Nama : Ira Chandra Puspita
NIM : 08220055
Mata kuliah : HTN
1.Membicarakan tentang pemerintahan Indonesia berarti membicarakan tentang siapa yang memegang kekuasaan tertinggi di Republik Indonesia. Sehubungan dengan konsep pemegang kekuasaan tertinggi atau konsep kedaulatan, dalam filsafat hukum dan kenegaraan dikenal lima teori atau konsep yang selalu diperdebatkan sepanjang sejarah, yaitu teori kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan hukum, kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara.
Indonesia, sejak kemerdekaannya, secara resmi para pendirinya telah memilih bentuk republik dan meninggalkan bentuk kerajaan. Dengan demikian , teori kedaulatan raja tidak perlu kita bahas lebih banyak. Demikian pula dengan konsep kedaulatan negara, yang biasa dipahami dalam konteks hubungan internasional. Karena dengan sendirinya Indonesia merdeka telah mendapat pengakuan dunia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka.
Yang perlu dibahas adalah konsep kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat dengan menghubungkan ketiganya dengan latar belakang pemikiran yang tumbuh berkembang sejak sebelum kemerdekaan, dan mengaitkan ketiga gagasan itu dengan cita kenegaraan (staatsidee) yang terkandung dalam rumusan Undang-undang Dasar Proklamasi Kemerdekaan 1945. Ketiga konsep tersebut berlaku secara simultan dalam pemikiran bangsa Indonesia tentang kekuasaan. Kekuasaan kenegaraan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada pokoknya adalah derivat dari kesadaran bangsa Indonesia mengenai kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang diwujudkan dalam paham kedaulatan hukum dan sekaligus kedaulatan rakyat yang kita terima sebagai dasar berpikir sistemik dalam konstruksi Undang-undang Dasar negara Indonesia. Prinsip kedaulatan hukum kita wujudkan dalam ‘reechstaat’ atau ‘the rule of law’ serta supremasi hukum yang selalu kita dengungkan. Dalam perumusannya, hukum yang dijadikan pegangan tertinggi haruslah disusun sedemikian rupa melalui mekanisme demokrasi yang lazim sesuai dengan sila keempat Pancasila.
Sebaliknya, konsep kedaulatan rakyat diwujudkan melalui instrumen-instrumen uhkum dan sistem kelembagaan negara dan pemerintahan sebagai institusi yang tertib. Dalam proses pembentukan hukum nasional yang disepakatiharuslah dilakukan denganproses permusyawaratan sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan sebagai perwujudan prinsip tersebut.
Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat selain diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkan juga tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, biasanya prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan melalui dua pilihan cara, yaitu melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau melalui pembagian kekuasaan (distribution/division of power). Pemisahan kekuasaan, bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances). Sedang pembagian kekuasaan bersifat vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara dibawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Selama ini UUD1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang secara vertikal, dimana kedaulatan rakyat terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi atau forum tertinggi. Dari sini fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan wewenang lembaga tinggi negara. Dalam hubungan pemisahan ini, prinsip hubungan ‘checks and balances’ antar lembaga tinggi negara dianggap sesuatu yang sangat pokok.
Pada perubahan pertama dan kedua UUD 1945, prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal mulai dianut dengan jelas oleh para perumus UUD seperti yang tercermin dalam pasal 1 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) sampai (5), dengan penganutan prinsip hubungan ‘checks and balances’ tersebut juga mengalami perubahan sehingga kekuasaan yang terpusat pada MPR sebagai lembaga tertinggi, format dan susunan perudang-undangan secara mendasar. Pengaturan dan pembatasan tersebut menjadi ciri konstitusionalisme dan tugas utama konstitusi sehingga memungkinkan kesewenang-wenangan kekuasaan dapat dikendalikan dan diminimalkan.
