Kamis, 05 Agustus 2010

Untuk para suami yang mendurhakai para istri dan lalai atas kewajibannya

Risalah Untuk Adam, Imam Hawa.


Adam...
Apa yang kau pikirkan ketika engkau memutuskan untuk hidup bersama hawa? Apa yang membuatmu bisa mengambil keputusan untuk menyandingkan seorang hawa denganmu dalam bentuk sebuah keluarga? Pertimbangan apa yang engkau dapat hingga engkau berani meminta hawa untuk bersanding denganmu?
Adam...
Janji apa yang kau ikrarkan ketika engkau meminang hawa dan mengikatnya dalam benang pernikahan? Benang yang mengikat hawa, dunia dan akhiratnya? Benang yang kuat dengan campuran keimanan padaNya dan kesalingpercayaan, dan rapuh dengan sedikit percikan emosi dan keegoisan...
Adam...
Manisnya kata-katamu saat meminta kesediaan hawa tuk bersanding denganmu, terkadang hanyalah sebuah topeng yang engkau gunakan untuk bisa menjatuhkan hawa dan hatinya dalam genggamanmu, untuk kebanggaanmu semata.
Adam...
Ketika ada retak dalam rumah tangga, engkau menuding hawa sebagai biang keladi. Engkau limpahkan semua salah padanya. Tak jarang cacian dan makian engkau nyanyikan dalam kehidupan hawa kala itu. Terkadang lagu dengan ritme yang menghentak dan menyesakkan pun engkau iringi dengan tamparan.
Adam...
Sadarkah engkau, hawa adalah seseorang yang pertanggungannya adalah kewajiban bagimu? Dan pendidikannya adalah tanggung jawabmu, apa engkau tahu itu? Pahamkah engkau dengan ketentuan Tuhanmu?
Adam...
Sekuat apapun seorang hawa, setangguh apapun seorang hawa, ia tetaplah makhluk yang rapuh. Seseorang yang diciptakan untuk menjadi pelengkap bagi hidupmu, demikian pula sebaliknya. Tuhanmu tidak menjadikan kaumku sebagai pelayan bagimu. Seseorang yang melayani dan menuruti semua perintah dan kemauanmu.
Adam...
Tidak tahukah engkau sakit yang ditahan oleh kaumku dengan semua tindak tak bijakmu dan penindasan yang selama ini engkau lakukan? Alasan mengapa kaumku menyerukan gerakan emansipasi. Aku dan kaumku yang seharusnya engkau jaga dan engkau lindungi, malah engkau telantarkan dan engkau injak-injak harga dirinya.
Adam...
Tahukah engkau, aku dan kaumku marah! Saat anak-anakku tak secemerlang yang engkau harapkan, engkau bilang itu adalah salah ibunya. Saat anak-anakku tergeletak sakit, engkau hanya menengoknya, bukan mendampinginya. Dan engkau bilang, ini adalah keteledoran ibunya. Bila semuanya adalah karena ibu, kapankah ayah menjadi alasan dalam permasalahan? Dimana peranmu bila semuanya adalah kesalahan hawa, sang ibu?
Adam...
Salahkah aku dan kaumku yang menuntut kebebasan yang sama denganmu? Salahkah aku dan kaumku bila aku bertindak sepertimu? Salahkah aku dan kaumku yang juga ingin berkembang dan berkarya dalam kehidupan yang lepas dari semua beban yang engkau tanggungkan keatas pundak kami? Salahkah kami menyeru emansipasi, penyetaraan gender dan lain sebagainya?
Adam...
Engkau adalah pelindung, imam yang memimpin aku dan kaumku hingga akherat. Seseorang yang kami lihat dan kami tiru pada akhirnya... Pernahkah engkau menyadari bahwa aku dan kaumku begini adalah kesalahanmu dan kaummu? Saat anak-anakku salah, mungkin benar itu adalah salah dariku dan kaumku. Sebuah kelemahan dan keteledoranku dan kaumku untuk menjaga dan mendidik serta membimbing langkah mereka. Tapi adam, ketika seorang hawa bersalah, pernahkah engkau berfikir tentang ketidakmampuanmu dan keteledoranmu dalam membimbing dan mendidiknya?
Adam...
Engkau terlalu angkuh untuk mengetahui dan mengakui kesalahanmu. Engkau bijak dalam pandangan masyarakatmu, tapi dalam rumah tangga, engkau telantarkan aku dan kaumku. Engkau tidak adil!!! Engkau selalu menuntut kesempurnaanku dan kaumku tanpa mau membaca cacat yang engkau miliki. Engkau tidak adil!
Adam...
Inilah perasaan hawa. Teriakan yang terkubur diantara senyum yang dipaksakan, yang selalu tersuguhkan padamu. Kenyataan yang engkau sendiri gelap mata untuk menyadari dan mengakuinya. Hawa juga insan yang rapuh dan bisa tergelincir dalam jalan yang salah. Hawa juga tidak sempurna, dam.
Adam...
Apa aku dan kaumku salah mempercayaimu dan kata-katamu, hingga sebegitu yakin padamu dan mau hidup bersamamu? Apa aku dan kaumku salah menilaimu dan kesungguhanmu?
Adam...
Pun aku dan kaumku merindukan sebuah keridhoan dariNya. Pun aku dan kaumku tidak pernah menginginkan keretakan sedikitpun dalam istana yang kita bangun bersama. Pun aku dan kaumku tidak ingin durhaka padamu, sedikitpun kami takut seperti itu. Tapi dam, engkau mendurhakai hak-hakku dan kaumku serta lalai dengan kewajibanmu... engkau terlalu sombong untuk mendengar peringatanku dan kaumku, terlalu tuli untuk mendengar teguran kami.
Adam...
Kembalikan kami pada tempat dimana kami seharusnya berada. Kembalikan kami pada apa yang telah ditentukan olehNya, kodrat kami yang hakiki.
Insaflah dam...

1 komentar: