macam-macam pajak berkenaan dengan macam-macam pajak yang berlaku di Indonesia hingga saat ini.
3.1Objek pajak penghasilan
Objek PPh adalah penghasilan. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah Pengertian pengahasilan Menurut UU PPh adalah”Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menanmbahkan kekayaan Wajib pajak yang bersangkuta, dengan nama dan dalam bentuk apapun.”,maka undang-undang PPh m,engatur lebih rinci pembagian objek pajak yang diatur dalam pasal-pasal yang menyebutkan lebih popular dengan menyebutkan menurut pasal yang menegaturnya, yaitu sebagai berikut:33
PPh Pasal 21
Adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.34
a)Pemotong PPh Pasal 21 adalah :
a. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan.
b. Bendahara pemerintah baik Pusat maupun Daerah
c. Dana pensiun atau badan lain seperti Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), PT Taspen, PT ASABRI.
d. Perusahaan dan bentuk usaha tetap.
e. Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
f. Penyelenggara kegiatan.
b)Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21
a. Pegawai tetap.
b. Tenaga lepas (seniman, olahragawan, penceramah, pemberi jasa, pengelola proyek, peserta perlombaan, petugas dinas luar asuransi), distributor MLM/direct selling dan kegiatan sejenis.35
c. Penerima pensiun, mantan pegawai, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
d. Penerima honorarium.
e. Penerima upah.
f. Tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan Aktuaris).
g. Peserta Kegiatan.
c)Penerima Penghasilan yang tidak dipotong PPh Pasal 21
a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat:
- bukan warga negara Indonesia dan
- di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
b. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan sepanjang bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.36
d)Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara teratur berupa gaji,uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transpot, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, bea siswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun;37
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap;
c. upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan atau pemagangan yang merupakan calon pegawai;
d. uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, uang pesangon dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja;
e. honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, terdiri dari :38
1. tenaga ahli (Pengacara, Akuntan, Arsitek, Dokter, Konsultan, Notaris, Penilai, dan Aktuaris)
2. pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/ peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
3. olahragawan;
4. penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
5. pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial;
7. agen iklan;
8. pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, dan peserta sidang atau rapat;
9. pembawa pesanan atau yang menemukan langganan;
10. peserta perlombaan;
11. petugas penjaja barang dagangan;
12. petugas dinas luar asuransi;
13. peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan sebagai calon pegawai;
14. distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
f. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji dan honorarium atau imbalan lain yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya.39
e)Yang tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :
a. pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan,asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
b. penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan Wajib Pajak selain Pemerintah, atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
c. iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja;
d. zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
e. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu (Psl 3(1) UU PPh). Ketentuannya di atur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 246/PMK.03/200840
PPh pasal 22
Pasal 22 undang-undang PPh mengatur mengenai pemungutan pajak sehubungan dengan pembayaran atas penyerahaan barang dan adanya kegiatan di bidang impor atau kegiatan atau usaha lainnya.
Objek PPh pasal 22adalah:41
Penyerahan barang atau jasa kepada instutusi pemerintahaan.
Kegiatan impor kedalam daerah pabean.
Sedangkan Yang bukan Objek pajak PPH pasal 22 adalah:
Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan tidak terutang pajak penghasilan.
Impor barang yang dibebaskan dari bea masuk, antara lain:
i.Barang perwakilan Negara asing beserta para penjabat yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbale balik;
ii.Barang untuk keperluan badan internasional beserta penjabat yang bertugas di Indonesia yang dinyatakan sebagai dubjek pajak penghasilan berdasarkan keputusan mentri keuangan.
iii.Buku ilmu pengetahuan;
iv.Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, social, atau kebudayaan.
v.Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, dan tempat lainnya semacam itu yang terbuka untuk umum.
vi.Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
vii.Barang untuk keperluan khusus kaum tuna netra dan penyandang cacat lainnya.42
PPh Pasal 23
Pajak Penghasilan Pasal 23 merupakan Pajak Penghasilan yang dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21, yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, Bentuk Usaha Tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya.43
Objek pajak PPh pasal 23 adalah :
1. Dividen
2. Bunga
3. royalti
4. sewa selain sewa tanah/bangunan44
5. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh pasal 21, antara lain:45
a. jasa konsultan
b. Jasa penilai (appraisal);
c. Jasa aktuaris;
d. Jasa akuntansi, pembukuan, dan atestasi laporan keuangan;
e. Jasa perancang (design)
f. Jasa pengeboran (drilling) di bidang penambangan minyak dan gas bumi (migas), kecuali yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap (BUT);
g. Jasa penunjang di bidang penambangan migas;
h. Jasa penambangan dan jasa penunjang di bidang penambangan selain migas
i. Jasa penunjang di bidang penerbangan dan bandar udara;46
j. Jasa penebangan hutan
k. Jasa pengolahan limbah
l. Jasa penyedia tenaga kerja (outsourcing services)
m. Jasa perantara dan/atau keagenan;
n. Jasa di bidang perdagangan surat-surat berharga , kecuali yang dilakukan oleh Bursa Efek, KSEI dan KPEI;
o. Jasa kustodian/pemyimpanan /penitipan, kecuali yang dilakukan oelh KSEI;
p. Jasa pengisian suara (dubbing) dan/atau sulih suara dan Jasa mixing film;
q. Jasa sehubungan dengan software computer, termasuk perawatan, pemeliharaan dan perbaikan;
s. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;47
t. Jasa perawatan/ perbaikan/ pemeliharaan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, TV kabel, alat transportasi/ kendaraan dan/atau bangunan, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/atau sertifikasi sebagai pengusaha konstruksi;48
u. Jasa penyelidikan dan keamanan;
v. Jasa penyelenggara kegiatan atau event organizer;
w. Jasa pengepakan;
x. Jasa penyediaan tempat dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang atau media lain untuk penyampaian informasi;
y. Jasa pembasmian hama;
z. Jasa kebersihan atau cleaning service dan Jasa catering atau tata boga.
Sedangkan yang bukan termasuk Objek PPh pasal 23 adalah:49
i.Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
ii.Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;
iii.Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai pajak dalam negri, koprasi, yayasan atau orhasisasi yang sejeni, badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia
iv.Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana.
v.Bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia.
vi.Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koripsi kepada anggotanya.
vii.Bunga simpanan yang tidak melebihi jumlah sebesar Rp.240.000,00 setiap bulan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.50
PPh Pasal 26
Pada dasarnya objek PPh pasal 26 sama dengan objek PPh pasal 23 hanya saja dalam PPh pasal 23 yang menerima penghasilan tersebut adalah wajib pajak luar negeri, sedangkan dalam PPh pasal 23 yang menerima pengahasilan adalah wajib pajak dalam negeri. Selain itu, sifat pemotongan PPh pasal 26 adal bersifat final(tidak dapat dikreditkan) sedangkan pemotongan Dalam PPh pasal 23 sifatnya tidak Final. (dapat dikreditkan).51
3.2Pajak pertambahan nilai
Pajak ini merupakan pajak yang dikenakan terhadap penyerahan atau import barang kena pajak atau jasa kena pajak yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak dan dapat dikenakan berkali-kali setiap pertambahan nilai dan dapat dikreditkan. Mengenai pajak ini diatur dalam undang-undang no. 8 tahun 1983 dan telah mengalami bebepara perubahan, dan perubahan terakhirnya adalah undang-undang no 42 tahun 2009, tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah.
Objek PPn diatur dalam pasal 4, pasal 16C, dan pasal 16D UU PPn, sebagai berikut :52
1.Penyerahan barang kena pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak.
2.Import barang kena pajak.
3.Penyerahan barang kena pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan oleh pengusaha kena pajak.
4.Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
5.Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
6.Eksport barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak
7.Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak di lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, baik yang hasilnya akan digunakan sendiri atau digunakan oleh orang lain.
8.Penyerahan aset oleh pengusaha kena pajak yang menurut tujuan semula aset tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPn yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan yang dikreditkan.
Barang dan jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPn, adalah sebagai berikut :53
Barang yang tidak dikenakan PPn :
1.Barang hasil pertambangan atau pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya, seperti ;
a.Minyak mentah (crude oil),
b.Gas bumi,
c.Panas bumi,
d.Pasir dan kerikil,
e.Batu bara sebelum dproses menjadi briket batu bara,
f.Bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak derta bijih bauksit.
2.Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat banyak, seperti :
a.Beras,
b.Gabah,
c.Jagung,
d.Sagu,
e.Kedelai, dan
f.Garam, baik yang beryodium ataupun yang tidak beryodium.
3.Makanan yang disajikan di hotel, restauran, rumah makan, warung dan sejenisnya.
4.Uang, emas batangan dan surat-surat berharga.
Jasa yang tidak dikenakan PPn :
1.Jasa di bidang pelayanan kesehatan medik,
2.Jasa di bidang pelayanan sosial,
3.Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko,
4.Jasa di bidang perbankan, asuransi, sewa guna usaha dengan hak opsi,
5.Jasa di bidang keagamaan,
6.Jasa di bidang pendidikan,
7.Jasa di bidang Kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan,
8.Jasa di bidang penyiaran yang bukan iklan,
9.Jasa di bidang angkutan umum di darat dan di air,
10.Jasa di bidang tenaga kerja,
11.Jasa di bidang perhotelan,
12.Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum.
3.3Pajak penjualan atas barang mewah
Pajak ini dikenal dengan nama PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan atau import barang-barang berwujud yang tergolong mewah. Pajak ini hanya dikenakan sekali pada sumbernya yaitu pada pabrik atau saat import dan tidak dapat dikreditkan. Dan pajak ini dikenakan bersamaan dengan pajak pertambahan nilai, dan keduanya diatur dalam undang-undang no. 42 tahun 2009.
3.4Pajak bumi dan bangunan
Pajak ini merupakan pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek, yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Dan keadaan subjeknya tidak mempengaruhi. Sumber hukum pengenaan PBB adalah undang-undang no. 12 tahun 1985 yang diubah dengan undang-undang no 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).54
Objek pajak ini adalah:55
Bumi : permukaan bumi (tanah/perairan) dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Bangunan : konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan di wilayah Republik Indonesia.
Berikut ini adalah objek PBB yang dikecualikan56, yaitu ;
1.Objek yang semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang sosial, ibadah, pendidikan dan kebudayaan nasional dan tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan.
2.Digunakan untuk kuburan atau tempat purbakala.
3.Merupakan hutan lindung, suaka marga satwa, taman nasional dan lain-lain.
4.Dimiliki oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas timbal balik dan organisasi Internasional yang ditentukn oleh menteri keuangan.
3.5Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
Pajak ini merupakan pajak yang dikenakan atas perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan orang pribadi atau badan. Hak atas tanah ini diatur dalam undang-undang no. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. Dan kemudian mengalami perubahan pada undang-undang no 21 tahun 1997 yang kemudian diubah lagi dengan undang-undang no 20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ( BPHTB ).57
Objek pajak dari pajak ini adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang meliputi58 :
1.Pemindahan hak karena :
a.Jual beli,
b.Tukar-menukar,
c.Hibah,
d.Hibah wasiat,
e.Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya,
f.Penyerahan hak yang berakibat pada peralihan,
g.Penunjukan pembeli dalam lelang,
h.Pelaksanaan putusan hakim yang memiliki kekuatan hukum tetap,
i.Hadiah
2.Pemberian hak baru karena :
a.Kelanjutan pelepasan hak,
b.Di luar pelepasan hak.
Hak atas tanah meliputi : hak milik, hak guna usaha, hak bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.
Objek pajak yang tidak dikenakan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah59 :
1.Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan perlakuan timbal balik,
2.Negara untuk penyelanggaraan pemerintahan dan/atau untuk melaksanakan pembangunan guna kepentingan umum,
3.Orang atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh menteri,
4. Orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum yang lain dengan tidak adanya perubahan nama,
5.Karena wakaf,
6.Karena warisan,
7.Untuk digunakan guna kepentingan ibadah.
3.6Bea materai
Objek pajak dari pajak ini adalah dokumen. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengendung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan pihak-pihak yang berkepentingan. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengenaan Bea Materai bukanlah pada perbuatan hukumnya melainkan pada ada atau tidaknya dokumen yang dibuat untuk membuktikan adanya berbuatan itu.60
Dokumen yang dikenakan Bea Meterai adalah :
a.Surat perjanjian dan surat-surat lainnya ( a.l. Surat Kuasa, Surat Hibah, Surat Pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan/ keadaan yang bersifat perdata.
b.Akta-akta Notaris termasuk salinannya
c.Akta-akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk –rangkapnya
d.Surat yang memuat jumlah uang yaitu :
1) Yang menyebutkan penerimaan uang;
2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalan rekening bank
3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
4) Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya/sebagian telah dilunasi/ diperhitungkan.
e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek
f. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan:
1. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan
2. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain/ digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula
Objek pajak bea materai yang tidak dikenakan bea meterai: 61
1. Dokumen yang berupa :
a. Surat Penyimpanan Barang
b. Konsemen
c. Surat angkutan penumpang dan barang
d. Keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c
e. Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang
f. Surat Pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim
g. Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam hurup a sampai hurup f.
2. Segala bentuk ijasah
3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.
4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
7. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.
8. Surat gadai yang diberikan oleh perusahaan umum pegadaian.
9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
objek pajak dan pemeriksaan di bidang pajak 1
BAB I
PENDAHULUAN
1Latar Belakang
Usaha adalah suatu kegiatan yang dilakukan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Maka sudah pasti seseorang yang memiliki keinginan atau tujuan yang diupayakan pencapaiannya akan melakukan usaha. Dan dalam hasil usaha inilah terdapat unsur-unsur perpajakan di dalamnya. Meskipun dalam hal ini tidak semua penghasilan dapat dikenakan pajak.
Salah satu unsur dari tiga unsur penting perpajakan adalah yang disebut dengan obyek pajak. Mengingat besarnya pemasukan dari APBD maupun APBN yang bersumber dari pajak, maka selayaknya setiap kalangan ekonom maupun hukum mengenal seluk beluk perpajakan dan sistemnya di negara kita ini. Mengingat adanya ketentuan pemerintah tentang keterbukaan layanan dan informasi yang kita kenal dengan istilah “open management system” maka adalah hak kita untuk mengetahui secara rinci tentang informasi apapun dengan batasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundangan.
Mengingat bahwa kita termasuk dalam komponen subyek pajak, maka haruslah ada transparansi perpajakan terutama berkaitan dengan pajak yang dibebankan kepada kita. Dan apa-apa saja yang menjadi alasan adanya pajak yang dikenakan kepada kita ataupun kepada individu atau lembaga, itulah yang kemudian disebut dengan obyek pajak.
Maka disini perlu kita ketahui tentang apa itu obyek pajak yang sebenarnya dan apa saja ynag termasuk dalam lingkup obyek pajak. Dan pengkajian dan pembahasannya akan kami paparkan dalam pembahasan kami berikut ini.
2.Rumusan Masalah
1.Apakah objek pajak?
2.Apa saja yang termasuk Objek Pajak dan bagaimana landasan hukumnya?
3.Bagaimana pemeriksaan perpajakan di Indonesia?
4.Tujuan Pembahasan
1.Mengetahui apa yang dimaksud dengan Objek Pajak
2.Mengetahui macam-macam Objek Pajak dan peraturan terkait obyek pajak tersebut.
3.Mengetahui mekanisme dan peraturan pelaksana pemeriksaan pajak di Indonesia.
PENDAHULUAN
1Latar Belakang
Usaha adalah suatu kegiatan yang dilakukan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Maka sudah pasti seseorang yang memiliki keinginan atau tujuan yang diupayakan pencapaiannya akan melakukan usaha. Dan dalam hasil usaha inilah terdapat unsur-unsur perpajakan di dalamnya. Meskipun dalam hal ini tidak semua penghasilan dapat dikenakan pajak.
Salah satu unsur dari tiga unsur penting perpajakan adalah yang disebut dengan obyek pajak. Mengingat besarnya pemasukan dari APBD maupun APBN yang bersumber dari pajak, maka selayaknya setiap kalangan ekonom maupun hukum mengenal seluk beluk perpajakan dan sistemnya di negara kita ini. Mengingat adanya ketentuan pemerintah tentang keterbukaan layanan dan informasi yang kita kenal dengan istilah “open management system” maka adalah hak kita untuk mengetahui secara rinci tentang informasi apapun dengan batasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundangan.
Mengingat bahwa kita termasuk dalam komponen subyek pajak, maka haruslah ada transparansi perpajakan terutama berkaitan dengan pajak yang dibebankan kepada kita. Dan apa-apa saja yang menjadi alasan adanya pajak yang dikenakan kepada kita ataupun kepada individu atau lembaga, itulah yang kemudian disebut dengan obyek pajak.
Maka disini perlu kita ketahui tentang apa itu obyek pajak yang sebenarnya dan apa saja ynag termasuk dalam lingkup obyek pajak. Dan pengkajian dan pembahasannya akan kami paparkan dalam pembahasan kami berikut ini.
2.Rumusan Masalah
1.Apakah objek pajak?
2.Apa saja yang termasuk Objek Pajak dan bagaimana landasan hukumnya?
3.Bagaimana pemeriksaan perpajakan di Indonesia?
4.Tujuan Pembahasan
1.Mengetahui apa yang dimaksud dengan Objek Pajak
2.Mengetahui macam-macam Objek Pajak dan peraturan terkait obyek pajak tersebut.
3.Mengetahui mekanisme dan peraturan pelaksana pemeriksaan pajak di Indonesia.
Rabu, 13 Oktober 2010
prinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum pengangkutan
BAB I
Pendahuluan
Latar belakang
Kata pengangkutan berasal dari kata “angkut” yang artinya bawa atau muat dan kirimkan. Jadi pengangkutan diartikan sebagai pengangkutan dan pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman barang atau orang, barang atau orang yang diangkut dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan selamat, walaupun demikian diperlukan suatu alat sebagai sarana pengangkut. Selain itu banyak para sarjana yang mengemukakan pendapatnya megenai pengertian pengangkutan antara lain :
Menurut HMN. Poerwosutjipto mengatakan bahwa :
“ Pengangkutan adalah perjanjian timbal-balik antara pengangkut dengan pengirim dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari satu tempat ke tempat tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan”1
Sedangkan Abdul Kadir Muhammad mengatakan bahwa :
“Pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang atau penumpang kedalam pengangkutan, membawa barang atau penumpang dari tempat pemuatan ke tempat tujuan dan menurunkan barang atau penumpang dari alat pengangkut ke tempat yang ditentukan”.2
Menurut Sution Usma Adji, bahwa pengangkutan adalah3:
”Sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari tempat tujuan tertentu dengan selamat tanpa berkurang jumlah dari barang yang dikirimkan, sedangkan pihak lainnya (pengirim atau penerima) berkeharusan memberikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut.”
Dalam menyelenggarakan pengangkutan harus memperhatikan azas-azas hukum pengangkutan, yang dalam hal ini terdiri dari dua macam azas, yaitu :
1.Azas yang bersifat publik, yaitu:
a.Azas manfaat
b.Azas usaha bersama
c.Azas adil dan merata
d.Azas seimbang
e.Azas kepentingan umum
f.Azas keterpaduan
g.Azas kesadaran hukum
h.Azas percaya pada diri sendiri
i.Azas keselamatan penumpang
2.Azas yang bersifat perdata, yaitu :
a.Azas konsensual
b.Azas koordinatif
c.Azas campuran
d.Azas pembuktian dengan dokumen
Berdasarkan pada asas-asas yang ada dalam hukum pengangkutan, maka ada hubungan timbal balik antara pengangkut dan pengirim, yaitu hubungan hak dan kewajiban. Dan sebagai pihak perantara sampainya barang kepada penerima, maka pengangkut memiliki tanggung jawab tertentu terhadap sesuatu (barang atau orang) yang dipercayakan kepadanya oleh pengirim untuk disampaikan kepada penerima.
Rumusan masalah
1.Apakah kewajiban pengangkut dalam hukum bengangkutan?
2.Prinsip apakah yang berkenaan dengan tanggung jawab pengangkut terhadap sesuatu yang diangkutnya?
Tujuan pembahasan
1.Mengetahui kewajiban-kewajiban pengangkut secara umum dalam hukum pengangkutan.
2.Mengetahui dan memahami prinsip-prinsip pertanggung jawaban pengangkut dalam hukum pengangkutan.
BAB II
Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan
Dari perikatan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim barang, timbul suatu hukum yang saling mengikat antara para pihak yang terkait dalam perikatan tersebut. Adapun hukum yang mengikat tersebut adalah berupa hak dan kewajiban. Dan pada makalah ini, kami menitikberatkan pada pembahasan tentang tanggung jawab yang berkenaan dengan pengangkut atas barang angkutannya.
Kewajiban-kewajiban pengangkut pada umumnya antara lain adalah4 :
1.Mengangkut penumpang atau barang-barang ke tempat tujuan yang telah ditentukan.
2.Menjaga keselamatan, keamanan penumpang, bagasi barang dengan sebaik-baiknya.
3.Memberi tiket untuk pengangkutan penumpang dan tiket bagasi.
4.Menjamin pengangkutan tepat pada waktunya.
5.Mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Dari bahasan diatas, dapat dipahami tentang adanya unsur tanggung jawab pengangkut atas sesuatu yang diangkutnya tersebut. Dalam KUHD, pertanggungjawaban pengankut diatur dalam pasal 468. Pada ayat (1), dinyatakan bahwa pengangkut wajib menjamin keselamatan barang dari saat diterimanya hingga saat diserahkannya. Pada ayat (2) dijelaskan tentang penggantirugian atas barang dan ketentuannya, dan pada ayat (3), bahwa pengangkut bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh awaknya dan atas alat-alat yang digunakannya dalam pengangkutan.
Drs. Suryatin, dalam bukunya Hukum Dagang I dan II (Pradnya Paramita, 1983, hal 223-225) tentang pertanggungan jawab adalah sebagai berikut5 ;
Oleh karena dalam ayat (2) disebutkan “tidak dapat dicegah maupun dihindarkan secara layak”, maka harus dipertimbangkan apakah kerugian-kerugian yang diderita tadi dapat dicegah atau dihindarkan atau tidak, menurut daya kemampuan si pengangkut. Dan adanya perkataan “secara layak”, maka pertanggungjawaban si pengankut tergantung pada keadaan dan/atau kejadian yang tidak dapat dipastikan terlebih dahulu. Sehingga pertanggungjawabannya merupakan pertanggungjawaban secara relatif.
Berbeda dengan ayat (3), yang merupakan suatu pertanggungjawaban secara mutlak. Dan si pengangkut harus menyelidiki kemampuan pekerjanya dan alat yang akan digunakannya. Dan apabila terjadi pencurian barang sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 469 KUHD, maka pengangkut hanya bertanggung jawab kalau ia diberitahu akan sifat dan harga barang sebelum diserahkan atau pada waktu diserahkan. Hal ini bertujuan agar pengangkut dapat mengetahui berat-ringan resiko yang dibebankan kepadanya.
Ketentuan pada pasal 469 KUHD ini dikuatkan oleh pasal 470, dimana ditentukan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab apabila ia diberi keterangan yang tidak benar tentang sifat dan harga barang yang bersangkutan. Berkaitan dengan tanggungjawabnya, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 468 KUHD, maka dalam pasal 470 KUHD si pengangkut tidak dibenarkan untuk mengadakan perjanjian untuk mengurangi atau menghapuskan tanggung jawabnya. Dalam pasal ini juga ditekankan bahwa pengangkut dapat diberi keringanan berkenaan dengan besarnya resiko yang menjadi bebannya.
Sungguhpun pengangkut dapat mengurangi pertanggungjawabannya, namun perjanjian semacam itu tidak dapat berlaku, bila ternyata kerugian tersebut terjadi atas kelalaian pengangkut atau bawahan-bawahannya, sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 471 KUHD.
Dari bahasan diatas, tentu ada acuan dasar pertanggungjawaban pengangkut terhadap sesuatu yang diangkut olehnya. Maka berikut ini akan dikaji tentang prinsip-prinsip dalam pertanggungjawaban pengangkut dalam hukum Transportasi.
Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Pengangkut
Dalam hukum pengangkutan dikenal adanya lima prinsip tanggung jawab pengangkut yaitu:
1.Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liabelity)
2.Tanggung Jawab Atas Dasar Kesalahan (Based on Fault or Negligence)
3.Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)
4.Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut (Limitation of Libelity)
5.Presumtion of Non Liability
a.Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liability)
Menurut prinsip ini, ditekankan bahwa selalu bertanggung jawab6 atas setiap kerugian yang timbul pada pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi kerugian itu.
Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.7 Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan.
Prinsip ini hanya dijumpai dalam 86 ayat 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang menyatakan8:
“jika perusahaan angkutan perairan dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud aya 1 huruf b: musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut; c. Keterlambatan angkutan penumpang, dan atau barang yang diangkut; d. Kerugian pihak ketiga bukan disebabkan oleh kesalahannya, maka dia dapat dibebaskan sebagian atau seluruh dari tanggung jawabnya. Walaupun hanya terdapat pada pengangkutan perairan, bukan berarti pada pengangkutan darat dan pengangkutan udara tidak dibolehkan. Dalam perjanjian pengangkutan, perusahaan angkutan dan pengirim boleh menjanjikan prinsip tanggung jawab praduga, biasanya dirumuskan dengan “(kecuali jika perusahaan angkutan dapat membuktikan bahwa kerugian itu dapat karena kesalahannya)”.
Dalam KUHD juga menganut prinsip tanggung jawab karena praduga bersalah. Dalam ketentuan pasal 468 ayat 2 KUHD yaitu, “apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan sebagian atau seluruhnya atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim, kecuali dia dapat membuktikan bahwa diserahkan sebagian atau seluruh atau rusaknya barang itu karena peristiwa yang tidak dapat dicegah atau tidak dapat dihindari terjadinya.”
Dengan demikian jelas bahwa dalam hukum pengangkutan di Indonesia, prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga bersalah keduanya dianut. Tetapi prinsip tanggung jawab karena kesalahan adalah asas, sedangkan prinsip tanggung jawab karena praduga adalah pengecualian, artinya pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam penyelenggaraan pengangkutan, tetapi jika pengangkut berhasil membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau lalai, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab.
Beberapa pasal dalam Undang-undang Pengangkutan Tahun 1992 yang mengatur tentang prinsip tanggung jawab praduga bersalah adalah:
1.Pasal 45 UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang Angukutan Lalu Lintas Jalan.
2.Pasal 28 ayat 1, 2 UU Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkereta Apian.
3.Pasal 43 ayat 1b dan pasal 44 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
b.Tanggung Jawab atas Dasar Kesalahan (Based on Fault or Negligence)
Dapat dipahami, dalam prinsip ini jelas bahwa setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam penyelenggaraan pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang dirugikan wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.9 Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan.
Dalam KUHD, prinsip ini juga dianut, tepatnya pada pasal 468 ayat (2). Pada pengangkutan di darat yang menggunakan rel kereta api, tanggung jawab ini ditentukan dalam pasal 28 UU nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pada pengangkutan di darat yang melalui jalan umum dengan kendaraan bermotor, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 28, pasal 29, pasal 31 dan pasal 45 UU nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan.
Pada pengangkutan di laut dengan menggunakan kapal, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 86 UU nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Dan berkaitan dengan angkutan udara, prinsip ini dapat ditemukan dalam pasal 43-45 Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1995 tentang pengangkutan udara.10
c.Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)
Pada prinsip ini, titik beratnya adalah pada penyebab bukan kesalahannya. Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tdaknya kesalahan pengangkut.
Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu.prinsip ini dapat dapat dirumuskan dengan kalimat: pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini.
Dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab mutlak tidak diatur, mungkin karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha dibidang jasa angkutan tidak perlu di bebani dengan resiko yang terlalu berat. Akan tetapi tidak berarti bahwa pihak-pihak tidak boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan. Para pihak boleh saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip ini digunakan maka dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya pada dokumen pengangkutan.
d.Pembatasan tanggung jawab pengangkut (limitation of liability)
Bila jumlah ganti rugi sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 468 KUHD itu tidak dibatasi, maka ada kemungkinan pengangkut akan menderita rugi dan jatuh pailit. Menghindari hal ini,, maka undang-undang memberikan batasan tentang ganti rugi. Jadi, pembatasan ganti rugi dapat dilakukan oleh pengangkut sendiri dengan cara mengadakan klausula dalam perjanjian pengangkutan, konosemen atau charter party, dan oleh pembentuk undang-undang. Hal ini diatur dalam pasal 475, 476 dan pasal 477 KUHD.11
Mengenai pembatasan tanggung jawab pengangkut dalam angkutan udara, diatur dalam pasal 24 ayat (2), pasal 28, pasal 29 ayat (1) dan pasal 33 Ordonansi Pengangkutan Udara. Pasal 30 merupakan pembatasan tanggung jawab yaitu banwa tanggung jawab pengangkut udara dibatasi sampai jumlah Rp.12.500,- per penumpang. Pasal 24 merupakan pembatasan siapa-siapa saja yang berhak menerima ganti rugi, yang dalam hal ini adalah : Suami/istri dari penumpang yang tewas,Anak atau anak-anaknya dari si mati Orang tua dari si mati. Pasal 28 menentuk in bahwa pengangkut udara tidak bertanggung jawab dalam hal kelambatan, pasal ini berbunyi “Jika tidak ada persetujuan Ijin, maka pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi dan barang”.
Satu pasal lain mengenai pembatasan tanggung jawab pihak pengangkut adalah pasal 33, dimana pasal tersebut menentukan gugatan mengenai tanggung jawab atas dasar apapun juga hanya dapat diajukan dengan syarat-syarat dan batas-batas seperti yang dimaksudkan dalam peraturan ini.
Dengan terbatasnya gugatan mengenai tanggung jawab dari pihak pengangkut, maka terbatas pula tanggung jawab pihak pengangkut. Pembebasan Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara yang memuat ketentuan mengenai pembebasan adalah pasal 1 ayat (1), pasal 29 avat (1) dan pasal 36. Pasal 36 menemukan bahwa pengangkut bebas dari tanggungjawabnya dalam hal setelah dua tahun penumpang yang menderita kerugian tidak mengajukan tuntutannya.
Pasal 36 berbunyi “Gugatan mengenai tanggung jawab pengangkut harus diajukan dalam jangka waktu dua tahun terakhir mulai saat tibanya di tempat tujuan, atau mulai dari pesawat Udara seharusnya tiba, atau mulai pengangkutan Udara diputuskan jika tidak ada hak untuk menuntut dihapus.
Selain itu ada hal-hal yang membuat pengangkut tidak bertanggung jawab apabila timbul suatu keadaan yang sama sekali tidak diduga sebelumnya, contohnya adalah sebagai berikut : bahaya perang, sabotase, kebakaran, kerusuhan, kekacauan dalam negeri. Asuransi tanggung jawab dibidang pengangkutan udara didasarkan atas prinsip terjadinya peristiwa asuransi tersebut karena mencakup kerugian-kerugian yang terjadi selama jangka waktu asuransi dan dilandasi kerugian yang paling dekat berdasar atas produk yang keliru.
Pada Undang-undang No 1 tahun 2009 pengaturan mengenai tanggung jawab pengangkut dapat dilihat pada pasal 141 – 147.
Pasal 141
(1)Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.
(2)Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.
Aturan ini menggunakan Prinsip Tanggung jawab Mutlak (Strict Liability) , dimana pada ayat tersebut disebutkan bahwa pengangkut dikenai tanggung jawab tanpa melihat ada tau tidaknya kesalahan yang dari pengangkut.
Pada Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, pengangkut masih dapat menyangkal keharusan bertanggung jawab asal dapat membuktikan bahwa pengangkut telah mengambil tindakan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa pengangkut tidak mungkin untuk mengambil tindakan tersebut. Hal ini menggambarkan prinsip atas dasar Praduga, seperti yang disebut dalam pasal 24 ayat (1), 25 ayat (1), 28 dan 29 OPU; Pengangkut tidak bertanggungjawab untuk kerugian, apabila:
1.ia dapat membuktikan bahwa ia dan semua buruhnya telah mengambil segala tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian;
2.ia dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin mengambil tindakan pencegahan itu;
3.kerugian itu disebabkan oleh kesalahan yang menderita itu sendiri;
4.kesalahan penderita kerugian membantu terjadinya kerugian itu
Dari penjelasan diatas, aturan mengenai tanggung jawab tadi merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi para pihak khususnya pengguna jasa angkutan udara. Tanggung jawab yang ditegaskan dalam undang-undang tadi akan meningkatkan kualitas dalam pemberian kenyamanan, pelayanan serta keselamatan bagi penumpang. Artinya secara normatif perlindungan hukum bagi penumpang telah ada, tinggal bagaimana pelaksanaan dari aturan tadi.12
e.Presumtion of non Liability
Dalam prinsip ini, pengangkut dianggap tidak memiliki tanggung jawab.13 Dalam hal ini, bukan berarti pengangkut membebaskan diri dari tanggung jawabnya ataupun dinyatakan bebas tanggungan atas benda yang diangkutnya, tetapi terdapat pengecualian-pengecualian dalam mempertanggungjawabkan suatu kejadian atas benda dalam angkutan. Pengaturan ini ditetapkan dalam :
1. pasal 43 ayat 1 b UU penerbangan
2. pasal 86 UU pelayaran
daftar pustaka
Abdul Kadir Muhammad, 2008. Hukum Pengangkutan Niaga, cet 4Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
Abdul Kadir Muhammad. 1991. Hukum Pengangkut Darat, laut dan Udara, (Jakarta : Cipta Aditya Bahkti
H.M.N Purwosutjipto. 2000. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5. Cet. 5. Jakarta : Penerbit Djambatan
http://akubukanmanusiapurba.blogspot.com/2010/07/perlindungan-hukum-bagi-pengguna-jasa.html diakses pada 10 Oktober 2010
http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-pengangkutan/pengangkutan-udara-dengan-asuransi/ diakses pada 10 Oktober 2010
Musa Taklima, Pengertian, Fungsi Dan Kegunaan Pengangkutan. Disampaikan dalam perkuliahan pertama hukum pengangkutan dan transportasi hukum bisnis syariah tanggal 22 september 2010
Rahayu Hartini. 2007. Hukum Pengangkutan, Pengangkutan Darat Melalui Jalan Umum dan Kereta Api, Pengangkutan Laut Serta Pengangkutan Udara di Indonesia. Malang : UMM Press
Sution Usman Adji, dkk. 1991. Hukum Pengangkutan di Indonesia, cet.2 Jakarta : PT Rinka Cipta,
Sutiono Usman Adji, dkk. 1990. Hukum Pengangkutan di Indonesia. Bandung : Rineka Citra
Pendahuluan
Latar belakang
Kata pengangkutan berasal dari kata “angkut” yang artinya bawa atau muat dan kirimkan. Jadi pengangkutan diartikan sebagai pengangkutan dan pembawaan barang atau orang, pemuatan dan pengiriman barang atau orang, barang atau orang yang diangkut dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan selamat, walaupun demikian diperlukan suatu alat sebagai sarana pengangkut. Selain itu banyak para sarjana yang mengemukakan pendapatnya megenai pengertian pengangkutan antara lain :
Menurut HMN. Poerwosutjipto mengatakan bahwa :
“ Pengangkutan adalah perjanjian timbal-balik antara pengangkut dengan pengirim dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari satu tempat ke tempat tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan”1
Sedangkan Abdul Kadir Muhammad mengatakan bahwa :
“Pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang atau penumpang kedalam pengangkutan, membawa barang atau penumpang dari tempat pemuatan ke tempat tujuan dan menurunkan barang atau penumpang dari alat pengangkut ke tempat yang ditentukan”.2
Menurut Sution Usma Adji, bahwa pengangkutan adalah3:
”Sebuah perjanjian timbal balik, dimana pihak pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang atau orang dari tempat tujuan tertentu dengan selamat tanpa berkurang jumlah dari barang yang dikirimkan, sedangkan pihak lainnya (pengirim atau penerima) berkeharusan memberikan pembayaran biaya tertentu untuk pengangkutan tersebut.”
Dalam menyelenggarakan pengangkutan harus memperhatikan azas-azas hukum pengangkutan, yang dalam hal ini terdiri dari dua macam azas, yaitu :
1.Azas yang bersifat publik, yaitu:
a.Azas manfaat
b.Azas usaha bersama
c.Azas adil dan merata
d.Azas seimbang
e.Azas kepentingan umum
f.Azas keterpaduan
g.Azas kesadaran hukum
h.Azas percaya pada diri sendiri
i.Azas keselamatan penumpang
2.Azas yang bersifat perdata, yaitu :
a.Azas konsensual
b.Azas koordinatif
c.Azas campuran
d.Azas pembuktian dengan dokumen
Berdasarkan pada asas-asas yang ada dalam hukum pengangkutan, maka ada hubungan timbal balik antara pengangkut dan pengirim, yaitu hubungan hak dan kewajiban. Dan sebagai pihak perantara sampainya barang kepada penerima, maka pengangkut memiliki tanggung jawab tertentu terhadap sesuatu (barang atau orang) yang dipercayakan kepadanya oleh pengirim untuk disampaikan kepada penerima.
Rumusan masalah
1.Apakah kewajiban pengangkut dalam hukum bengangkutan?
2.Prinsip apakah yang berkenaan dengan tanggung jawab pengangkut terhadap sesuatu yang diangkutnya?
Tujuan pembahasan
1.Mengetahui kewajiban-kewajiban pengangkut secara umum dalam hukum pengangkutan.
2.Mengetahui dan memahami prinsip-prinsip pertanggung jawaban pengangkut dalam hukum pengangkutan.
BAB II
Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab Pengangkut dalam Hukum Pengangkutan
Dari perikatan yang dilakukan oleh pengangkut dan pengirim barang, timbul suatu hukum yang saling mengikat antara para pihak yang terkait dalam perikatan tersebut. Adapun hukum yang mengikat tersebut adalah berupa hak dan kewajiban. Dan pada makalah ini, kami menitikberatkan pada pembahasan tentang tanggung jawab yang berkenaan dengan pengangkut atas barang angkutannya.
Kewajiban-kewajiban pengangkut pada umumnya antara lain adalah4 :
1.Mengangkut penumpang atau barang-barang ke tempat tujuan yang telah ditentukan.
2.Menjaga keselamatan, keamanan penumpang, bagasi barang dengan sebaik-baiknya.
3.Memberi tiket untuk pengangkutan penumpang dan tiket bagasi.
4.Menjamin pengangkutan tepat pada waktunya.
5.Mentaati ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Dari bahasan diatas, dapat dipahami tentang adanya unsur tanggung jawab pengangkut atas sesuatu yang diangkutnya tersebut. Dalam KUHD, pertanggungjawaban pengankut diatur dalam pasal 468. Pada ayat (1), dinyatakan bahwa pengangkut wajib menjamin keselamatan barang dari saat diterimanya hingga saat diserahkannya. Pada ayat (2) dijelaskan tentang penggantirugian atas barang dan ketentuannya, dan pada ayat (3), bahwa pengangkut bertanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh awaknya dan atas alat-alat yang digunakannya dalam pengangkutan.
Drs. Suryatin, dalam bukunya Hukum Dagang I dan II (Pradnya Paramita, 1983, hal 223-225) tentang pertanggungan jawab adalah sebagai berikut5 ;
Oleh karena dalam ayat (2) disebutkan “tidak dapat dicegah maupun dihindarkan secara layak”, maka harus dipertimbangkan apakah kerugian-kerugian yang diderita tadi dapat dicegah atau dihindarkan atau tidak, menurut daya kemampuan si pengangkut. Dan adanya perkataan “secara layak”, maka pertanggungjawaban si pengankut tergantung pada keadaan dan/atau kejadian yang tidak dapat dipastikan terlebih dahulu. Sehingga pertanggungjawabannya merupakan pertanggungjawaban secara relatif.
Berbeda dengan ayat (3), yang merupakan suatu pertanggungjawaban secara mutlak. Dan si pengangkut harus menyelidiki kemampuan pekerjanya dan alat yang akan digunakannya. Dan apabila terjadi pencurian barang sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 469 KUHD, maka pengangkut hanya bertanggung jawab kalau ia diberitahu akan sifat dan harga barang sebelum diserahkan atau pada waktu diserahkan. Hal ini bertujuan agar pengangkut dapat mengetahui berat-ringan resiko yang dibebankan kepadanya.
Ketentuan pada pasal 469 KUHD ini dikuatkan oleh pasal 470, dimana ditentukan bahwa pengangkut tidak bertanggung jawab apabila ia diberi keterangan yang tidak benar tentang sifat dan harga barang yang bersangkutan. Berkaitan dengan tanggungjawabnya, sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal 468 KUHD, maka dalam pasal 470 KUHD si pengangkut tidak dibenarkan untuk mengadakan perjanjian untuk mengurangi atau menghapuskan tanggung jawabnya. Dalam pasal ini juga ditekankan bahwa pengangkut dapat diberi keringanan berkenaan dengan besarnya resiko yang menjadi bebannya.
Sungguhpun pengangkut dapat mengurangi pertanggungjawabannya, namun perjanjian semacam itu tidak dapat berlaku, bila ternyata kerugian tersebut terjadi atas kelalaian pengangkut atau bawahan-bawahannya, sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 471 KUHD.
Dari bahasan diatas, tentu ada acuan dasar pertanggungjawaban pengangkut terhadap sesuatu yang diangkut olehnya. Maka berikut ini akan dikaji tentang prinsip-prinsip dalam pertanggungjawaban pengangkut dalam hukum Transportasi.
Prinsip-prinsip Tanggung Jawab Pengangkut
Dalam hukum pengangkutan dikenal adanya lima prinsip tanggung jawab pengangkut yaitu:
1.Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liabelity)
2.Tanggung Jawab Atas Dasar Kesalahan (Based on Fault or Negligence)
3.Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)
4.Pembatasan Tanggung Jawab Pengangkut (Limitation of Libelity)
5.Presumtion of Non Liability
a.Tanggung Jawab Praduga Bersalah (Presumtion of Liability)
Menurut prinsip ini, ditekankan bahwa selalu bertanggung jawab6 atas setiap kerugian yang timbul pada pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab membayar ganti rugi kerugian itu.
Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.7 Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan.
Prinsip ini hanya dijumpai dalam 86 ayat 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, yang menyatakan8:
“jika perusahaan angkutan perairan dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud aya 1 huruf b: musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut; c. Keterlambatan angkutan penumpang, dan atau barang yang diangkut; d. Kerugian pihak ketiga bukan disebabkan oleh kesalahannya, maka dia dapat dibebaskan sebagian atau seluruh dari tanggung jawabnya. Walaupun hanya terdapat pada pengangkutan perairan, bukan berarti pada pengangkutan darat dan pengangkutan udara tidak dibolehkan. Dalam perjanjian pengangkutan, perusahaan angkutan dan pengirim boleh menjanjikan prinsip tanggung jawab praduga, biasanya dirumuskan dengan “(kecuali jika perusahaan angkutan dapat membuktikan bahwa kerugian itu dapat karena kesalahannya)”.
Dalam KUHD juga menganut prinsip tanggung jawab karena praduga bersalah. Dalam ketentuan pasal 468 ayat 2 KUHD yaitu, “apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan sebagian atau seluruhnya atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim, kecuali dia dapat membuktikan bahwa diserahkan sebagian atau seluruh atau rusaknya barang itu karena peristiwa yang tidak dapat dicegah atau tidak dapat dihindari terjadinya.”
Dengan demikian jelas bahwa dalam hukum pengangkutan di Indonesia, prinsip tanggung jawab karena kesalahan dan karena praduga bersalah keduanya dianut. Tetapi prinsip tanggung jawab karena kesalahan adalah asas, sedangkan prinsip tanggung jawab karena praduga adalah pengecualian, artinya pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam penyelenggaraan pengangkutan, tetapi jika pengangkut berhasil membuktikan bahwa dia tidak bersalah atau lalai, maka dia dibebaskan dari tanggung jawab.
Beberapa pasal dalam Undang-undang Pengangkutan Tahun 1992 yang mengatur tentang prinsip tanggung jawab praduga bersalah adalah:
1.Pasal 45 UU Nomor 14 Tahun 1992 tentang Angukutan Lalu Lintas Jalan.
2.Pasal 28 ayat 1, 2 UU Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkereta Apian.
3.Pasal 43 ayat 1b dan pasal 44 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan.
b.Tanggung Jawab atas Dasar Kesalahan (Based on Fault or Negligence)
Dapat dipahami, dalam prinsip ini jelas bahwa setiap pengangkut harus bertanggung jawab atas kesalahannya dalam penyelenggaraan pengangkutan dan harus mengganti rugi dan pihak yang dirugikan wajib membuktikan kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ini diberikan kepada pihak yang dirugikan dan bukan pada pengangkut.9 Hal ini diatur dalam pasal 1365 KUHPer tentang perbuatan melawan hukum (illegal act) sebagai aturan umum dan aturan khususnya diatur dalam undang-undang tentang masing-masung pengangkutan.
Dalam KUHD, prinsip ini juga dianut, tepatnya pada pasal 468 ayat (2). Pada pengangkutan di darat yang menggunakan rel kereta api, tanggung jawab ini ditentukan dalam pasal 28 UU nomor 23 tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Pada pengangkutan di darat yang melalui jalan umum dengan kendaraan bermotor, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 28, pasal 29, pasal 31 dan pasal 45 UU nomor 14 tahun 1992 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan.
Pada pengangkutan di laut dengan menggunakan kapal, tanggung jawab ini di tentukan dalam pasal 86 UU nomor 21 tahun 1992 tentang Pelayaran. Dan berkaitan dengan angkutan udara, prinsip ini dapat ditemukan dalam pasal 43-45 Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1995 tentang pengangkutan udara.10
c.Tanggung Jawab Pengangkut Mutlak (Absolut Liability)
Pada prinsip ini, titik beratnya adalah pada penyebab bukan kesalahannya. Menurut prinsip ini, pengangkut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dalam pengangkutan yang diselenggarakan tanpa keharusan pembuktian ada tdaknya kesalahan pengangkut.
Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian, unsur kesalahan tak perlu dipersoalkan. Pengangkut tidak mungkin bebas dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu.prinsip ini dapat dapat dirumuskan dengan kalimat: pengangkut bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul karena peristiwa apapun dalam penyelenggaraan pengangkutan ini.
Dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengangkutan, ternyata prinsip tanggung jawab mutlak tidak diatur, mungkin karena alasan bahwa pengangkut yang berusaha dibidang jasa angkutan tidak perlu di bebani dengan resiko yang terlalu berat. Akan tetapi tidak berarti bahwa pihak-pihak tidak boleh menggunakan prinsip ini dalam perjanjian pengangkutan. Para pihak boleh saja menjanjikan penggunaan prinsip ini untuk kepentingan praktis penyelesaian tanggung jawab, berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Jika prinsip ini digunakan maka dalam perjanjian pengangkutan harus dinyatakan dengan tegas, misalnya pada dokumen pengangkutan.
d.Pembatasan tanggung jawab pengangkut (limitation of liability)
Bila jumlah ganti rugi sebagaimana yang ditentukan oleh pasal 468 KUHD itu tidak dibatasi, maka ada kemungkinan pengangkut akan menderita rugi dan jatuh pailit. Menghindari hal ini,, maka undang-undang memberikan batasan tentang ganti rugi. Jadi, pembatasan ganti rugi dapat dilakukan oleh pengangkut sendiri dengan cara mengadakan klausula dalam perjanjian pengangkutan, konosemen atau charter party, dan oleh pembentuk undang-undang. Hal ini diatur dalam pasal 475, 476 dan pasal 477 KUHD.11
Mengenai pembatasan tanggung jawab pengangkut dalam angkutan udara, diatur dalam pasal 24 ayat (2), pasal 28, pasal 29 ayat (1) dan pasal 33 Ordonansi Pengangkutan Udara. Pasal 30 merupakan pembatasan tanggung jawab yaitu banwa tanggung jawab pengangkut udara dibatasi sampai jumlah Rp.12.500,- per penumpang. Pasal 24 merupakan pembatasan siapa-siapa saja yang berhak menerima ganti rugi, yang dalam hal ini adalah : Suami/istri dari penumpang yang tewas,Anak atau anak-anaknya dari si mati Orang tua dari si mati. Pasal 28 menentuk in bahwa pengangkut udara tidak bertanggung jawab dalam hal kelambatan, pasal ini berbunyi “Jika tidak ada persetujuan Ijin, maka pengangkut bertanggung jawab untuk kerugian yang timbul karena kelambatan dalam pengangkutan penumpang, bagasi dan barang”.
Satu pasal lain mengenai pembatasan tanggung jawab pihak pengangkut adalah pasal 33, dimana pasal tersebut menentukan gugatan mengenai tanggung jawab atas dasar apapun juga hanya dapat diajukan dengan syarat-syarat dan batas-batas seperti yang dimaksudkan dalam peraturan ini.
Dengan terbatasnya gugatan mengenai tanggung jawab dari pihak pengangkut, maka terbatas pula tanggung jawab pihak pengangkut. Pembebasan Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Ordonansi Pengangkutan Udara yang memuat ketentuan mengenai pembebasan adalah pasal 1 ayat (1), pasal 29 avat (1) dan pasal 36. Pasal 36 menemukan bahwa pengangkut bebas dari tanggungjawabnya dalam hal setelah dua tahun penumpang yang menderita kerugian tidak mengajukan tuntutannya.
Pasal 36 berbunyi “Gugatan mengenai tanggung jawab pengangkut harus diajukan dalam jangka waktu dua tahun terakhir mulai saat tibanya di tempat tujuan, atau mulai dari pesawat Udara seharusnya tiba, atau mulai pengangkutan Udara diputuskan jika tidak ada hak untuk menuntut dihapus.
Selain itu ada hal-hal yang membuat pengangkut tidak bertanggung jawab apabila timbul suatu keadaan yang sama sekali tidak diduga sebelumnya, contohnya adalah sebagai berikut : bahaya perang, sabotase, kebakaran, kerusuhan, kekacauan dalam negeri. Asuransi tanggung jawab dibidang pengangkutan udara didasarkan atas prinsip terjadinya peristiwa asuransi tersebut karena mencakup kerugian-kerugian yang terjadi selama jangka waktu asuransi dan dilandasi kerugian yang paling dekat berdasar atas produk yang keliru.
Pada Undang-undang No 1 tahun 2009 pengaturan mengenai tanggung jawab pengangkut dapat dilihat pada pasal 141 – 147.
Pasal 141
(1)Pengangkut bertanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat dan/atau naik turun pesawat udara.
(2)Apabila kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) timbul karena tindakan sengaja atau kesalahan dari pengangkut atau orang yang dipekerjakannya, pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang timbul dan tidak dapat mempergunakan ketentuan dalam undang-undang ini untuk membatasi tanggung jawabnya.
Aturan ini menggunakan Prinsip Tanggung jawab Mutlak (Strict Liability) , dimana pada ayat tersebut disebutkan bahwa pengangkut dikenai tanggung jawab tanpa melihat ada tau tidaknya kesalahan yang dari pengangkut.
Pada Ordonansi Pengangkutan Udara 1939, pengangkut masih dapat menyangkal keharusan bertanggung jawab asal dapat membuktikan bahwa pengangkut telah mengambil tindakan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa pengangkut tidak mungkin untuk mengambil tindakan tersebut. Hal ini menggambarkan prinsip atas dasar Praduga, seperti yang disebut dalam pasal 24 ayat (1), 25 ayat (1), 28 dan 29 OPU; Pengangkut tidak bertanggungjawab untuk kerugian, apabila:
1.ia dapat membuktikan bahwa ia dan semua buruhnya telah mengambil segala tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian;
2.ia dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin mengambil tindakan pencegahan itu;
3.kerugian itu disebabkan oleh kesalahan yang menderita itu sendiri;
4.kesalahan penderita kerugian membantu terjadinya kerugian itu
Dari penjelasan diatas, aturan mengenai tanggung jawab tadi merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi para pihak khususnya pengguna jasa angkutan udara. Tanggung jawab yang ditegaskan dalam undang-undang tadi akan meningkatkan kualitas dalam pemberian kenyamanan, pelayanan serta keselamatan bagi penumpang. Artinya secara normatif perlindungan hukum bagi penumpang telah ada, tinggal bagaimana pelaksanaan dari aturan tadi.12
e.Presumtion of non Liability
Dalam prinsip ini, pengangkut dianggap tidak memiliki tanggung jawab.13 Dalam hal ini, bukan berarti pengangkut membebaskan diri dari tanggung jawabnya ataupun dinyatakan bebas tanggungan atas benda yang diangkutnya, tetapi terdapat pengecualian-pengecualian dalam mempertanggungjawabkan suatu kejadian atas benda dalam angkutan. Pengaturan ini ditetapkan dalam :
1. pasal 43 ayat 1 b UU penerbangan
2. pasal 86 UU pelayaran
daftar pustaka
Abdul Kadir Muhammad, 2008. Hukum Pengangkutan Niaga, cet 4Bandung : PT Citra Aditya Bakti.
Abdul Kadir Muhammad. 1991. Hukum Pengangkut Darat, laut dan Udara, (Jakarta : Cipta Aditya Bahkti
H.M.N Purwosutjipto. 2000. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 5. Cet. 5. Jakarta : Penerbit Djambatan
http://akubukanmanusiapurba.blogspot.com/2010/07/perlindungan-hukum-bagi-pengguna-jasa.html diakses pada 10 Oktober 2010
http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-pengangkutan/pengangkutan-udara-dengan-asuransi/ diakses pada 10 Oktober 2010
Musa Taklima, Pengertian, Fungsi Dan Kegunaan Pengangkutan. Disampaikan dalam perkuliahan pertama hukum pengangkutan dan transportasi hukum bisnis syariah tanggal 22 september 2010
Rahayu Hartini. 2007. Hukum Pengangkutan, Pengangkutan Darat Melalui Jalan Umum dan Kereta Api, Pengangkutan Laut Serta Pengangkutan Udara di Indonesia. Malang : UMM Press
Sution Usman Adji, dkk. 1991. Hukum Pengangkutan di Indonesia, cet.2 Jakarta : PT Rinka Cipta,
Sutiono Usman Adji, dkk. 1990. Hukum Pengangkutan di Indonesia. Bandung : Rineka Citra
Langganan:
Postingan (Atom)