Penerapan prinsip ‘checks and balances’ dalam kekuasaan pemerintahan antar tiga lembaga pokok (legislatif, eksekutif dan yudikatif) ini diwujudkan di Indonesia secara jelas yang tertuang dalam UUD 1945. Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, DPR sebagai lembaga legislatif tidak serta merta dapat membuat sendiri undang-undangnya dan membebankan pada pemerintah atau lembaga eksekutif dalam pelaksanaannya. Melainkan dalam pembuatannya, terdapat andil Presiden dan DPR, yang kemudian ditelaah isinya dan kesesuaiannya dengan konstitusi negara oleh lembaga yudikatif yang berwenang atas hal itu, yang di Indonesia bernama Mahkamah Konstitusi. Maka tidak ada lagi pengumpulan kekuasaan pada suatu lembaga tertentu, tetapi terjadi suatu pembagian wewenang yang saling mengawasi dan berimbang.
Seperti kata Lord Acton, yang banyak dikutip oleh banyak penulis dunia, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Inilah hukum besi kekuasaan yang apabila tidak diatur dan dibatasi dengan prosedur konstitusional, dapat menjadi sumber mala petaka.
( -Radjab, Dasril. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
-Assiddiqie, Jimly. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta : FH UII Press.
-M. Mahfud MD. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta : LP3ES. )
2.Dalam negara kesatuan yang demokratis, maka pendelegasian pemerintahan dengan model sentralisasi dan desentralisasi adalah suatu keniscayaan. Hal ini berkaitan dengan pengorganisasian negara dalam bentuk pemerintahan. Sentralisasi berasal dari bahasa inggris yang berakar dari kata Centre yang artinya adalah pusat atau tengah. Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah.
B.N. Marbun dalam bukunya Kamus Politik mengatakan bahwa sentralisasi yang pahamnya kita kenal dengan sentralisme adalah pola kenegaraan yang memusatkan seluruh pengambilan keputusan politik, ekonomi, social di satu pusat.
Berdasarkan definisi diatas bisa kita interpretasikan bahwa sistem sentralisasi itu adalah bahwa seluruh decition (keputusan/Kebijakan) dikeluarkan oleh pusat, daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut uu. menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang pada level bawah pada suatu suatu organisasi. Desentralisasi juga dapat dikatakan suatu penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Dengan adanya desentralisasi maka munculah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia.
Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem pemerintahan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otoda yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Sistem ini lahir dari gagasan pelaksanaan desentralisasi yang dituang dalam UUD 1945, pasal 18 ayat (1), sebagai landasan konstitusionalnya. Dan diatur dalam UU no. 32 dan 34 tahun 2004.
Adapun asas penyelenggaraannya adalah asas otonomi atau kemandirian dan asas tugas pembantuan (medebewind). Unsur-unsur desentralisasi atau pelaksana pemerintahan daerah adalah Kepala pemerintah daerah dan DPRD.
Mengenai hak dan kewenangan pelaksana sentralisasi adalah dalam enam hal pokok yang tidak diserahkan kepada daerah atau tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Yang berarti, bahwa penyelenggaraan pemerintahan di daerah diserahkan sepenuhnya kepada daerah, kecuali pada beberapa hal pokok kenegaraan yang menjadi wewenang negara dan bukan daerah. Kewenangan tersebut berkaitan dengan kebijakan politik luar negeri, moneter dan fiskal, pertahanan, keamanan, justisi dan agama.
Selain enam hal diatas, maka menjadi wewenang daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dan kewenangan pemerintah daerah diatur dalam UUD 1945 pasal 18 ayat (2), (5) dan (6). Karena pemerintah pusat tidak berwenang lagi menggurusi urusan rumah tangga daerah maka pemerintah pusat tidak berhak menentukan besar RAPBD dan APBD. Selain berkaitan dengan kewenangan, hal ini berkaitan pula dengan penguasaan pemerintah daerah dan pemahamannya tentang kebutuhan daerah yang disesuaikan dengan kondisi sosial daerah dan kultur daerah. Tetapi bagaimana bentuk penyelenggaraan pemerintahan di daerah ditentukan oleh pemerintah pusat, yang dituang dalam bentuk peraturan pemerintah ataupun dalam bentuk undang-undang.
(-Matutu, Mustamin DG. 2004. Mandat, Delegasi, Attribusi dan implementasinya di Indonesia. Yogyakarta : UII Press.
-Taliziduhu Ndraha. 2003. Kybernology ( Ilmu Pemerintahan Baru) 2. Jakarta : Rineka Cipta.
-Maddick, Henry. 2004. Desentralisasi dalam Praktek. Yogyakarta ; Pustaka Kendi.
-Soehino. 2005. Hukum Tata Negara, Sejarah Ketatanegaraan Indonesia: Edisi 2005/2006. Yogyakarta : BPFE.
-Hans Kelsen. 2007. Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik. Terj. Somardi. Jakarta : BEE Media Indonesia.)
3.Berbicara mengenai kekuasaan politik untuk rakyat dalam konsep John Locke, tidak terlepas di dalamnya pembahasan mengenai hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab. Hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggungjawab memungkinkan terciptanya masyarakat yang baik.
Dalam pembahasannya tentang hak dan asal usulnya, seperti Hobbes, Locke berpaling kepada originalitas keadaan alamiah sebelum terbentuknya pemerintahan. Dikatakan bahwa “hak” lahir dari keadaan alamiah (state of nature) di mana manusia ada dalam keadaan bebas yang sempurna untuk mengatur tindakan, kepemilikan dan orang-orang yang cocok dalam ikatan hukum alam. Locke berpendapat bahwa kekuasaan politik adalah hak untuk membuat hukum. Hukum itu dibuat untuk mengatur dan melindungi property demi tercapainya kebaikan bersama. Dalam uraian ini fungsi pemerintah dilihat sangat transparan dan terbuka yaitu untuk mempertahankan komunitas demi bonum communae. Namun, yang menjadi persoalan komunitas macam mana yang mau dipertahankan. Hukum alam yang paling fundamental adalah melindungi hidup. Bagaimana the state of nature berkembang menjadi sebuah komunitas politik? Menurut Locke, satu-satunya jalan membentuk sebuah komunitas politik dan mendirikan sebuah pemerintahan harus ada konsistensi terhadap pengunaan intelek yang dibimbing oleh hukum alam dan oleh persetujuan bebas . Kekerasan dan penaklukan haruslah diganti dengan perjanjian dan persetujuan untuk membentuk sebuah kekuasaan politis. Dengan demikian ada perbedaan antara kekuasaan politik dan kekuasaan absolut yang cendrung menggunakan kekerasan.
Dalam pembicaraannya mengenai intersubjektivitas dalam terang metafisika, Josef Pianiazhek menganalisa relasi penguasa politis dengan rakyat. Dikatakan bahwa kekayaan si penguasa adalah wewenang dan kuasa. Dalam dirinya serentak melekat “kemiskinannya” yaitu bahwa dalam kekuasaaannya ia masih bergantung pada dukungan rakyat. Bayangkan seorang calon presiden tidak akan jadi presiden tanpa dukungan rakyat. Di sisi lain rakyat memiliki “kekayaan” yaitu suara yang diberikan kepada penguasa. Dengan kata lain rakyat berdaulat yang mengingatakan kita akan term ”demokrasi dari rakyat dan oleh rakyat”. Tetapi ”kemiskinan” rakyat adalah dukungan yang seharusnya diterima oleh si penguasa memiliki kemungkinan untuk disalah gunakan. Atau dengan kata lain penguasa menerima kuasanya dari rakyat, tetapi rakyat menerima dari si penguasa berupa kemungkinan, kemampuan untuk memakai kuasa mereka. Penjelasan ini mau mempertegas bahwa kekuasaan politik dalam tataran kehidupan sosial memiliki relasi dengan rakyat. Dengan demikian mau dikatakan pula bahwa kekuasaan politik sebenarnya untuk rakyat.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Locke berpendapat bahwa terbentuknya komunitas politik atau negara didahului oleh keberadaan individu yang memiliki hak-hak kodrati sebagai suatu keadaan yang disebut keadaan alamiah (state of nature. Keadaan alamiah ini adalah keadaan kebebasan (state of liberty), tetapi bukan keadaan di mana orang berbuat sekehendaknya (state of license) . Meskipun seseorang bebas untuk melakukan apa seperti yang dikehendakinya, ia masih wajib untukmenuruti perintah Allah, dengan demikian ia tidak bebas penuh tetapi harus dapat dipertanggungjawabkan.
Locke melihat bahwa monarki konstitusional dengan kekuasaan eksekutif merupakan bentuk pemerintah yang layak diinginkan, tetapi bukanlah satu-satunya bentuk kekuasaan pemerintah dan legitimasinya yang didasarkan pada kesepakatan individu-individu.
Negara memiliki tugas menjadi pengatur dan pelindung masyarakat. Di sini mau dikatakan beberapa kewajiban pemerintah yang harus dipegang untuk menjamin fungsi pemerintah demi kepentingan masyarakat. Pertama: kekuasaan legislatif tidak boleh digunakan untuk mengatur hidup dan nasib rakyat secara sembarangan. Kedua: kekuasaan tidak boleh dijalankan tanpa pertimbangan; ketiga: pemerintah tidak boleh mengambil hak milik orang tanpa pertimbangan; keempat: kekuasaan legislatif tidak dapat dialihkan kepada orang lain, dan harus tetap ada dalam kelompok yang menjadi wakil rakyat. Dengan demikian kekuasaan politik digunakan bagi kepentingan umum.
Setelah menguraikan pemikiran Locke, dapat dikatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Locke adalah suatu yang baik. Hal ini saya dukung dengan argumen bahwa suatu Negara dapat berkembang kalau Negara tersebut dapat menjalankan hukum-hukumnya dengan baik. Itu berarti hukum itu sendiri sungguh-sungguh hukum yang benar dan mempunyai tujuan yang baik untuk kemakmuran rakyat. Prinsipnya bahwa hukum dibuat untuk kepentingan rakyat dan bukannya untuk melindungi penguasa. Hukum dalam suatu negara berfungsi untuk menjamin kebahagiaan rakyat.
Hukuman bagi orang yang melanggar hukun adalah suatu hal yang baik apalagi tujuannya adalah untuk keamanan semua masyarakat. Dengan hukum yang baik, suatu Negara dapat menuju tujuan yang ingin dicapai dengan baik pula. Namun satu hal yang tidak dapat saya dukung dari pemikiran Locke adalah sanksi hukuman mati kepada orang yang melakukan kesalahan. Menghukum orang dengan hukuman mati adalah suatu tindakan yang melanggar hak asasi seseorang. Yang dapat mengambil nyawa seseorang hanyalah Tuhan yang memiliki kuasa untuk hal itu.
Pada dasarnya manusia ingin hidup aman dan sejahtera. Namun semua itu tidak dapat tercapai kalau tidak ada hukum yang mengatur dengan baik. Locke berpendapat bahwa kekuasaan politik adalah hak untuk membuat hukum dengan hukuman mati dan akhibatnya semua hukuman yang lebih randah, demi mengatur dan melindungi property dan menggunakan kekerasan atas nama komunitas dalam melaksanakan hukum-hukum itu dan dalam mempertahankan harta bersama, semuanya demi kebaikan bersama. Namun itu tak berarti bahwa dengan hukum, kita dapat menghalalkan segala cara untuk dapat menghukum orang yang bersalah. Menghukum dengan hukuman mati adalah tindakan yang telah melanggar hak asasi seseorang.
Negara persemakmuran pada dasarnya adalah suatu bentuk penguasaan namun lebih mengarah pada suatu pembangunan ke depan menuju suatu masyarakat yang adil dan makmur. Dengan Negara Persemakmuran Locke bermaksud bukan pada suatu demokrasi, atau bentuk pemerintahan apapun, melainkan masyarakat mandiri.
(-F. Ceunfin. 2005. Mengabdi Kebenaran. Maumere : Penerbit Ledalero.
-Locke, John. 2002. Kuasa Itu Milik Rakyat. A. Widyamartaya (trj.) Yogyakarta : Kanisius.
-Winarta, Frans. H. 2009. Suara Rakyat, Hukum Tertinggi. Jakarta : Kompas.
-Green Mind Community (GMC). 2009. Teori dan Politik Hukum Tata Negara. Yogyakarta:Total Media. )
4. Fondasi yang tepat dan kokoh bagi sebuah demokrasi yang berkelanjutan (sustainable democracy) adalah sebuah negara konstitusi ( constitutional state) yang bersandarkan pada konstitusi yang kokooh dan dapat melindungi dirinya dari ancaman, baik dari dalam maupun dari luar pemerintahan. Konstitusi yang kokoh yang mampu menjamin pelaksanaan demokrasi yang berkelanjutan, hanyalah sebuah konstitusi yang mengatur secara rinci batas-batas kewenangan dan kekuasaan lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif secara seimbang dan saling mengawasi ( checks and balances ), yang memberi jaminan secara luas tentang hak-hak warga negara dan hak asasi manusia.
Konstitusi yang kokoh bagi sebuah constitutional state yang mampu menjamin pelaksanaan demokrasi berkelanjutan juga harus merupakan konstitusi yang legitimate, dalam arti pembuatannya harus secara demokratis, diterima dan memperoleh dukungan dari seluruh komponen masyarakat dari berbagai aliran dan faham, dari berbagai aspirasi dan kepentingan. Secara teoritis, dari sudut pandang teori konstitusi atau konstitualisme, keberadaan sebuah konstitusi bagi sebuah negara pada hakekatnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak secara sewenang-wenang.
Konstitusi yang kokoh adalah konstitusi yang jelas faham konstitusinya, yaitu yang mengatur secara jelas batas-batas kewenangan dan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif secara seimbang dan saling mengawasi (checks and balances) serta memberikan jaminan yang cukup luas dalam arti penghormatan (to respect), perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fulfill) hak warga negara dan hak asasi manusia. Dengan kata lain, konstitualisme adalah faham mengnai pembatasan kekuasaan dan menjamin hak-hak rakyat melalui konstitusi.
Dalam perubahan terhadap UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 yang berlangsung dalam empat tahap telah membawa perubahan yang besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah perubahan sistem kelembagaan dan hubungan tiga cabang kekuasaan negara yang utama, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Perubahan tersebut merupakan penyempurnaan terhadap penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern melalui pembagian kekuasaan secara tegas dengan sistem checks and balances.
Pembagian kekuasaan pemerintahan seperti didapat garis-garis besarnya dalam susunan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah bersumber kepada susunan ketatanegaraan Indonesia asli, yang dipengaruhi besar oleh pikiran-pikiran falsafah negara Inggris, Perancis, Arab, Amerika Serikat dan Soviet Rusia. Aliran pikiran itu oleh Indonesia dan yang datang dari luar, diperhatikan sungguh-sungguh dalam pengupasan ketatanegaraan ini, semata-mata untuk menjelaskan pembagian kekuasaan pemerintahan menurut konstitusi proklamasi.
Pembagian kekuasaan pemerintah Republik Indonesia 1945 berdasarkan ajaran pembagian kekuasaan yang dikenal garis-garis besarnya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia; tetapi pengaruh dari luar; diambil tindakan atas tiga kekuasaan, yang dinamai Trias Politica, seperti dikenal dalam sejarah kontitusi di Eropa Barat dan amerika Serikat.
Ajaran Trias Politica diluar negeri pada hakikatnya mendahulukan dasar pembagian kekuasaan, dan pembagian atas tiga cabang kekuasaan (Trias Politica) adalah hanya akibat dari pemikiran ketatanegaraan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang pemerintah dan untuk menjamin kebebasan rakyat yang terperintah.
Ajaran Trias Politika dilahirkan oleh pemikir Inggris Jhon Locke dan oleh pemikir Perancis de Montesquieu dijabarkan dalam bukunya L’Espris des Lois, yang mengandung maksud bahwa kekuasaan masing-masing alat perlengkapan negara atau lembaga negara yang menurut ajaran tersebut adalah :
a. Badan legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk Undang-undang
b. Badan eksekutif yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang
c. Badan judikatif, yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan megadilinya.
Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak menganut suatu sistem negara manapun, tetapi adalah suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa indonesia, namun sistem ketatanegaraan Republik indonesia tidak terlepas dari ajaran Trias Politica Montesquieu. Ajaran trias politica tersebut adalah ajaran tentang pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Judikatif yang kemudian masing-masing kekuasaan tersebut dalam pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan mandiri, artinya masing-masing badan itu satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi dan tidak dapat saling meminta pertanggung jawaban.
Apabila ajaran trias politika diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran tersbut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara.
Susunan organisasi negara adalah alat-alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 baik baik sebelum maupun sesudah perubahan. Susunan organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan yaitu :
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2) Presiden
(3) Dewan Pertimbagan Agung (DPA)
(4) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
(5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
(6) Mahkmah Agung (MA)
Badan-badan kenegaraan itu disebut lembaga-lembaga Negara. Sebelum perubahan UUD 1945 lembaga-lembaga Negara tersebut diklasifikasikan, yaitu MPR adalah lembaga tertinggi Negara, sedangkan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya seperti presiden, DPR, BPK, DPA dan MA disebut sebagai lembaga tinggi Negara.
Sementara itu menurut hasil perubahan lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2) Presiden
(3) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
(4) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
(5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
(6) Mahkmah Agung (MA)
(7) Mahkamah Konstitusi (MK)
Secara institusional, lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan.
Dengan perkataan lain, UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan kenegaraan yang ada
Sebelum Perubahan
1.MPR, sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, mempunyai kekuasaan untuk menetapkan UUD, GBHN, memilih Presiden dan Wakil Presiden serta mengubah UUD
2.Presiden, yang berkedudukan dibawah MPR, mempunyai kekuasaan yang luas yang dapat digolongkan kedalam beberapa jenis:
a.Kekuasaan penyelenggaran pemerintahan;
b.Kekuasaan didalam bidang perundang undangan, menetapakn PP, Perpu;
c.Kekuasaan dalam bidang yustisial, berkaitan dengan pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi;
d.Kekuasaan dalam bidang hubungan luar negeri, yaitu menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain, mengangkat duta dan konsul.
3.DPR, sebagai pelaksana kedaulatan rakyat mempunyai kekuasaan utama, yaitu kekuasaan membentuk undang-undang (bersama-sama Presiden dan mengawasi tindakan presiden.
4.DPA, yang berkedudukan sebagai badan penasehat Presiden, berkewajiban memberikan jawaban atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah
5.BPK, sebagai “counterpart” terkuat DPR, mempunyai kekuasaan untuk memeriksa tanggung jawab keuangan Negara dan hasil pemeriksaannya diberitahukan kepada DPR.
6.MA, sebagai badan kehakiman yang tertinggi yang didalam menjalankan tugasnya tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah.
Setelah Perubahan
1.MPR, Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK, menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN, menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu), tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD, susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
2.DPR, Posisi dan kewenangannya diperkuat, mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU, Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah, Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
3.DPD, Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR, keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan negara Republik Indonesia, dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu, mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.
4.BPK, Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD, berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi, mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
5.Presiden, Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial, Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR, Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja, Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR, kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR, memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
6.Mahkmah Agung, Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)], berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
7.Mahkamah Konstitusi, Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution), Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD, Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.
Atas dasar itu, UUD 1945 meletakan asas dan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan-hubungan (kekuasaan) diantara lembaga-lembaga negara tersebut. Hubungan –hubungan itu adakalanya bersifat timbal balik dan ada kalanya tidak bersifat timbal balik hanya sepihak atau searah saja.
(-Fadjar, Abdul Mukthie. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Konstitusi press, Yogyakarta : Citra Media.
-Ranadireksa, Hendarman. 2007. Dinamika Konstitusi Indonesia. Bandung : Fokus Media)
5.Secara keseluruhan, UUD 1945 pasca amandemen keempat, mengenal enam lembaga tinggi negara, yaitu : MPR, DPR, Presiden, MA, BPA dan DPA. Dari keenam lembaga tersebut hanya MPR saja yang bersifat khas Indonesia, sisanya berasal dari cetak biru kelembagaan yang dicontohkan pada masa Hindia Belanda. MPR kemudian dianggap mempunyai kedudukan tertinggi pemegang kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, dapat dimengerti dalam keberadaan MPR terdapat elemen-elemen konsepsi kenegaraan yang bersifak kombinatif antara tradisi liberalisme barat dan sosialisme timur. Unsur keanggotaan MPR juga menggambarkan adanya semangat kombinatif ini. Yaitu terdiri dari anggota DPR yang mencerminkan demokrasi politik yang berdasarkan atas prosedur perwakilan dalam rangka menyalurkan seluruh aspirasi dan kepentingan bangsa dan negara, utusan golongan mencerminkan prinsip demokrasi ekonomi yang berdasarkan pada prosedur perwakilan fungsional untuk menutupi dan mengatasi kelemahan sistem demokrasi politik, dan utusan daerah yang diadakan untuk menjamin agar kepentingan daerah tidak terabaikan hanya karena orientasi yang mengutamakan kepentingan nasional. Maka tepat bila majelis ini diberikan kedudukan tertinggi (supreme).
Setidaknya ada tiga faktor penting yang mempengaruhi keberadaan MPR sebagai lembaga negara. Pertama, pemisahan kekuasaan secara tegas dari cabang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kedua, pemilihan presiden secara langsung yang berkaitan dengan konsep pertanggungjawaban presiden langsung kepada rakyat. Ketiga, rekonstrukturisasi parlemen menjadi dua kamar atau bikameral, dalam rangka menampung aspirasi daerah-daerah yang terus berkembang menjadi semakin otonom. Tiga hal ini diadobsi dalam materi perubahan UUD 1945. Prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas telah dituangkan dalam amandemen pertama dan kedua UUD 1945, prinsip kedua diadobsi dalam perubahan ketiga UUD. Kemudian prinsip ketiga diadobsi dalam perubahan UUD yang keempat yang telah dikukuhkan tidak hanya melalui Undang-undang. Tetapi juga Tap MPR dan bahkan dalam naskah perubahan yang kedua UUD 1945.
Kebijakan otonomi daerah ini dikembangkan sebagai upaya strategis untuk menjamin keutuhan bangsa dan negara serta mendorong proses demokratisasi hubungan antara pusat dan daerah. Dengan diterimanya ketiga gagasan tersebut kedalam maka keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara tidak dapat dipertahankan lagi. Maka jelaslah bahwa berlakunya UUD 1945 hasil amandemen, Tap MPR tidak lagi menjadi peraturan perundang-undangan. Hal ini adalah konsekwensi dari amandemen.
Ketentuan UUD hasil amandemen tentang tidak berlakunya lagi Tap MPR lebih bersifat implisit karena UUD hasil amandemen tidak scara jelas melarang adanya tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan demikian juga UUD ini tidak menyebutkan secara eksplisit tata urutan perundang-undangan. Adanya penggaris bawahan tap MPR bukan merupakan peraturan perundang-undangan dapat dengan mudah digali dan dipahami dari dua pasal dalam UUD hasil amandemen, yaitu pada pasal 24C ayat (1) dan aturan tambahan pasal 1, serta tap MPR no. 1/MPR/2003 dan UU no. 10 tahun 2004.
Pada pasal 24C ayat (1), yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Dapat dipahami bahwa pweraturan perundang-undangan yang langsung dibawah UUD adalah UU. Dan jelaslah bahwa tap MPR bukanlah peraturan perundang-undangan.
Pada tambahan pasal 1, ketentuan yang termuat di dalamnya memerintahkan kepada MPR untuk meninjau kembali dan menentukan status baru seluruh tap MPR/MPRS yang telah ditetapkan bukan sebagai aturan perundangan lagi.
Hasil musyawarah MPR atas status tap MPR dan MPRS ditetapkan dalam sidang tahunan MPR tahun 2003 yang dikenal dengan tap sapujagad. Tap MPR nomer 1/MPR/2003 Tentang: Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Diputuskan tentang status baru 139 tap MPRS/MPR, dimana TAP MPRS/TAP MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan), TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan), TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8 Ketetapan), TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang (11 Ketetapan), TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 Ketetapan), TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 Ketetapan).
(-Assiddiqie, Jimly. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta : FH UII Press.
-M. Mahfud MD. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta : LP3ES.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar