a.Kasus :
Plagiatisme di PT sudah jadi budaya
GEMA- Penjiplakan yang semestinya dihindari di dunia akademik justru semakin merebak di perguruan tinggi. Pelakunya bukan hanya mahasiswa, tetapi juga dosen, guru besar dan calon guru besar dengan berbagai modus. Plagiatisme atau penjiplakan hasil karya orang lain masih menjadi persoalan serius di perguruan tinggi (PT), karena tidak mudah untuk mengetahui apakah suatu jarya plagiatisme atau bukan.
“Plagiatisme di Perguruan Tinggi saat ini sudah menjadi bagian dari budaya yang menjadi penyakit sosial atau patologi sosial,”kata Sentot Prihandayani Sugiti Komarudin, narasumber dialog terbuka yang diadakan oleh mahasisiwa ekstrakampus UIN Maliki di gedung pertemuan perpustakaan lantai 2(27/3).
Menurut dia, plagiatisme selama ini susah dideteksi, sebab hanya diketahui oleh penulis yang bersangkutan atau saksi korban plagiatisme. Namun hal itu bisa diketahui seandainya saksi korban melaporkan karya tersebut.
Ia mengatakan, kasus plagiatisme secara sederhana ditemui dalam kehidupan mahasiswa, yakni saat mengerjakan tugas. Mereka biasanya langsung mencomot artikel dari buku atau internet tanpa menyebutkan sumbernya.
“Hal itu juga termasuk plagiatisme, meskipun plagiatisme terbagi menjadi beberapa tingkatan, misalnya plagiatisme mutlak yang menjiplak seluruh karya orang lain atau mengambil beberapa bagian saja,”katanya.
Akan tetapi, kata dia, pihaknya tetap optimis bahwa plagiatisme dapat dicegah dan diantisipasi, salah satunya dengan melakukan pengetatan pemeriksaan hasil karya tulis yang diajukan.
“para dosen harus melakukan kembali cara tradisional, yakni membaca dan meneliti secara seksama hasil karya tulis mahasiswa secara keseluruhan, tidak hanya discan lalu selesai,”katanya.
Meskipun sudah dilakukan pengetatan, kata dia, plagiatisme masih dimungkinkan lolos, sehingga sikap disiplin, sadar diri dan bangga terhadap hasil karya sendiri harus diterapkan pada seluruh pihak.
“negara-negara maju, seperti Belanda, telah mengadobsi software khusus untuk mendeteksi plagiatisme, dan plagiatisme ditoleransi maksimal 10 persen, lebih dari itu otomatis karya akan tertolak,”katanya.
Penerapan sanksi, tambah dia, sebenarnya sudah cukup ampuh untuk mencegah plagiatisme, misalnya sanksi yang diberikan kepada dosen atau pengajar yang melakukan plagiatisme, tentunya tergantung kadar plagiatisme yang dilakukan.
“sanksi bagi plagiator sebenarnya sudah ada dalam undang-undang, namun pelaksanaannya masih lemah sekali, kalau tidak ada pengaduan tidak akan diurus,”terangnya serius. (aj/rie)
(GEMA EDISI : 46 , Maret-April 2010)
b.Alur/kronologi kasus
Peraturan keperdataan yang berkaitan dengan kasus :
KUHPer :
Pasal 529 KUHPer
Pasal 548 KUHPer
Pasal 557 KUHPer
Pasal 570 KUHPer
Pasal 572 KUHPer
Pasal 584 KUHPer
Pasal 612 KUHPer
UU nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta :
Pasal 2 ayat (1)
Pasal 3 ayat (1),(2)
Pasal 12
Pasal 15
Pasal 26 ayat (1)
c.Konsep hukum perdata
Dalam hidup, manusia banyak dipengaruhi oleh hukum. Meski dalam masyarakat beredar suatu pendapat bahwa hidup dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu hukum dan ekonomi. Kenyataannya, ekonomi juga diatur oleh hukum sehingga muncul hukum-hukum ekonomi dari teori-teori ekonomi yang ada saat ini.
Hukum ada untuk mengatur manusia, sehingga tercipta kondisi masyarakat yang tertib dan teratur. Hal ini merupakan tujuan keberadaan hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Hukum yang dituang dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun norma-norma masyarakat, bertujuan untuk menertibkan dan melindungi hak-hak dalam masyarakat.
Van Doorn, sosiolog hukum Belanda, mengutarakan bahwa hukum adalah skema yang dibuat untuk menata (perilaku) manusia, tetapi manusia sendiri cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan baginya. Ini disebabkan faktor pengalaman, pendidikan, tradisi, dan lain-lain yang mempengaruhi dan membentuk perilakunya.1 Kehidupan hukum tidak hanya menyangkut urusan hukum teknis, seperti pendidikan hukum, tetapi menyangkut pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan social yang lebih luas.2
Dalam dunia pendidikan, penulisan karya ilmiah adalah suatu hal yang mutlak ada sebagai bukti keilmuan seseorang. Dunia pendidikan memperkenalkan dunia riset, yang berunsurkan analisa dan data. Dalam melakukan riset, tidak hanya mengamati dan mendata, tetapi terdapat pula usaha pengembangan data. Pengembangan inilah yang menjadi suatu inovasi dan memunculkan hal baru, baik berupa gagasan maupun teori.
Tetapi dalam penulisan karya ilmiah, tak jarang terjadi suatu tindakan dimana ide-ide yang dituang dalam karya ilmiah bukan merupakan hasil riset yang telah dilaksanakan. Pembuatan karya tulis ilmiah dalam dunia akademik merupakan suatu bukti kompetensi seorang akademika. Sehingga mengutip karya tulis atau ide orang lain menjadi salah satu jalan pintas peletakan ide, konsep maupun analisa dalam karya tulis ilmiah. Disinilah sering terjadi suatu permasalahan manakala kutipan yang diambil dari suatu karya tertentu tidak memberikan penjelasan asal ide tersebut. Hal ini yang kemudian dikenal dengan sebutan tindakan plagiat.
Dan yang terjadi adalah sebuah pengakuan terhadap karya “curian” tersebut sebagai milik akademika yang telah menelurkan karya tersebut. Dan disini sering timbul suatu permasalahan tentang kepemilikan sebenarnya secara yuridis terhadap karya tulis ilmiah yang telah disiarkan kepada khalayak. Sehingga terjadi suatu tindakan saling klaim terhadap suatu karya tulis ilmiah.
Dari uraian diatas dapat kita ambil suatu kasus keperdataan terhadap kepemilikan suatu karya tulis ilmiah yang menggunakan kutipan yang tidak dengan menyertakan sumber saduran atau kutipannya.
Indonesia adalah Negara hukum. Hal ini tertera dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (2). Pasal ini menunjukkan suatu penekanan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum. Tentang tindakan plagiat yang kini marak di dunia akademis, pemerintah Indonesia telah mengatur suatu mekanisme hukum untuk melindungi pemilik ciptaan yang dituang dalam undang-undang hak cipta dan undang-undang tentang hak kekayaan intelektual lainnya.
Tetapi sejauh ini, tindak penegakan hukum belum benar-benar dilakukan. Sehingga tindak plagiat ini kian menjamur, mendarah daging dan membudaya di dalam dunia pendidikan, khususnya dalam penulisan karya tulis ilmiah. Ndraha mengelompokkan budaya menjadi budaya kuat, budaya sedang dan budaya lemah.3 Maka bila tidak dilakukan tindakan hukum yang tegas terhadap tindak plagiat ini, maka budaya plagiat akan menjadi kuat dengan cara semakin banyak masyarakat yang melakukan tindakan tersebut. Dalam hal ini budaya yang dimaksud adalah budaya hukum dalam masyarakat, tepatnya budaya sadar hukum.4
Pada KUHPer ditentukan macam-macam hak kebendaan5 adalah :
1.Hak menguasai (bezit),
2.Hak milik,
3.Hak waris,
4.Hak pakai hasil,
5.Hak pengabdian tanah atau hak pengabdian pekarangan
6.Hak gadai
7.Hipotek,
8.Hak numpang karang,
9.Hak usaha,
10.Bunga tanah, dan
11.Hak pakai dan hak mendiami.
Dalam pasal 3 ayat (1) UU nomoor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta, hak cipta dinyatakan sebagai benda bergerak.
Mengenai hak milik, pada pasal 570 KUHPer, hak milik dibatasi penggunaannya pada tiga hal,yaitu 1. tidak bertentangan dengan UU, 2. ketertiban umum, dan 3. hak-hak orang lain. Sedang pembatasan hak milik pada UU nomor 5 tahun 1960 hanya terkait dengan fungsi social. Maka dapat disimpulkan bahwa menggunakan hak milik harus memperhatikan empat hal berikut ini :
a.Ketentuan hukum yang berlaku,
b.Ketertiban umum,
c.Hak-hak orang lain, dan
d.Fungsi social.6
Suatu hak milik, memiliki ciri-ciri :
1.Merupakan hak pokok terhadap hak-hak lain yang sifatnya terbatas,
2.Merupakan hak yang paling sempurna,
3.Bersifat tetap, dan
4.Merupakan inti dari hak-hak kebendaan yang lain.7
Selain ciri-ciri tersebut diatas, hak milik juga memiliki sifat elastic, artinya bila diberi tekanan (dibebani dengan hak kebendaan yang lain) menjadi lekuk, sedang bila tekanan ditiadakan menjadi penuh kembali.8
Pada pasal 584 KUHPer, ditentukan lima cara memperoleh hak milik, yaitu sebagai berikut :
1.Pendakuan (toeeigening),
2.Pelekatan (natrekking),
3.Kedaluarsa (verjaring),
4.Pewarisan,dan
5.Penyerahan (lavering).9
Hak milik dapat dihapus karena : 1) orang lain memperoleh hak milik dengan salah satu cara memperoleh hak milik, 2) musnahnya benda,3) pemilik melepaskan benda tersebut, dan 4) benda tersebut menjadi liar.10
e.Analisis kasus
Bila diusut ulang maka hak milik benda tersebut bermula dari kepemilikan buku dan bukan kepemilikan karya. Hal inilah yang dalam pasal 542 KUHPer disebut dengan bezit atau penguasaan benda. Dan dari penguasaan benda tersebut, pada pasal 548 menyatakan bahwa dengan itikad baik, bezit memberi hak pada pemegang barang yang berupa :
1. untuk dianggap sebagai pemilik barang untuk sementara, sampai saat barang itu dituntut kembali di muka Hakim;
2. untuk dapat memperoleh hak milik atas barang itu karena lewat waktu;
3. untuk menikmati segala hasilnya sampai saat barang itu dituntut kembali di muka hakim;
4. untuk mempertahankan besitnya bila ia digangu dalam memegangnya, atau dipulihkan kembali besitnya bila ía kehilangan besitnya itu.
Dalam kasus ini bezit atau penguasaan benda diberikan kepada pembeli atas benda yang dibelinya, yang dalam hal ini berupa buku. Tetapi tidak dengan isi buku tersebut yang merupakan hak milik pengarang atau disebut juga dengan hak cipta. Berkaitan dengan penguasaan benda tersebut, pada pasal 557 KUHPer disebutkan “Tuntutan untuk mempertahankan besit dapat diajukan terhadap orang-orang yang mengganggu pemegang besit dalam memegang besit itu, bahkan terhadap pemilik barang itu, tetapi tanpa mengurangi hak pemilik itu untuk mengajukan tuntutan berdasarkan hak miliknya. Bila besit itu diperoleh dari pinjam pakai, dengan pencurian atau kekerasan, maka pemegang besit tidak bisa mengajukan tuntutan untuk dipertahankan dalam besitnya terhadap orang dari siapa besit itu diperolehnya atau dari orang dari siapa besit itu diambil.”
Pada pembahasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa karya atau ide yang tertulis pada buku tersebut secara otomatis penguasaannya mengikuti penguasaan terhadap bendanya. Tetapi kepemilikannya tidak mengikuti penguasaan tersebut.
Pada pasal 570 dikemukakan tentang definisi hak milik dan batasan-batasannya. Yang mana hak milik adalah “Hak milik adalah hak untuk menikmati suatu barang secara lebih leluasa dan untuk berbuat terhadap barang itu secara bebas sepenuhnya, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh kuasa yang berwenang dan asal tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu tidak mengurangi kemungkinan pencabutan hak demi kepentingan umum dan penggantian kerugian yang pantas, berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan.”
Pada pasal 572 KUHPer dinyatakan bahwa hak milik harus dianggap bebas. Sehingga pemilik dapat menggunakannya dengan bebas dan dengan kekuasaan seluas-luasnya dengan tanpa melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku dan batasan-batasannya. Maka, barang siapa menyatakan mempunyai hak kepemilikan atas barang orang lain, harus membuktikan hak itu.
Kepemilikan atas duplikat ide tersebut yang berupa buku atau sesuatu yang dapat dimiliki oleh orang lain dengan berupa benda, merupakan kepemilikan pembeli yang menjadi pemilik sah buku yang diperolehnya dengan cara-cara yang dibenarkan oleh hukum. Maka ia dapat menggunakan buku tersebut secara maksimal, sesuai dengan ketentuan hukum. Tetapi kepemilikan isi buku tersebut adalah milik pengarang yang mana ia melahirkan atau memunculkan idenya yang berupa tulisan tersebut.
Mengenai penduplikatan isi buku atau ide tersebut, dengan berdasarkan pada perjanjian antara penulis dengan pihak penerbit buku, maka hak publikasi atau membuat salinan isi buku tersebut menjadi hak milik perusahaan penerbit. Maka bila ada pihak lain yang bermaksud menggandakan isi buku tersebut harus mendapatkan ijin dari pihak pemegang lisensi penggandaan buku atau suatu karya tersebut.
Cara-cara bagaimana perolehan hak milik, diatur dalam pasal 548 KUHPer ini. Dalam pasal 3 ayat (1) UU nomor 19 Tahun 2002 tentang hak cipta, hak cipta dinyatakan sebagai benda bergerak. Maka hak cipta dapat dimiliki dan dialihkan sebagaimana hak milik. Pada dasarnya tulisan merupakan benda yang tak bertubuh maka penyerahannya dilakukan dengan penyerahan yang nyata oleh atau atas nama pemilik. Hal ini terdapat dalam pasal 612 KUHPer. Yang dengan jelas bahwa penyerahan tulisan tersebut kepada orang lain atau ditulis ulang dalam bentuk lain harus mencantumkan nama pemilik tulisan, yang dengan kata lain harus mencantumkan nama penulis atau pengarang karya tulis tersebut.
Pada pasal 2 ayat (1) UUHC, diterangkan tentang definisi hak cipta secara khusus yang isinya bahwa Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang mana pengalihan hak cipta, dalam hal penggandaan suatu karya tulis atau kekayaan intelektual lainnya, dapat dilakukan dengan pemberian lisensi atau perijinan kepada suatu pihak tertentu yang hal ini diatur dalam suatu kesepakatan antara pihak pemegang hak milik dengan pihak lain yang akan menerima pengalihan hak cipta tersebut.
Maka jelaslah bahwa penggandaan atau duplikasi menjadi wewenang pihak penerima hak cipta. Dan barang siapa yang hendak menggandakan seluruh atau sebagian dari karya yang hak ciptanya dalam penguasaan suatu pihak tertentu, maka harus mendapatkan izin dari pihak pemegang lisensi hak cipta tersebut.
Pada pasal 3 ayat (2) UUHC, dijelaskan mengenai macam-macam cara pengalihan hak cipta. Dan salah satunya sudah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, yaitu dengan suatu perikatan atau perjanjian. Pada pasal 12 dijabarkan tentang macam-macam hak cipta yang dilindungi oleh hokum dan ketentuan-ketentuannya. Dan isi pasal tersebut adalah :
(1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
a. buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
b. ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
c. alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
d. lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
e. drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
f. seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
g. arsitektur;
h. peta;
i. seni batik;
j. fotografi;
k. sinematografi;
l. terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.
Dengan berdasarkan pada pasal 612 KUHPer, maka penggandaan barang tanpa mencantumkan nama pemilik adalah suatu tindak pelanggaran terhadap hak cipta. Tetapi dalam UUHC pasal 15, pemerintah Indonesia membuat suatu pengecualian terhadap tindakan ini. Dan isi dari pasal tersebut adalah :
“Dengan syarat bahwa sumbernya harus disebutkan atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta:
a. penggunaan Ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta;
b. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar Pengadilan;
c. pengambilan Ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna keperluan:
(i) ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu pengetahuan; atau
(ii) pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta.
d. Perbanyakan suatu Ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra dalam huruf braille guna keperluan para tunanetra, kecuali jika Perbanyakan itu bersifat komersial;
e. Perbanyakan suatu Ciptaan selain Program Komputer, secara terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-mata untuk keperluan aktivitasnya;
f. perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis atas karya arsitektur, seperti Ciptaan bangunan;
g. pembuatan salinan cadangan suatu Program Komputer oleh pemilik Program Komputer yang dilakukan semata-mata untuk digunakan sendiri.”
Maka sudah jelas bahwa tindak pengutipan suatu karya tulis tanpa mencantumkan nama pemilik hak cipta atas karya tersebut adalah suatu pelanggaran atas hak cipta. Dan mengenai kepemilikan karya tersebut adalah menjadi hak milik pemegang hak cipta. Dan karya turunan yang merupakan hasil jiplakan tanpa identitas sumber idenya, akan kembali kepada pemilik hak cipta sebatas bagian yang merupakan kutipan tersebut. Dan apabila merugikan pihak pemegang hak cipta, maka pihak tersebut dapat melakukan wanprestasi atas tindakan pengkutipan tersebut.
f.Kesimpulan
Kepemilikan karya tulis yang mengkutip karya orang lain tanpa mencantumkan nama pemiliknya dapat diperkarakan oleh pemilik karya tulis apabila hal tersebut merugikan dan termasuk perkara wanprestasi. Dan pengutipan tanpa mencantumkan nama pemilik atau penulis atau sumber pengambilan data (source of data) adalah suatu tidakan yang melanggar ketentuan pasal 612 KUHPer dan pasal 15 UUHC.
Pada dasarnya kepemilikan suatu karya tulis yang berupa tulisan tersebut tidak secara otomatis berpindah dengan berpindahnya kepemilikan buku. Tetapi penguasaannya mengikuti berpindahnya penguasaan bendanya. Adapun ciri-ciri hak milik adalah ;
1.Merupakan hak pokok terhadap hak-hak lain yang sifatnya terbatas,
2.Merupakan hak yang paling sempurna,
3.Bersifat tetap, dan
4.Merupakan inti dari hak-hak kebendaan yang lain.
Selain ciri-ciri tersebut diatas, hak milik juga memiliki sifat elastic, artinya bila diberi tekanan (dibebani dengan hak kebendaan yang lain) menjadi lekuk, sedang bila tekanan ditiadakan menjadi penuh kembali. Adapun batasan-batasan terhadap hak milik dapat ditemukan dalam pasal 570 KUHPer yang ditambah dengan ketentuan pada UU nomer 5 tahun 1960, yaitu sebagai berikut :
a.Ketentuan hukum yang berlaku,
b.Ketertiban umum,
c.Hak-hak orang lain, dan
d.Fungsi social
Mengenai ketentuan pemindahan hak milik, diatur dalam pasal 548 KUHPer. Dan ketentuan pemindahan atau pengalihan hak cipta diatur dalam pasal 3 ayat (2) UU no 19 tahun 2002 tentang hak cipta.
Daftar pustaka
Mulyadi, Kartini, Widjaja, Gunawan. 2003. Seri Hukum Harta Kekayaan : Kebendaan Pada Umumnya. Jakarta : Kencana
Ndraha, Taliziduhu. 1997. Budaya Organisasi. Jakarta : PT Rineka Cipta
Rahardjo,Satjipto. 2008. Membedah Hukum Progresif. Jakarta : Kompas
Riswandi, Budi Agus, M, Syamsudin. 2005. Hak Kekayaan Intelektual Dan Budaya Hukum. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Salim H.S. 2006. Pengantar Hukum Perdata Tertulis(BW), Cet.4. Jakarta : Sinar Grafika.
Tutik, Titik Triwulan. 2008. Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta : Kencana.
Wanita diciptakan dengan kelembutan dan kasih sayang. lemah tapi tegar.Dimuliakan oleh Allah,dan disayangi oleh Rasulullah SAW.Diciptakan dari tulang rusuk adam,yang dekat dengan hati untuk dikasihi dan dicintai,dekat dengan tangan untuk dijaga dan dilindungi.Maka.... berbahagialah kamu wahai kaum wanita
Jumat, 25 Juni 2010
Senin, 21 Juni 2010
outline presentasi HTN
TEORI KEKUASAAN NEGARA
TEORI TEOKRASI
Teori ini beranggapan bahwa tindakan penguasa/negara selalu benar, sebab negara itu hasil ciptaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsungà penguasa itu berkuasa krn menerima wahyu dari Tuhan.
Secara tidak langsungà penguasa berkuasa krn kodrat Tuhan.
Teokrasi Langsung
Yang berkuasa di dlm negara adalah Tuhan secara langsung.
Adanya negara atas kehendak Tuhan dan yg memerintah adalah Tuhan.
Sebelum PD II, rakyat Jepang mengakui rajanya sebagai anak Tuhan.
Di Tibet, ada Pancen Lama dan Dalai Lama yg menamakan dirinya sbg Tuhan yg memperebutkan mahkota kerajaan Tibet.
Di Mesir Kuno, Firaun mengklaim dirinya sebagai Tuhan.
Teokrasi Tidak Langsung
Dikatakan tidak langsung krn bukan Tuhan sendiri yg memerintah melainkan raja atas nama atau pemberian Tuhan.
Raja dipandang sbg simbol yg diberikan tugas suci (mission sacred) sbg perintah Tuhan.
AGUSTINUS
“DE CIVITAS DEI”
Ada dua macam kehidupan yg berasal dari anak Adam (Abel/Habil dan Kain/Kabil)
Civitas Dei à Negara ciptaan Tuhan. Negara yg tunduk pd hukum-hukum dan kepemimpinan gereja.
Civitas Terrana/Diaboli à Negara duniawi atau buatan setan. Negara yg tidak mengikuti hukum-hukum gereja.
THOMAS AQUINAS
Tidak ada negara buatan setan. Semua negara merupakan perwujudan kehendak Tuhan.
Negara lahir dari pergaulan antarmanusia yg ditentukan oleh hukum dan tata alam. Shg, ada negara “Civitas Dei” dan “Civitas Terrana”.
Sebaik-baiknya negara adalah yg tunduk pada hukum-hukum gereja (Civitas Dei).
Tokoh Teori Teokrasi lainnya
FRIEDRICH JULIUS STAHL:
Negara lahir karena takdir Ilahi, termasuk kekuasaan yg dimiliki negara juga karena kehendak dan kekuasaan Tuhan.
FRIEDRICH HEGEL:
“The march of God in the world” à prilaku Tuhan di dunia.
TEORI KEKUATAN
Kekuasaan negara lahir dari mereka yg memiliki kekuatan, baik secara fisik, materi, maupun politik.
Kekuatan fisik à orang yg kuat dan berani.
Kekuatan materi/ekonomi à orang yg memiliki harta atau orang kaya.
Kekuatan politik à orang yg berpengaruh, baik kepandaian maupun karena keturunan bangsawan.
Teori Kekuatan Fisik
THOMAS HOBBES “Leviathan”
Dua macam status manusia: “status naturalis” yaitu status manusia sebelum ada negara, dan “status civilis” yaitu status manusia setelah ada negara sbg warga negara
Status naturalis à manusia sbg srigala terhadap manusia yg lain(homo homini lupus); perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes).
Raja adalah orang yg kuat fisiknya, yg melebihi kekuatan warga lainnya agar dpt mengatasi segala kekacauan yg timbul dlm masyarakat.
NICCOLO MACHIAVELLI
“Il Principle”
Raja harus kuat dan tahu cara mengatasi segala kekacauan yg dihadapi negara. Ia dpt mempergunakan segala alat yg menguntungkan baginya. Jika perlu, alat yg digunakan boleh melanggar perikemanusiaan.
Demi mencapai tujuan (keutuhan negara) segala cara dapat digunakan. à “Tujuan menghalalkan cara”.
Tokoh Lain Penganut Teori Kekuatan
LEON DUGUIT:
Mereka yg paling kuat (lesplus forts) yg dpt memaksakan kehendaknya kpd pihak lain, baik karena faktor fisik, intelegensia, ekonomi, maupun agama.
FRANZ OPPENHEIMER:
Negara merupakan susunan masyarakat yg oleh golongan yg menang dipaksakan kpd golongan yg ditaklukkan dgn maksud utk mengatur kekuasaan golongan yg satu atas golongan yg lain dan melindungi terhadap ancaman pihak lain.
Teori Kekuatan Ekonomi
KARL MARX:
Negara merupakan alat kekuasaan bagi segolongan manusia dlm masyarakat utk menindas golongan lainnya guna mencapai tujuan.
Dalam negara, masyarakat terbagi dlm dua kelas yg saling bertentangan, yaitu kaum yg ekonominya kuat dan kaum ekonomi lemah.
Pertentangan antara kedua kelas itu, tidak lain untuk merebut kekuasaan dlm negara, sebab negara adalah alat kekuasaan.
Teori Kekuatan Politik
Patriarchaal à yg memerintah dlm negara adalah orang yg kuat dlm arti berpengaruh krn berjasa dan bijaksana dlm sikap bagi semua warganya. Jika raja meninggal maka raja yg menggantikan akan mewarisi semua kekuasaan yg ada pada raja sebelumnya.
Patrimonial à “patrimonium” atau kepemilikan.
TEORI PERJANJIAN
THOMAS HOBBES
Manusia selalu hidup dalam ketakutan.
Untuk melindungi masyarakat, maka diadakan perjanjian untuk membentuk kolektivitas/kelompok antara rakyat dgn rakyat itu sendiri (pactum uniones). Kemudian perjanjian penyerahan kedaulatan antara wakil rakyat dgn raja (pactum subjectiones).
Akibat adanya pactum subjectiones maka raja berkuasa mutlak. Sehingga negara yg dihasilkan dari konstruksi ini disebut “Monarchie Absolut”.
JOHN LOCKE
Perjanjian antara wakil rakyat dgn raja bukanlah perjanjian penyerahan kedaulatan, tetapi raja berjanji untuk melindungi hak-hak asasi rakyat.
Pactum uniones dan pactum subjectiones sama kuatnya.
Raja terikat oleh perjanjian tsb. Kekuasaan raja terbatas pada ruang lingkup perjanjian yg dibuat, shg apabila raja bertindak sewenang-wenang maka rakyat dpt meminta pertanggungjawabannya.
Negara yg lahir dari konstruksi ini disebut “Monarchie Constitutional”.
J.J. ROUSSEAU
Tidak ada perjanjian penyerahan kedaulatan kepada raja.
Kedaulatan tetap berada di tangan rakyat sbg kemauan umum (volonte generale)
Raja atau pemerintah (volonte de corps) merupakan mandataris rakyat. Ia harus melaksanakan amanat rakyat.
Negara yg lahir dari konstruksi ini disebut “Negara Demokrasi”.
TEORI ETIKA
PLATO & ARISTOTELES à manusia tidak memiliki arti dlm hidupnya apabila tidak bernegara. Negara merupakan hal mutlak, maka segala tindakan negara dpt dibenarkan.
IMMANUEL KANT à tanpa negara manusia tidak dpt tunduk pd hukum-hukum yg ada, krn negaralah yg menegakkan hukum itu.
CHRISTIAN WOLFT à keharusan utk membentuk negara merupakan keharusan moral yg tertinggi.
TEORI ABSOLUT
FRIEDRICH HEGEL:
Manusia mutlak hidup dlm suatu negara karena manusia bertujuan utk kembali kpd cita-cita yg absolut yaitu negara.
Tindakan negara dibenarkan krn negara yg dicita-citakan oleh manusia.
TEORI PSIKOLOGI
Alasan pembenaran kekuasaan negara adalah berdasarkan pd unsur psikologi manusia, misalnya krn rasa takut, rasa kasih sayang, dll.
Jadi, orang membentuk negara krn secara psikologis memang dibutuhkan untuk memberi rasa aman, tentram, dll.
Pengertian
FUNGSI NEGARA
Untuk apa organisasi negara dibentuk.
Apa yang menjadi tugas negara.
TUJUAN NEGARA:
Untuk mengetahui ke arah mana organisasi (negara) ditujukan.
Sebagai visi negara.
Menjadi pedoman bagaimana negara disusun dan dikendalikan.
Fungsi Negara
Diplomacie (penghubung antarnegara).
Difencie (hankam).
Financie (menyediakan keuangan negara).
Justicie (menjaga ketertiban perselisihan antar warganegara dan urusan dalam negara.
Policie (mengurus kepentingan negara yang belum menjadi wewenang dari departemen lainnya)
(1)
Abad ke-XVI
di Perancis
Fungsi Negara
Fungsi Legislatif (membuat peraturan).
Fungsi Eksekutif (melaksanakan peraturan).
Fungsi Federatif (mengurusi urusan luar negeri, perang, dan urusan damai.
(2)
John Locke
Fungsi Negara
Fungsi Legislatif (membuat undang-undang).
Fungsi Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
Fungsi Yudisial/Fungsi Mengadili (mengawasi agar semua peraturan ditaati).
(3)
Montesqueui (Trias Politica)
Fungsi Negara
Regeling (membuat peraturan).
Bestuur (menyelenggarakan pemerintahan).
Rechtspraak (mempunyai fungsi mengadili).
Politie (mempunyai fungsi ketertiban dan keamanan).
(4)
Van Vollenhoven
Fungsi Negara
Policy Making (kebijaksanaan negara untuk waktu tertentu dan untuk seluruh masyarakat).
Policy Executing (kebijaksanaan yang harus dilaksnakan untuk tercapainya policy making)
(5)
Goodnow
Fungsi Negara
Melaksanakan penertiban (law and order).
Mengusahan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Pertahanan.
Menegakkan keadilan.
(6)
Miriam Budiarjo
Tujuan Negara
Negara mempunyai kekuasaan untuk menghindari kekacauan dan anarkis.
Pemerintahan Pusat harus kuat.
Bertujuan memperbesar dan menggunakan kekuasaan.
(A)
Kekuasaan Negara (Lord Shang)
Tujuan Negara
Mempertahankan dan memelihara agama
Memelihara hak-hak rakyat dan hukum Tuhan.
Melaksanakan kepastian hukum.
Melindungi wilayah Islam dan kehormatan rakyat.
Jihad terhadap orang yang menentang Islam.
Membentuk kekuatan menghadapi musuh.
Memungut pajak dan sedekah sesuai syara’.
Mengatur penggunaan harta baitul maal.
Meminta nasihat dan pandangan dari orang terpercaya.
Dalam memelihara agama dan rakyat, pemerintah dan kepala negara harus langsung menangani dan meneliti keadaan yang sebenarnya.
(B)
Pemeliharaan Agama dan Kesejahteraan Rakyat (Juris Sunni)
Tujuan Negara
Raja disarankan mengabaikan kesusilaan dan agama.
Raja harus licik dan tidak perlu menepati janji.
Raja dapat menghalalkan segala cara.
Raja harus ditakuti rakyat.
Kekuasaan sebagai perantara, tujuan akhir terciptanya kebesaran dan kehormatan.
(c)
Kebesaran dan Kehormatan Negara (Niccolo Machiavelli)
Tujuan Negara
Mewujudkan perdamaian dunia.
Menciptakan UU yang seragam bagi seluruh umat manusia.
Kekuasaan di tangan raja.
Memperbersihkan perebutan kekuasaan
Tujuan negara untuk kepentingan publik dan bukan perseorangan.
(D)
Perdamaian Dunia (Dante Alleghiere)
Tujuan Negara
Semua orang merdeka dan sederajat.
Negara hanya sebagai penjaga ketertiban dan pelindung hak masyarakat.
Teori negara hukum formil.
Melahirkan konsep ekonomi liberal dengan semboyan persaingan bebas yang dijalankan dunia Barat sampai PD I..
(E)
Penjamian Hak dan Kebebasan (Immanuel Kant)
Fungsi dan Tujuan Negara RI
Fungsi:
Legislatif
Eksekutif
Yudisial
Pembagian kuasaan, dan bukan pemisahan kekuasaan.
Negara hukum Pancasila dan UUD 1945.
Tujuan:
Pembukaan UUD 1945 Alinea keempat
Negara hukum Pancasila dan UUD 1945.
Pengantar
■ Pembagian Kekuasaan
Dlm rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat
Mencegah kesewenang-wenangan penguasa
Fungsi Kekuasaan → Lembaga-lembaga Negara
■ Hubungan Kekuasaan
Horisontal → hubungan antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial
Vertikal → hubungan yang bersifat atasan dan bawahan, dalam arti antara pemerintah pusat dan pemda. Didalamnya terdapat semacam pembagian kerja antara pusat dan daerah
Teori Pembagian Kekuasaan
JOHN LOCKE
“TWO TREATIES ON CIVIL GOVERNMENT”
1.Eksekutif → melaksanakan UU
2.Federatif → hubungan luar negeri
3.Legislatif → pembuatan UU
Montesqueui “L’Esprit des Lois” Trias Politica
Ajaran ini mempengaruhi banyak negara, meski tdk dianut sepenuhnya oleh USA. Berfungsi sebagai “check and balance”.
Indonesia bukan menggunakan separation of power, tetapi distribution of power.
Ajarannya: legislatif, eksekutif, yudisial
Konsep “Caturpraja” van Vollenhoven
Bestuur (pemerintahan dlm arti sempit) → ajaran ini sering disebut teori residu (sisa) krn tdk termask politie, rechtspraak dan regeling.
Politie, kekuasaan yg memaksa pendd taat pd tata tertib hkm, serta preventieve rechtszorg, mengadakan pencegahan spy tata tertib masy tetap terpelihara
Rechtspraak (peradilan)
Regeling (pengaturan)
Konsep Panca Praja dari Lemaire
Bestuurszorg (melaksanakan kesejahteraan umum)
Bestuur (menjalankan UU)
Kepolisian
Mengadili
Membuat Peraturan
Wilson dan Goodnow
Penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara, dijalankan oleh dua golongan/badan pemerintahan negara :
Kekuasaan Politics → menetapkan tujuan dan kebijakan negara
Administration → badan-badan pemerintahan yang melaksanakan tujuan dan kebijaksanaan negara
AM. Donner :
“Nederlands Bestuursrecht”
■ Politiek (menentukan tujuan/tugas)
■ Bestuur (mengimplementasikannya)
■ Politiek als ethiek (menetapkan haluan negara
/ politik sebagai etik)
■ Politiek als technik (melaksanakan haluan
negara / politik sebagai teknik)
Struktur Kelembagaan Negara
Sebelum Perubahan UUD 1945
Struktur Kelembagaan Negara
Setelah Perubahan UUD 1945
Lembaga-lembaga dlm Sistem Ketatanegaraan
Setelah Perubahan UUD 1945
Lembaga Negara → Presiden, MPR (DPD-DPR),
MK-MA, BPK
Lembaga Negara → KPU, (TNI/POLRI,
Kementerian Negara, Dewan
Pertimbangan), Bank Sentral,
KY, Badan-badan lain yg
fungsinya berkaitan dg kekuasaan
kehakiman,
Lembaga Daerah → Pem Prov, DPRD, Pem Da
(Kab/Kota)
Pembagian Kekuasaan sec. Vertikal
Pembagian Kekuasaan menurut tingkatnya
Dlm hal ini yg dimaksud adalah Pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan
Carl J. Friedrich memakai istilah Pembagian Kekuasaan sec. Teritorial (Teritorial division of Power)
Sbg contohnya dpt dilihat perbandingan antara negara Kesatuan, Federal dan Konfederasi
Dlm neg Kesatuan pembagian kekuasan sec vertikal melahirkan garis hub antara pusat dan daerah dlm sistem: Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Medebewind
Desentralisasi
Pasal 1 butir 7 UU No. 32/2004
►”Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Dekonsentrasi
Pasal 1 butir 8 UU No. 32/2004
► “Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepala instansi vertikal di wilayah tertentu.”
Medebewind (Tugas Pembantuan)
Pasal 1 butir 9 UU o. 32/2004
► “Penugasan dari Pemerintah kepada daerah* dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu.”
► (*daerah=Provinsi, Kabupaten, Kota)
TEORI TEOKRASI
Teori ini beranggapan bahwa tindakan penguasa/negara selalu benar, sebab negara itu hasil ciptaan Tuhan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Secara langsungà penguasa itu berkuasa krn menerima wahyu dari Tuhan.
Secara tidak langsungà penguasa berkuasa krn kodrat Tuhan.
Teokrasi Langsung
Yang berkuasa di dlm negara adalah Tuhan secara langsung.
Adanya negara atas kehendak Tuhan dan yg memerintah adalah Tuhan.
Sebelum PD II, rakyat Jepang mengakui rajanya sebagai anak Tuhan.
Di Tibet, ada Pancen Lama dan Dalai Lama yg menamakan dirinya sbg Tuhan yg memperebutkan mahkota kerajaan Tibet.
Di Mesir Kuno, Firaun mengklaim dirinya sebagai Tuhan.
Teokrasi Tidak Langsung
Dikatakan tidak langsung krn bukan Tuhan sendiri yg memerintah melainkan raja atas nama atau pemberian Tuhan.
Raja dipandang sbg simbol yg diberikan tugas suci (mission sacred) sbg perintah Tuhan.
AGUSTINUS
“DE CIVITAS DEI”
Ada dua macam kehidupan yg berasal dari anak Adam (Abel/Habil dan Kain/Kabil)
Civitas Dei à Negara ciptaan Tuhan. Negara yg tunduk pd hukum-hukum dan kepemimpinan gereja.
Civitas Terrana/Diaboli à Negara duniawi atau buatan setan. Negara yg tidak mengikuti hukum-hukum gereja.
THOMAS AQUINAS
Tidak ada negara buatan setan. Semua negara merupakan perwujudan kehendak Tuhan.
Negara lahir dari pergaulan antarmanusia yg ditentukan oleh hukum dan tata alam. Shg, ada negara “Civitas Dei” dan “Civitas Terrana”.
Sebaik-baiknya negara adalah yg tunduk pada hukum-hukum gereja (Civitas Dei).
Tokoh Teori Teokrasi lainnya
FRIEDRICH JULIUS STAHL:
Negara lahir karena takdir Ilahi, termasuk kekuasaan yg dimiliki negara juga karena kehendak dan kekuasaan Tuhan.
FRIEDRICH HEGEL:
“The march of God in the world” à prilaku Tuhan di dunia.
TEORI KEKUATAN
Kekuasaan negara lahir dari mereka yg memiliki kekuatan, baik secara fisik, materi, maupun politik.
Kekuatan fisik à orang yg kuat dan berani.
Kekuatan materi/ekonomi à orang yg memiliki harta atau orang kaya.
Kekuatan politik à orang yg berpengaruh, baik kepandaian maupun karena keturunan bangsawan.
Teori Kekuatan Fisik
THOMAS HOBBES “Leviathan”
Dua macam status manusia: “status naturalis” yaitu status manusia sebelum ada negara, dan “status civilis” yaitu status manusia setelah ada negara sbg warga negara
Status naturalis à manusia sbg srigala terhadap manusia yg lain(homo homini lupus); perang semua melawan semua (bellum omnium contra omnes).
Raja adalah orang yg kuat fisiknya, yg melebihi kekuatan warga lainnya agar dpt mengatasi segala kekacauan yg timbul dlm masyarakat.
NICCOLO MACHIAVELLI
“Il Principle”
Raja harus kuat dan tahu cara mengatasi segala kekacauan yg dihadapi negara. Ia dpt mempergunakan segala alat yg menguntungkan baginya. Jika perlu, alat yg digunakan boleh melanggar perikemanusiaan.
Demi mencapai tujuan (keutuhan negara) segala cara dapat digunakan. à “Tujuan menghalalkan cara”.
Tokoh Lain Penganut Teori Kekuatan
LEON DUGUIT:
Mereka yg paling kuat (lesplus forts) yg dpt memaksakan kehendaknya kpd pihak lain, baik karena faktor fisik, intelegensia, ekonomi, maupun agama.
FRANZ OPPENHEIMER:
Negara merupakan susunan masyarakat yg oleh golongan yg menang dipaksakan kpd golongan yg ditaklukkan dgn maksud utk mengatur kekuasaan golongan yg satu atas golongan yg lain dan melindungi terhadap ancaman pihak lain.
Teori Kekuatan Ekonomi
KARL MARX:
Negara merupakan alat kekuasaan bagi segolongan manusia dlm masyarakat utk menindas golongan lainnya guna mencapai tujuan.
Dalam negara, masyarakat terbagi dlm dua kelas yg saling bertentangan, yaitu kaum yg ekonominya kuat dan kaum ekonomi lemah.
Pertentangan antara kedua kelas itu, tidak lain untuk merebut kekuasaan dlm negara, sebab negara adalah alat kekuasaan.
Teori Kekuatan Politik
Patriarchaal à yg memerintah dlm negara adalah orang yg kuat dlm arti berpengaruh krn berjasa dan bijaksana dlm sikap bagi semua warganya. Jika raja meninggal maka raja yg menggantikan akan mewarisi semua kekuasaan yg ada pada raja sebelumnya.
Patrimonial à “patrimonium” atau kepemilikan.
TEORI PERJANJIAN
THOMAS HOBBES
Manusia selalu hidup dalam ketakutan.
Untuk melindungi masyarakat, maka diadakan perjanjian untuk membentuk kolektivitas/kelompok antara rakyat dgn rakyat itu sendiri (pactum uniones). Kemudian perjanjian penyerahan kedaulatan antara wakil rakyat dgn raja (pactum subjectiones).
Akibat adanya pactum subjectiones maka raja berkuasa mutlak. Sehingga negara yg dihasilkan dari konstruksi ini disebut “Monarchie Absolut”.
JOHN LOCKE
Perjanjian antara wakil rakyat dgn raja bukanlah perjanjian penyerahan kedaulatan, tetapi raja berjanji untuk melindungi hak-hak asasi rakyat.
Pactum uniones dan pactum subjectiones sama kuatnya.
Raja terikat oleh perjanjian tsb. Kekuasaan raja terbatas pada ruang lingkup perjanjian yg dibuat, shg apabila raja bertindak sewenang-wenang maka rakyat dpt meminta pertanggungjawabannya.
Negara yg lahir dari konstruksi ini disebut “Monarchie Constitutional”.
J.J. ROUSSEAU
Tidak ada perjanjian penyerahan kedaulatan kepada raja.
Kedaulatan tetap berada di tangan rakyat sbg kemauan umum (volonte generale)
Raja atau pemerintah (volonte de corps) merupakan mandataris rakyat. Ia harus melaksanakan amanat rakyat.
Negara yg lahir dari konstruksi ini disebut “Negara Demokrasi”.
TEORI ETIKA
PLATO & ARISTOTELES à manusia tidak memiliki arti dlm hidupnya apabila tidak bernegara. Negara merupakan hal mutlak, maka segala tindakan negara dpt dibenarkan.
IMMANUEL KANT à tanpa negara manusia tidak dpt tunduk pd hukum-hukum yg ada, krn negaralah yg menegakkan hukum itu.
CHRISTIAN WOLFT à keharusan utk membentuk negara merupakan keharusan moral yg tertinggi.
TEORI ABSOLUT
FRIEDRICH HEGEL:
Manusia mutlak hidup dlm suatu negara karena manusia bertujuan utk kembali kpd cita-cita yg absolut yaitu negara.
Tindakan negara dibenarkan krn negara yg dicita-citakan oleh manusia.
TEORI PSIKOLOGI
Alasan pembenaran kekuasaan negara adalah berdasarkan pd unsur psikologi manusia, misalnya krn rasa takut, rasa kasih sayang, dll.
Jadi, orang membentuk negara krn secara psikologis memang dibutuhkan untuk memberi rasa aman, tentram, dll.
Pengertian
FUNGSI NEGARA
Untuk apa organisasi negara dibentuk.
Apa yang menjadi tugas negara.
TUJUAN NEGARA:
Untuk mengetahui ke arah mana organisasi (negara) ditujukan.
Sebagai visi negara.
Menjadi pedoman bagaimana negara disusun dan dikendalikan.
Fungsi Negara
Diplomacie (penghubung antarnegara).
Difencie (hankam).
Financie (menyediakan keuangan negara).
Justicie (menjaga ketertiban perselisihan antar warganegara dan urusan dalam negara.
Policie (mengurus kepentingan negara yang belum menjadi wewenang dari departemen lainnya)
(1)
Abad ke-XVI
di Perancis
Fungsi Negara
Fungsi Legislatif (membuat peraturan).
Fungsi Eksekutif (melaksanakan peraturan).
Fungsi Federatif (mengurusi urusan luar negeri, perang, dan urusan damai.
(2)
John Locke
Fungsi Negara
Fungsi Legislatif (membuat undang-undang).
Fungsi Eksekutif (melaksanakan undang-undang).
Fungsi Yudisial/Fungsi Mengadili (mengawasi agar semua peraturan ditaati).
(3)
Montesqueui (Trias Politica)
Fungsi Negara
Regeling (membuat peraturan).
Bestuur (menyelenggarakan pemerintahan).
Rechtspraak (mempunyai fungsi mengadili).
Politie (mempunyai fungsi ketertiban dan keamanan).
(4)
Van Vollenhoven
Fungsi Negara
Policy Making (kebijaksanaan negara untuk waktu tertentu dan untuk seluruh masyarakat).
Policy Executing (kebijaksanaan yang harus dilaksnakan untuk tercapainya policy making)
(5)
Goodnow
Fungsi Negara
Melaksanakan penertiban (law and order).
Mengusahan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Pertahanan.
Menegakkan keadilan.
(6)
Miriam Budiarjo
Tujuan Negara
Negara mempunyai kekuasaan untuk menghindari kekacauan dan anarkis.
Pemerintahan Pusat harus kuat.
Bertujuan memperbesar dan menggunakan kekuasaan.
(A)
Kekuasaan Negara (Lord Shang)
Tujuan Negara
Mempertahankan dan memelihara agama
Memelihara hak-hak rakyat dan hukum Tuhan.
Melaksanakan kepastian hukum.
Melindungi wilayah Islam dan kehormatan rakyat.
Jihad terhadap orang yang menentang Islam.
Membentuk kekuatan menghadapi musuh.
Memungut pajak dan sedekah sesuai syara’.
Mengatur penggunaan harta baitul maal.
Meminta nasihat dan pandangan dari orang terpercaya.
Dalam memelihara agama dan rakyat, pemerintah dan kepala negara harus langsung menangani dan meneliti keadaan yang sebenarnya.
(B)
Pemeliharaan Agama dan Kesejahteraan Rakyat (Juris Sunni)
Tujuan Negara
Raja disarankan mengabaikan kesusilaan dan agama.
Raja harus licik dan tidak perlu menepati janji.
Raja dapat menghalalkan segala cara.
Raja harus ditakuti rakyat.
Kekuasaan sebagai perantara, tujuan akhir terciptanya kebesaran dan kehormatan.
(c)
Kebesaran dan Kehormatan Negara (Niccolo Machiavelli)
Tujuan Negara
Mewujudkan perdamaian dunia.
Menciptakan UU yang seragam bagi seluruh umat manusia.
Kekuasaan di tangan raja.
Memperbersihkan perebutan kekuasaan
Tujuan negara untuk kepentingan publik dan bukan perseorangan.
(D)
Perdamaian Dunia (Dante Alleghiere)
Tujuan Negara
Semua orang merdeka dan sederajat.
Negara hanya sebagai penjaga ketertiban dan pelindung hak masyarakat.
Teori negara hukum formil.
Melahirkan konsep ekonomi liberal dengan semboyan persaingan bebas yang dijalankan dunia Barat sampai PD I..
(E)
Penjamian Hak dan Kebebasan (Immanuel Kant)
Fungsi dan Tujuan Negara RI
Fungsi:
Legislatif
Eksekutif
Yudisial
Pembagian kuasaan, dan bukan pemisahan kekuasaan.
Negara hukum Pancasila dan UUD 1945.
Tujuan:
Pembukaan UUD 1945 Alinea keempat
Negara hukum Pancasila dan UUD 1945.
Pengantar
■ Pembagian Kekuasaan
Dlm rangka menyelenggarakan kepentingan rakyat
Mencegah kesewenang-wenangan penguasa
Fungsi Kekuasaan → Lembaga-lembaga Negara
■ Hubungan Kekuasaan
Horisontal → hubungan antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial
Vertikal → hubungan yang bersifat atasan dan bawahan, dalam arti antara pemerintah pusat dan pemda. Didalamnya terdapat semacam pembagian kerja antara pusat dan daerah
Teori Pembagian Kekuasaan
JOHN LOCKE
“TWO TREATIES ON CIVIL GOVERNMENT”
1.Eksekutif → melaksanakan UU
2.Federatif → hubungan luar negeri
3.Legislatif → pembuatan UU
Montesqueui “L’Esprit des Lois” Trias Politica
Ajaran ini mempengaruhi banyak negara, meski tdk dianut sepenuhnya oleh USA. Berfungsi sebagai “check and balance”.
Indonesia bukan menggunakan separation of power, tetapi distribution of power.
Ajarannya: legislatif, eksekutif, yudisial
Konsep “Caturpraja” van Vollenhoven
Bestuur (pemerintahan dlm arti sempit) → ajaran ini sering disebut teori residu (sisa) krn tdk termask politie, rechtspraak dan regeling.
Politie, kekuasaan yg memaksa pendd taat pd tata tertib hkm, serta preventieve rechtszorg, mengadakan pencegahan spy tata tertib masy tetap terpelihara
Rechtspraak (peradilan)
Regeling (pengaturan)
Konsep Panca Praja dari Lemaire
Bestuurszorg (melaksanakan kesejahteraan umum)
Bestuur (menjalankan UU)
Kepolisian
Mengadili
Membuat Peraturan
Wilson dan Goodnow
Penyelenggaraan pemerintahan dalam suatu negara, dijalankan oleh dua golongan/badan pemerintahan negara :
Kekuasaan Politics → menetapkan tujuan dan kebijakan negara
Administration → badan-badan pemerintahan yang melaksanakan tujuan dan kebijaksanaan negara
AM. Donner :
“Nederlands Bestuursrecht”
■ Politiek (menentukan tujuan/tugas)
■ Bestuur (mengimplementasikannya)
■ Politiek als ethiek (menetapkan haluan negara
/ politik sebagai etik)
■ Politiek als technik (melaksanakan haluan
negara / politik sebagai teknik)
Struktur Kelembagaan Negara
Sebelum Perubahan UUD 1945
Struktur Kelembagaan Negara
Setelah Perubahan UUD 1945
Lembaga-lembaga dlm Sistem Ketatanegaraan
Setelah Perubahan UUD 1945
Lembaga Negara → Presiden, MPR (DPD-DPR),
MK-MA, BPK
Lembaga Negara → KPU, (TNI/POLRI,
Kementerian Negara, Dewan
Pertimbangan), Bank Sentral,
KY, Badan-badan lain yg
fungsinya berkaitan dg kekuasaan
kehakiman,
Lembaga Daerah → Pem Prov, DPRD, Pem Da
(Kab/Kota)
Pembagian Kekuasaan sec. Vertikal
Pembagian Kekuasaan menurut tingkatnya
Dlm hal ini yg dimaksud adalah Pembagian kekuasaan antara beberapa tingkat pemerintahan
Carl J. Friedrich memakai istilah Pembagian Kekuasaan sec. Teritorial (Teritorial division of Power)
Sbg contohnya dpt dilihat perbandingan antara negara Kesatuan, Federal dan Konfederasi
Dlm neg Kesatuan pembagian kekuasan sec vertikal melahirkan garis hub antara pusat dan daerah dlm sistem: Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Medebewind
Desentralisasi
Pasal 1 butir 7 UU No. 32/2004
►”Penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Dekonsentrasi
Pasal 1 butir 8 UU No. 32/2004
► “Pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepala instansi vertikal di wilayah tertentu.”
Medebewind (Tugas Pembantuan)
Pasal 1 butir 9 UU o. 32/2004
► “Penugasan dari Pemerintah kepada daerah* dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu.”
► (*daerah=Provinsi, Kabupaten, Kota)
jawaban UAS HTN semester 4 tahun 2010
Nama : Ira Chandra Puspita
NIM : 08220055
Mata kuliah : HTN
1.Membicarakan tentang pemerintahan Indonesia berarti membicarakan tentang siapa yang memegang kekuasaan tertinggi di Republik Indonesia. Sehubungan dengan konsep pemegang kekuasaan tertinggi atau konsep kedaulatan, dalam filsafat hukum dan kenegaraan dikenal lima teori atau konsep yang selalu diperdebatkan sepanjang sejarah, yaitu teori kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan hukum, kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara.
Indonesia, sejak kemerdekaannya, secara resmi para pendirinya telah memilih bentuk republik dan meninggalkan bentuk kerajaan. Dengan demikian , teori kedaulatan raja tidak perlu kita bahas lebih banyak. Demikian pula dengan konsep kedaulatan negara, yang biasa dipahami dalam konteks hubungan internasional. Karena dengan sendirinya Indonesia merdeka telah mendapat pengakuan dunia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka.
Yang perlu dibahas adalah konsep kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat dengan menghubungkan ketiganya dengan latar belakang pemikiran yang tumbuh berkembang sejak sebelum kemerdekaan, dan mengaitkan ketiga gagasan itu dengan cita kenegaraan (staatsidee) yang terkandung dalam rumusan Undang-undang Dasar Proklamasi Kemerdekaan 1945. Ketiga konsep tersebut berlaku secara simultan dalam pemikiran bangsa Indonesia tentang kekuasaan. Kekuasaan kenegaraan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada pokoknya adalah derivat dari kesadaran bangsa Indonesia mengenai kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang diwujudkan dalam paham kedaulatan hukum dan sekaligus kedaulatan rakyat yang kita terima sebagai dasar berpikir sistemik dalam konstruksi Undang-undang Dasar negara Indonesia. Prinsip kedaulatan hukum kita wujudkan dalam ‘reechstaat’ atau ‘the rule of law’ serta supremasi hukum yang selalu kita dengungkan. Dalam perumusannya, hukum yang dijadikan pegangan tertinggi haruslah disusun sedemikian rupa melalui mekanisme demokrasi yang lazim sesuai dengan sila keempat Pancasila.
Sebaliknya, konsep kedaulatan rakyat diwujudkan melalui instrumen-instrumen uhkum dan sistem kelembagaan negara dan pemerintahan sebagai institusi yang tertib. Dalam proses pembentukan hukum nasional yang disepakatiharuslah dilakukan denganproses permusyawaratan sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan sebagai perwujudan prinsip tersebut.
Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat selain diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkan juga tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, biasanya prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan melalui dua pilihan cara, yaitu melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau melalui pembagian kekuasaan (distribution/division of power). Pemisahan kekuasaan, bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances). Sedang pembagian kekuasaan bersifat vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara dibawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Selama ini UUD1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang secara vertikal, dimana kedaulatan rakyat terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi atau forum tertinggi. Dari sini fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan wewenang lembaga tinggi negara. Dalam hubungan pemisahan ini, prinsip hubungan ‘checks and balances’ antar lembaga tinggi negara dianggap sesuatu yang sangat pokok.
Pada perubahan pertama dan kedua UUD 1945, prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal mulai dianut dengan jelas oleh para perumus UUD seperti yang tercermin dalam pasal 1 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) sampai (5), dengan penganutan prinsip hubungan ‘checks and balances’ tersebut juga mengalami perubahan sehingga kekuasaan yang terpusat pada MPR sebagai lembaga tertinggi, format dan susunan perudang-undangan secara mendasar. Pengaturan dan pembatasan tersebut menjadi ciri konstitusionalisme dan tugas utama konstitusi sehingga memungkinkan kesewenang-wenangan kekuasaan dapat dikendalikan dan diminimalkan.
Penerapan prinsip ‘checks and balances’ dalam kekuasaan pemerintahan antar tiga lembaga pokok (legislatif, eksekutif dan yudikatif) ini diwujudkan di Indonesia secara jelas yang tertuang dalam UUD 1945. Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, DPR sebagai lembaga legislatif tidak serta merta dapat membuat sendiri undang-undangnya dan membebankan pada pemerintah atau lembaga eksekutif dalam pelaksanaannya. Melainkan dalam pembuatannya, terdapat andil Presiden dan DPR, yang kemudian ditelaah isinya dan kesesuaiannya dengan konstitusi negara oleh lembaga yudikatif yang berwenang atas hal itu, yang di Indonesia bernama Mahkamah Konstitusi. Maka tidak ada lagi pengumpulan kekuasaan pada suatu lembaga tertentu, tetapi terjadi suatu pembagian wewenang yang saling mengawasi dan berimbang.
Seperti kata Lord Acton, yang banyak dikutip oleh banyak penulis dunia, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Inilah hukum besi kekuasaan yang apabila tidak diatur dan dibatasi dengan prosedur konstitusional, dapat menjadi sumber mala petaka.
( -Radjab, Dasril. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
-Assiddiqie, Jimly. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta : FH UII Press.
-M. Mahfud MD. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta : LP3ES. )
2.Dalam negara kesatuan yang demokratis, maka pendelegasian pemerintahan dengan model sentralisasi dan desentralisasi adalah suatu keniscayaan. Hal ini berkaitan dengan pengorganisasian negara dalam bentuk pemerintahan. Sentralisasi berasal dari bahasa inggris yang berakar dari kata Centre yang artinya adalah pusat atau tengah. Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah.
B.N. Marbun dalam bukunya Kamus Politik mengatakan bahwa sentralisasi yang pahamnya kita kenal dengan sentralisme adalah pola kenegaraan yang memusatkan seluruh pengambilan keputusan politik, ekonomi, social di satu pusat.
Berdasarkan definisi diatas bisa kita interpretasikan bahwa sistem sentralisasi itu adalah bahwa seluruh decition (keputusan/Kebijakan) dikeluarkan oleh pusat, daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut uu. menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang pada level bawah pada suatu suatu organisasi. Desentralisasi juga dapat dikatakan suatu penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Dengan adanya desentralisasi maka munculah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia.
Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem pemerintahan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otoda yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Sistem ini lahir dari gagasan pelaksanaan desentralisasi yang dituang dalam UUD 1945, pasal 18 ayat (1), sebagai landasan konstitusionalnya. Dan diatur dalam UU no. 32 dan 34 tahun 2004.
Adapun asas penyelenggaraannya adalah asas otonomi atau kemandirian dan asas tugas pembantuan (medebewind). Unsur-unsur desentralisasi atau pelaksana pemerintahan daerah adalah Kepala pemerintah daerah dan DPRD.
Mengenai hak dan kewenangan pelaksana sentralisasi adalah dalam enam hal pokok yang tidak diserahkan kepada daerah atau tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Yang berarti, bahwa penyelenggaraan pemerintahan di daerah diserahkan sepenuhnya kepada daerah, kecuali pada beberapa hal pokok kenegaraan yang menjadi wewenang negara dan bukan daerah. Kewenangan tersebut berkaitan dengan kebijakan politik luar negeri, moneter dan fiskal, pertahanan, keamanan, justisi dan agama.
Selain enam hal diatas, maka menjadi wewenang daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dan kewenangan pemerintah daerah diatur dalam UUD 1945 pasal 18 ayat (2), (5) dan (6). Karena pemerintah pusat tidak berwenang lagi menggurusi urusan rumah tangga daerah maka pemerintah pusat tidak berhak menentukan besar RAPBD dan APBD. Selain berkaitan dengan kewenangan, hal ini berkaitan pula dengan penguasaan pemerintah daerah dan pemahamannya tentang kebutuhan daerah yang disesuaikan dengan kondisi sosial daerah dan kultur daerah. Tetapi bagaimana bentuk penyelenggaraan pemerintahan di daerah ditentukan oleh pemerintah pusat, yang dituang dalam bentuk peraturan pemerintah ataupun dalam bentuk undang-undang.
(-Matutu, Mustamin DG. 2004. Mandat, Delegasi, Attribusi dan implementasinya di Indonesia. Yogyakarta : UII Press.
-Taliziduhu Ndraha. 2003. Kybernology ( Ilmu Pemerintahan Baru) 2. Jakarta : Rineka Cipta.
-Maddick, Henry. 2004. Desentralisasi dalam Praktek. Yogyakarta ; Pustaka Kendi.
-Soehino. 2005. Hukum Tata Negara, Sejarah Ketatanegaraan Indonesia: Edisi 2005/2006. Yogyakarta : BPFE.
-Hans Kelsen. 2007. Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik. Terj. Somardi. Jakarta : BEE Media Indonesia.)
3.Berbicara mengenai kekuasaan politik untuk rakyat dalam konsep John Locke, tidak terlepas di dalamnya pembahasan mengenai hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab. Hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggungjawab memungkinkan terciptanya masyarakat yang baik.
Dalam pembahasannya tentang hak dan asal usulnya, seperti Hobbes, Locke berpaling kepada originalitas keadaan alamiah sebelum terbentuknya pemerintahan. Dikatakan bahwa “hak” lahir dari keadaan alamiah (state of nature) di mana manusia ada dalam keadaan bebas yang sempurna untuk mengatur tindakan, kepemilikan dan orang-orang yang cocok dalam ikatan hukum alam. Locke berpendapat bahwa kekuasaan politik adalah hak untuk membuat hukum. Hukum itu dibuat untuk mengatur dan melindungi property demi tercapainya kebaikan bersama. Dalam uraian ini fungsi pemerintah dilihat sangat transparan dan terbuka yaitu untuk mempertahankan komunitas demi bonum communae. Namun, yang menjadi persoalan komunitas macam mana yang mau dipertahankan. Hukum alam yang paling fundamental adalah melindungi hidup. Bagaimana the state of nature berkembang menjadi sebuah komunitas politik? Menurut Locke, satu-satunya jalan membentuk sebuah komunitas politik dan mendirikan sebuah pemerintahan harus ada konsistensi terhadap pengunaan intelek yang dibimbing oleh hukum alam dan oleh persetujuan bebas . Kekerasan dan penaklukan haruslah diganti dengan perjanjian dan persetujuan untuk membentuk sebuah kekuasaan politis. Dengan demikian ada perbedaan antara kekuasaan politik dan kekuasaan absolut yang cendrung menggunakan kekerasan.
Dalam pembicaraannya mengenai intersubjektivitas dalam terang metafisika, Josef Pianiazhek menganalisa relasi penguasa politis dengan rakyat. Dikatakan bahwa kekayaan si penguasa adalah wewenang dan kuasa. Dalam dirinya serentak melekat “kemiskinannya” yaitu bahwa dalam kekuasaaannya ia masih bergantung pada dukungan rakyat. Bayangkan seorang calon presiden tidak akan jadi presiden tanpa dukungan rakyat. Di sisi lain rakyat memiliki “kekayaan” yaitu suara yang diberikan kepada penguasa. Dengan kata lain rakyat berdaulat yang mengingatakan kita akan term ”demokrasi dari rakyat dan oleh rakyat”. Tetapi ”kemiskinan” rakyat adalah dukungan yang seharusnya diterima oleh si penguasa memiliki kemungkinan untuk disalah gunakan. Atau dengan kata lain penguasa menerima kuasanya dari rakyat, tetapi rakyat menerima dari si penguasa berupa kemungkinan, kemampuan untuk memakai kuasa mereka. Penjelasan ini mau mempertegas bahwa kekuasaan politik dalam tataran kehidupan sosial memiliki relasi dengan rakyat. Dengan demikian mau dikatakan pula bahwa kekuasaan politik sebenarnya untuk rakyat.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Locke berpendapat bahwa terbentuknya komunitas politik atau negara didahului oleh keberadaan individu yang memiliki hak-hak kodrati sebagai suatu keadaan yang disebut keadaan alamiah (state of nature. Keadaan alamiah ini adalah keadaan kebebasan (state of liberty), tetapi bukan keadaan di mana orang berbuat sekehendaknya (state of license) . Meskipun seseorang bebas untuk melakukan apa seperti yang dikehendakinya, ia masih wajib untukmenuruti perintah Allah, dengan demikian ia tidak bebas penuh tetapi harus dapat dipertanggungjawabkan.
Locke melihat bahwa monarki konstitusional dengan kekuasaan eksekutif merupakan bentuk pemerintah yang layak diinginkan, tetapi bukanlah satu-satunya bentuk kekuasaan pemerintah dan legitimasinya yang didasarkan pada kesepakatan individu-individu.
Negara memiliki tugas menjadi pengatur dan pelindung masyarakat. Di sini mau dikatakan beberapa kewajiban pemerintah yang harus dipegang untuk menjamin fungsi pemerintah demi kepentingan masyarakat. Pertama: kekuasaan legislatif tidak boleh digunakan untuk mengatur hidup dan nasib rakyat secara sembarangan. Kedua: kekuasaan tidak boleh dijalankan tanpa pertimbangan; ketiga: pemerintah tidak boleh mengambil hak milik orang tanpa pertimbangan; keempat: kekuasaan legislatif tidak dapat dialihkan kepada orang lain, dan harus tetap ada dalam kelompok yang menjadi wakil rakyat. Dengan demikian kekuasaan politik digunakan bagi kepentingan umum.
Setelah menguraikan pemikiran Locke, dapat dikatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Locke adalah suatu yang baik. Hal ini saya dukung dengan argumen bahwa suatu Negara dapat berkembang kalau Negara tersebut dapat menjalankan hukum-hukumnya dengan baik. Itu berarti hukum itu sendiri sungguh-sungguh hukum yang benar dan mempunyai tujuan yang baik untuk kemakmuran rakyat. Prinsipnya bahwa hukum dibuat untuk kepentingan rakyat dan bukannya untuk melindungi penguasa. Hukum dalam suatu negara berfungsi untuk menjamin kebahagiaan rakyat.
Hukuman bagi orang yang melanggar hukun adalah suatu hal yang baik apalagi tujuannya adalah untuk keamanan semua masyarakat. Dengan hukum yang baik, suatu Negara dapat menuju tujuan yang ingin dicapai dengan baik pula. Namun satu hal yang tidak dapat saya dukung dari pemikiran Locke adalah sanksi hukuman mati kepada orang yang melakukan kesalahan. Menghukum orang dengan hukuman mati adalah suatu tindakan yang melanggar hak asasi seseorang. Yang dapat mengambil nyawa seseorang hanyalah Tuhan yang memiliki kuasa untuk hal itu.
Pada dasarnya manusia ingin hidup aman dan sejahtera. Namun semua itu tidak dapat tercapai kalau tidak ada hukum yang mengatur dengan baik. Locke berpendapat bahwa kekuasaan politik adalah hak untuk membuat hukum dengan hukuman mati dan akhibatnya semua hukuman yang lebih randah, demi mengatur dan melindungi property dan menggunakan kekerasan atas nama komunitas dalam melaksanakan hukum-hukum itu dan dalam mempertahankan harta bersama, semuanya demi kebaikan bersama. Namun itu tak berarti bahwa dengan hukum, kita dapat menghalalkan segala cara untuk dapat menghukum orang yang bersalah. Menghukum dengan hukuman mati adalah tindakan yang telah melanggar hak asasi seseorang.
Negara persemakmuran pada dasarnya adalah suatu bentuk penguasaan namun lebih mengarah pada suatu pembangunan ke depan menuju suatu masyarakat yang adil dan makmur. Dengan Negara Persemakmuran Locke bermaksud bukan pada suatu demokrasi, atau bentuk pemerintahan apapun, melainkan masyarakat mandiri.
(-F. Ceunfin. 2005. Mengabdi Kebenaran. Maumere : Penerbit Ledalero.
-Locke, John. 2002. Kuasa Itu Milik Rakyat. A. Widyamartaya (trj.) Yogyakarta : Kanisius.
-Winarta, Frans. H. 2009. Suara Rakyat, Hukum Tertinggi. Jakarta : Kompas.
-Green Mind Community (GMC). 2009. Teori dan Politik Hukum Tata Negara. Yogyakarta:Total Media. )
4. Fondasi yang tepat dan kokoh bagi sebuah demokrasi yang berkelanjutan (sustainable democracy) adalah sebuah negara konstitusi ( constitutional state) yang bersandarkan pada konstitusi yang kokooh dan dapat melindungi dirinya dari ancaman, baik dari dalam maupun dari luar pemerintahan. Konstitusi yang kokoh yang mampu menjamin pelaksanaan demokrasi yang berkelanjutan, hanyalah sebuah konstitusi yang mengatur secara rinci batas-batas kewenangan dan kekuasaan lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif secara seimbang dan saling mengawasi ( checks and balances ), yang memberi jaminan secara luas tentang hak-hak warga negara dan hak asasi manusia.
Konstitusi yang kokoh bagi sebuah constitutional state yang mampu menjamin pelaksanaan demokrasi berkelanjutan juga harus merupakan konstitusi yang legitimate, dalam arti pembuatannya harus secara demokratis, diterima dan memperoleh dukungan dari seluruh komponen masyarakat dari berbagai aliran dan faham, dari berbagai aspirasi dan kepentingan. Secara teoritis, dari sudut pandang teori konstitusi atau konstitualisme, keberadaan sebuah konstitusi bagi sebuah negara pada hakekatnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak secara sewenang-wenang.
Konstitusi yang kokoh adalah konstitusi yang jelas faham konstitusinya, yaitu yang mengatur secara jelas batas-batas kewenangan dan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif secara seimbang dan saling mengawasi (checks and balances) serta memberikan jaminan yang cukup luas dalam arti penghormatan (to respect), perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fulfill) hak warga negara dan hak asasi manusia. Dengan kata lain, konstitualisme adalah faham mengnai pembatasan kekuasaan dan menjamin hak-hak rakyat melalui konstitusi.
Dalam perubahan terhadap UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 yang berlangsung dalam empat tahap telah membawa perubahan yang besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah perubahan sistem kelembagaan dan hubungan tiga cabang kekuasaan negara yang utama, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Perubahan tersebut merupakan penyempurnaan terhadap penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern melalui pembagian kekuasaan secara tegas dengan sistem checks and balances.
Pembagian kekuasaan pemerintahan seperti didapat garis-garis besarnya dalam susunan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah bersumber kepada susunan ketatanegaraan Indonesia asli, yang dipengaruhi besar oleh pikiran-pikiran falsafah negara Inggris, Perancis, Arab, Amerika Serikat dan Soviet Rusia. Aliran pikiran itu oleh Indonesia dan yang datang dari luar, diperhatikan sungguh-sungguh dalam pengupasan ketatanegaraan ini, semata-mata untuk menjelaskan pembagian kekuasaan pemerintahan menurut konstitusi proklamasi.
Pembagian kekuasaan pemerintah Republik Indonesia 1945 berdasarkan ajaran pembagian kekuasaan yang dikenal garis-garis besarnya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia; tetapi pengaruh dari luar; diambil tindakan atas tiga kekuasaan, yang dinamai Trias Politica, seperti dikenal dalam sejarah kontitusi di Eropa Barat dan amerika Serikat.
Ajaran Trias Politica diluar negeri pada hakikatnya mendahulukan dasar pembagian kekuasaan, dan pembagian atas tiga cabang kekuasaan (Trias Politica) adalah hanya akibat dari pemikiran ketatanegaraan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang pemerintah dan untuk menjamin kebebasan rakyat yang terperintah.
Ajaran Trias Politika dilahirkan oleh pemikir Inggris Jhon Locke dan oleh pemikir Perancis de Montesquieu dijabarkan dalam bukunya L’Espris des Lois, yang mengandung maksud bahwa kekuasaan masing-masing alat perlengkapan negara atau lembaga negara yang menurut ajaran tersebut adalah :
a. Badan legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk Undang-undang
b. Badan eksekutif yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang
c. Badan judikatif, yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan megadilinya.
Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak menganut suatu sistem negara manapun, tetapi adalah suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa indonesia, namun sistem ketatanegaraan Republik indonesia tidak terlepas dari ajaran Trias Politica Montesquieu. Ajaran trias politica tersebut adalah ajaran tentang pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Judikatif yang kemudian masing-masing kekuasaan tersebut dalam pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan mandiri, artinya masing-masing badan itu satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi dan tidak dapat saling meminta pertanggung jawaban.
Apabila ajaran trias politika diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran tersbut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara.
Susunan organisasi negara adalah alat-alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 baik baik sebelum maupun sesudah perubahan. Susunan organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan yaitu :
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2) Presiden
(3) Dewan Pertimbagan Agung (DPA)
(4) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
(5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
(6) Mahkmah Agung (MA)
Badan-badan kenegaraan itu disebut lembaga-lembaga Negara. Sebelum perubahan UUD 1945 lembaga-lembaga Negara tersebut diklasifikasikan, yaitu MPR adalah lembaga tertinggi Negara, sedangkan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya seperti presiden, DPR, BPK, DPA dan MA disebut sebagai lembaga tinggi Negara.
Sementara itu menurut hasil perubahan lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2) Presiden
(3) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
(4) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
(5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
(6) Mahkmah Agung (MA)
(7) Mahkamah Konstitusi (MK)
Secara institusional, lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan.
Dengan perkataan lain, UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan kenegaraan yang ada
Sebelum Perubahan
1.MPR, sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, mempunyai kekuasaan untuk menetapkan UUD, GBHN, memilih Presiden dan Wakil Presiden serta mengubah UUD
2.Presiden, yang berkedudukan dibawah MPR, mempunyai kekuasaan yang luas yang dapat digolongkan kedalam beberapa jenis:
a.Kekuasaan penyelenggaran pemerintahan;
b.Kekuasaan didalam bidang perundang undangan, menetapakn PP, Perpu;
c.Kekuasaan dalam bidang yustisial, berkaitan dengan pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi;
d.Kekuasaan dalam bidang hubungan luar negeri, yaitu menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain, mengangkat duta dan konsul.
3.DPR, sebagai pelaksana kedaulatan rakyat mempunyai kekuasaan utama, yaitu kekuasaan membentuk undang-undang (bersama-sama Presiden dan mengawasi tindakan presiden.
4.DPA, yang berkedudukan sebagai badan penasehat Presiden, berkewajiban memberikan jawaban atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah
5.BPK, sebagai “counterpart” terkuat DPR, mempunyai kekuasaan untuk memeriksa tanggung jawab keuangan Negara dan hasil pemeriksaannya diberitahukan kepada DPR.
6.MA, sebagai badan kehakiman yang tertinggi yang didalam menjalankan tugasnya tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah.
Setelah Perubahan
1.MPR, Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK, menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN, menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu), tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD, susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
2.DPR, Posisi dan kewenangannya diperkuat, mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU, Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah, Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
3.DPD, Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR, keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan negara Republik Indonesia, dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu, mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.
4.BPK, Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD, berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi, mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
5.Presiden, Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial, Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR, Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja, Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR, kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR, memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
6.Mahkmah Agung, Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)], berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
7.Mahkamah Konstitusi, Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution), Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD, Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.
Atas dasar itu, UUD 1945 meletakan asas dan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan-hubungan (kekuasaan) diantara lembaga-lembaga negara tersebut. Hubungan –hubungan itu adakalanya bersifat timbal balik dan ada kalanya tidak bersifat timbal balik hanya sepihak atau searah saja.
(-Fadjar, Abdul Mukthie. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Konstitusi press, Yogyakarta : Citra Media.
-Ranadireksa, Hendarman. 2007. Dinamika Konstitusi Indonesia. Bandung : Fokus Media)
5.Secara keseluruhan, UUD 1945 pasca amandemen keempat, mengenal enam lembaga tinggi negara, yaitu : MPR, DPR, Presiden, MA, BPA dan DPA. Dari keenam lembaga tersebut hanya MPR saja yang bersifat khas Indonesia, sisanya berasal dari cetak biru kelembagaan yang dicontohkan pada masa Hindia Belanda. MPR kemudian dianggap mempunyai kedudukan tertinggi pemegang kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, dapat dimengerti dalam keberadaan MPR terdapat elemen-elemen konsepsi kenegaraan yang bersifak kombinatif antara tradisi liberalisme barat dan sosialisme timur. Unsur keanggotaan MPR juga menggambarkan adanya semangat kombinatif ini. Yaitu terdiri dari anggota DPR yang mencerminkan demokrasi politik yang berdasarkan atas prosedur perwakilan dalam rangka menyalurkan seluruh aspirasi dan kepentingan bangsa dan negara, utusan golongan mencerminkan prinsip demokrasi ekonomi yang berdasarkan pada prosedur perwakilan fungsional untuk menutupi dan mengatasi kelemahan sistem demokrasi politik, dan utusan daerah yang diadakan untuk menjamin agar kepentingan daerah tidak terabaikan hanya karena orientasi yang mengutamakan kepentingan nasional. Maka tepat bila majelis ini diberikan kedudukan tertinggi (supreme).
Setidaknya ada tiga faktor penting yang mempengaruhi keberadaan MPR sebagai lembaga negara. Pertama, pemisahan kekuasaan secara tegas dari cabang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kedua, pemilihan presiden secara langsung yang berkaitan dengan konsep pertanggungjawaban presiden langsung kepada rakyat. Ketiga, rekonstrukturisasi parlemen menjadi dua kamar atau bikameral, dalam rangka menampung aspirasi daerah-daerah yang terus berkembang menjadi semakin otonom. Tiga hal ini diadobsi dalam materi perubahan UUD 1945. Prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas telah dituangkan dalam amandemen pertama dan kedua UUD 1945, prinsip kedua diadobsi dalam perubahan ketiga UUD. Kemudian prinsip ketiga diadobsi dalam perubahan UUD yang keempat yang telah dikukuhkan tidak hanya melalui Undang-undang. Tetapi juga Tap MPR dan bahkan dalam naskah perubahan yang kedua UUD 1945.
Kebijakan otonomi daerah ini dikembangkan sebagai upaya strategis untuk menjamin keutuhan bangsa dan negara serta mendorong proses demokratisasi hubungan antara pusat dan daerah. Dengan diterimanya ketiga gagasan tersebut kedalam maka keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara tidak dapat dipertahankan lagi. Maka jelaslah bahwa berlakunya UUD 1945 hasil amandemen, Tap MPR tidak lagi menjadi peraturan perundang-undangan. Hal ini adalah konsekwensi dari amandemen.
Ketentuan UUD hasil amandemen tentang tidak berlakunya lagi Tap MPR lebih bersifat implisit karena UUD hasil amandemen tidak scara jelas melarang adanya tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan demikian juga UUD ini tidak menyebutkan secara eksplisit tata urutan perundang-undangan. Adanya penggaris bawahan tap MPR bukan merupakan peraturan perundang-undangan dapat dengan mudah digali dan dipahami dari dua pasal dalam UUD hasil amandemen, yaitu pada pasal 24C ayat (1) dan aturan tambahan pasal 1, serta tap MPR no. 1/MPR/2003 dan UU no. 10 tahun 2004.
Pada pasal 24C ayat (1), yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Dapat dipahami bahwa pweraturan perundang-undangan yang langsung dibawah UUD adalah UU. Dan jelaslah bahwa tap MPR bukanlah peraturan perundang-undangan.
Pada tambahan pasal 1, ketentuan yang termuat di dalamnya memerintahkan kepada MPR untuk meninjau kembali dan menentukan status baru seluruh tap MPR/MPRS yang telah ditetapkan bukan sebagai aturan perundangan lagi.
Hasil musyawarah MPR atas status tap MPR dan MPRS ditetapkan dalam sidang tahunan MPR tahun 2003 yang dikenal dengan tap sapujagad. Tap MPR nomer 1/MPR/2003 Tentang: Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Diputuskan tentang status baru 139 tap MPRS/MPR, dimana TAP MPRS/TAP MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan), TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan), TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8 Ketetapan), TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang (11 Ketetapan), TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 Ketetapan), TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 Ketetapan).
(-Assiddiqie, Jimly. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta : FH UII Press.
-M. Mahfud MD. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta : LP3ES.)
NIM : 08220055
Mata kuliah : HTN
1.Membicarakan tentang pemerintahan Indonesia berarti membicarakan tentang siapa yang memegang kekuasaan tertinggi di Republik Indonesia. Sehubungan dengan konsep pemegang kekuasaan tertinggi atau konsep kedaulatan, dalam filsafat hukum dan kenegaraan dikenal lima teori atau konsep yang selalu diperdebatkan sepanjang sejarah, yaitu teori kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, kedaulatan hukum, kedaulatan rakyat dan kedaulatan negara.
Indonesia, sejak kemerdekaannya, secara resmi para pendirinya telah memilih bentuk republik dan meninggalkan bentuk kerajaan. Dengan demikian , teori kedaulatan raja tidak perlu kita bahas lebih banyak. Demikian pula dengan konsep kedaulatan negara, yang biasa dipahami dalam konteks hubungan internasional. Karena dengan sendirinya Indonesia merdeka telah mendapat pengakuan dunia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka.
Yang perlu dibahas adalah konsep kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat dengan menghubungkan ketiganya dengan latar belakang pemikiran yang tumbuh berkembang sejak sebelum kemerdekaan, dan mengaitkan ketiga gagasan itu dengan cita kenegaraan (staatsidee) yang terkandung dalam rumusan Undang-undang Dasar Proklamasi Kemerdekaan 1945. Ketiga konsep tersebut berlaku secara simultan dalam pemikiran bangsa Indonesia tentang kekuasaan. Kekuasaan kenegaraan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia pada pokoknya adalah derivat dari kesadaran bangsa Indonesia mengenai kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang diwujudkan dalam paham kedaulatan hukum dan sekaligus kedaulatan rakyat yang kita terima sebagai dasar berpikir sistemik dalam konstruksi Undang-undang Dasar negara Indonesia. Prinsip kedaulatan hukum kita wujudkan dalam ‘reechstaat’ atau ‘the rule of law’ serta supremasi hukum yang selalu kita dengungkan. Dalam perumusannya, hukum yang dijadikan pegangan tertinggi haruslah disusun sedemikian rupa melalui mekanisme demokrasi yang lazim sesuai dengan sila keempat Pancasila.
Sebaliknya, konsep kedaulatan rakyat diwujudkan melalui instrumen-instrumen uhkum dan sistem kelembagaan negara dan pemerintahan sebagai institusi yang tertib. Dalam proses pembentukan hukum nasional yang disepakatiharuslah dilakukan denganproses permusyawaratan sesuai dengan prinsip demokrasi perwakilan sebagai perwujudan prinsip tersebut.
Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat selain diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkan juga tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, biasanya prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan melalui dua pilihan cara, yaitu melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau melalui pembagian kekuasaan (distribution/division of power). Pemisahan kekuasaan, bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances). Sedang pembagian kekuasaan bersifat vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara dibawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.
Selama ini UUD1945 menganut paham pembagian kekuasaan yang secara vertikal, dimana kedaulatan rakyat terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi atau forum tertinggi. Dari sini fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan wewenang lembaga tinggi negara. Dalam hubungan pemisahan ini, prinsip hubungan ‘checks and balances’ antar lembaga tinggi negara dianggap sesuatu yang sangat pokok.
Pada perubahan pertama dan kedua UUD 1945, prinsip pemisahan kekuasaan secara horizontal mulai dianut dengan jelas oleh para perumus UUD seperti yang tercermin dalam pasal 1 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) sampai (5), dengan penganutan prinsip hubungan ‘checks and balances’ tersebut juga mengalami perubahan sehingga kekuasaan yang terpusat pada MPR sebagai lembaga tertinggi, format dan susunan perudang-undangan secara mendasar. Pengaturan dan pembatasan tersebut menjadi ciri konstitusionalisme dan tugas utama konstitusi sehingga memungkinkan kesewenang-wenangan kekuasaan dapat dikendalikan dan diminimalkan.
Penerapan prinsip ‘checks and balances’ dalam kekuasaan pemerintahan antar tiga lembaga pokok (legislatif, eksekutif dan yudikatif) ini diwujudkan di Indonesia secara jelas yang tertuang dalam UUD 1945. Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, DPR sebagai lembaga legislatif tidak serta merta dapat membuat sendiri undang-undangnya dan membebankan pada pemerintah atau lembaga eksekutif dalam pelaksanaannya. Melainkan dalam pembuatannya, terdapat andil Presiden dan DPR, yang kemudian ditelaah isinya dan kesesuaiannya dengan konstitusi negara oleh lembaga yudikatif yang berwenang atas hal itu, yang di Indonesia bernama Mahkamah Konstitusi. Maka tidak ada lagi pengumpulan kekuasaan pada suatu lembaga tertentu, tetapi terjadi suatu pembagian wewenang yang saling mengawasi dan berimbang.
Seperti kata Lord Acton, yang banyak dikutip oleh banyak penulis dunia, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Inilah hukum besi kekuasaan yang apabila tidak diatur dan dibatasi dengan prosedur konstitusional, dapat menjadi sumber mala petaka.
( -Radjab, Dasril. 2005. Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
-Assiddiqie, Jimly. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta : FH UII Press.
-M. Mahfud MD. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta : LP3ES. )
2.Dalam negara kesatuan yang demokratis, maka pendelegasian pemerintahan dengan model sentralisasi dan desentralisasi adalah suatu keniscayaan. Hal ini berkaitan dengan pengorganisasian negara dalam bentuk pemerintahan. Sentralisasi berasal dari bahasa inggris yang berakar dari kata Centre yang artinya adalah pusat atau tengah. Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah.
B.N. Marbun dalam bukunya Kamus Politik mengatakan bahwa sentralisasi yang pahamnya kita kenal dengan sentralisme adalah pola kenegaraan yang memusatkan seluruh pengambilan keputusan politik, ekonomi, social di satu pusat.
Berdasarkan definisi diatas bisa kita interpretasikan bahwa sistem sentralisasi itu adalah bahwa seluruh decition (keputusan/Kebijakan) dikeluarkan oleh pusat, daerah tinggal menunggu instruksi dari pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut uu. menurut ekonomi manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. kelemahan sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang pada level bawah pada suatu suatu organisasi. Desentralisasi juga dapat dikatakan suatu penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia.
Dengan adanya desentralisasi maka munculah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia.
Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi menerapkan sistem pemerintahan sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah atau otoda yang memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan yang tadinya diputuskan seluruhnya oleh pemerintah pusat. Sistem ini lahir dari gagasan pelaksanaan desentralisasi yang dituang dalam UUD 1945, pasal 18 ayat (1), sebagai landasan konstitusionalnya. Dan diatur dalam UU no. 32 dan 34 tahun 2004.
Adapun asas penyelenggaraannya adalah asas otonomi atau kemandirian dan asas tugas pembantuan (medebewind). Unsur-unsur desentralisasi atau pelaksana pemerintahan daerah adalah Kepala pemerintah daerah dan DPRD.
Mengenai hak dan kewenangan pelaksana sentralisasi adalah dalam enam hal pokok yang tidak diserahkan kepada daerah atau tetap dipegang oleh pemerintah pusat. Yang berarti, bahwa penyelenggaraan pemerintahan di daerah diserahkan sepenuhnya kepada daerah, kecuali pada beberapa hal pokok kenegaraan yang menjadi wewenang negara dan bukan daerah. Kewenangan tersebut berkaitan dengan kebijakan politik luar negeri, moneter dan fiskal, pertahanan, keamanan, justisi dan agama.
Selain enam hal diatas, maka menjadi wewenang daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Dan kewenangan pemerintah daerah diatur dalam UUD 1945 pasal 18 ayat (2), (5) dan (6). Karena pemerintah pusat tidak berwenang lagi menggurusi urusan rumah tangga daerah maka pemerintah pusat tidak berhak menentukan besar RAPBD dan APBD. Selain berkaitan dengan kewenangan, hal ini berkaitan pula dengan penguasaan pemerintah daerah dan pemahamannya tentang kebutuhan daerah yang disesuaikan dengan kondisi sosial daerah dan kultur daerah. Tetapi bagaimana bentuk penyelenggaraan pemerintahan di daerah ditentukan oleh pemerintah pusat, yang dituang dalam bentuk peraturan pemerintah ataupun dalam bentuk undang-undang.
(-Matutu, Mustamin DG. 2004. Mandat, Delegasi, Attribusi dan implementasinya di Indonesia. Yogyakarta : UII Press.
-Taliziduhu Ndraha. 2003. Kybernology ( Ilmu Pemerintahan Baru) 2. Jakarta : Rineka Cipta.
-Maddick, Henry. 2004. Desentralisasi dalam Praktek. Yogyakarta ; Pustaka Kendi.
-Soehino. 2005. Hukum Tata Negara, Sejarah Ketatanegaraan Indonesia: Edisi 2005/2006. Yogyakarta : BPFE.
-Hans Kelsen. 2007. Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik. Terj. Somardi. Jakarta : BEE Media Indonesia.)
3.Berbicara mengenai kekuasaan politik untuk rakyat dalam konsep John Locke, tidak terlepas di dalamnya pembahasan mengenai hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggung jawab. Hak dan kewajiban, kebebasan dan tanggungjawab memungkinkan terciptanya masyarakat yang baik.
Dalam pembahasannya tentang hak dan asal usulnya, seperti Hobbes, Locke berpaling kepada originalitas keadaan alamiah sebelum terbentuknya pemerintahan. Dikatakan bahwa “hak” lahir dari keadaan alamiah (state of nature) di mana manusia ada dalam keadaan bebas yang sempurna untuk mengatur tindakan, kepemilikan dan orang-orang yang cocok dalam ikatan hukum alam. Locke berpendapat bahwa kekuasaan politik adalah hak untuk membuat hukum. Hukum itu dibuat untuk mengatur dan melindungi property demi tercapainya kebaikan bersama. Dalam uraian ini fungsi pemerintah dilihat sangat transparan dan terbuka yaitu untuk mempertahankan komunitas demi bonum communae. Namun, yang menjadi persoalan komunitas macam mana yang mau dipertahankan. Hukum alam yang paling fundamental adalah melindungi hidup. Bagaimana the state of nature berkembang menjadi sebuah komunitas politik? Menurut Locke, satu-satunya jalan membentuk sebuah komunitas politik dan mendirikan sebuah pemerintahan harus ada konsistensi terhadap pengunaan intelek yang dibimbing oleh hukum alam dan oleh persetujuan bebas . Kekerasan dan penaklukan haruslah diganti dengan perjanjian dan persetujuan untuk membentuk sebuah kekuasaan politis. Dengan demikian ada perbedaan antara kekuasaan politik dan kekuasaan absolut yang cendrung menggunakan kekerasan.
Dalam pembicaraannya mengenai intersubjektivitas dalam terang metafisika, Josef Pianiazhek menganalisa relasi penguasa politis dengan rakyat. Dikatakan bahwa kekayaan si penguasa adalah wewenang dan kuasa. Dalam dirinya serentak melekat “kemiskinannya” yaitu bahwa dalam kekuasaaannya ia masih bergantung pada dukungan rakyat. Bayangkan seorang calon presiden tidak akan jadi presiden tanpa dukungan rakyat. Di sisi lain rakyat memiliki “kekayaan” yaitu suara yang diberikan kepada penguasa. Dengan kata lain rakyat berdaulat yang mengingatakan kita akan term ”demokrasi dari rakyat dan oleh rakyat”. Tetapi ”kemiskinan” rakyat adalah dukungan yang seharusnya diterima oleh si penguasa memiliki kemungkinan untuk disalah gunakan. Atau dengan kata lain penguasa menerima kuasanya dari rakyat, tetapi rakyat menerima dari si penguasa berupa kemungkinan, kemampuan untuk memakai kuasa mereka. Penjelasan ini mau mempertegas bahwa kekuasaan politik dalam tataran kehidupan sosial memiliki relasi dengan rakyat. Dengan demikian mau dikatakan pula bahwa kekuasaan politik sebenarnya untuk rakyat.
Sejalan dengan pemikiran di atas, Locke berpendapat bahwa terbentuknya komunitas politik atau negara didahului oleh keberadaan individu yang memiliki hak-hak kodrati sebagai suatu keadaan yang disebut keadaan alamiah (state of nature. Keadaan alamiah ini adalah keadaan kebebasan (state of liberty), tetapi bukan keadaan di mana orang berbuat sekehendaknya (state of license) . Meskipun seseorang bebas untuk melakukan apa seperti yang dikehendakinya, ia masih wajib untukmenuruti perintah Allah, dengan demikian ia tidak bebas penuh tetapi harus dapat dipertanggungjawabkan.
Locke melihat bahwa monarki konstitusional dengan kekuasaan eksekutif merupakan bentuk pemerintah yang layak diinginkan, tetapi bukanlah satu-satunya bentuk kekuasaan pemerintah dan legitimasinya yang didasarkan pada kesepakatan individu-individu.
Negara memiliki tugas menjadi pengatur dan pelindung masyarakat. Di sini mau dikatakan beberapa kewajiban pemerintah yang harus dipegang untuk menjamin fungsi pemerintah demi kepentingan masyarakat. Pertama: kekuasaan legislatif tidak boleh digunakan untuk mengatur hidup dan nasib rakyat secara sembarangan. Kedua: kekuasaan tidak boleh dijalankan tanpa pertimbangan; ketiga: pemerintah tidak boleh mengambil hak milik orang tanpa pertimbangan; keempat: kekuasaan legislatif tidak dapat dialihkan kepada orang lain, dan harus tetap ada dalam kelompok yang menjadi wakil rakyat. Dengan demikian kekuasaan politik digunakan bagi kepentingan umum.
Setelah menguraikan pemikiran Locke, dapat dikatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Locke adalah suatu yang baik. Hal ini saya dukung dengan argumen bahwa suatu Negara dapat berkembang kalau Negara tersebut dapat menjalankan hukum-hukumnya dengan baik. Itu berarti hukum itu sendiri sungguh-sungguh hukum yang benar dan mempunyai tujuan yang baik untuk kemakmuran rakyat. Prinsipnya bahwa hukum dibuat untuk kepentingan rakyat dan bukannya untuk melindungi penguasa. Hukum dalam suatu negara berfungsi untuk menjamin kebahagiaan rakyat.
Hukuman bagi orang yang melanggar hukun adalah suatu hal yang baik apalagi tujuannya adalah untuk keamanan semua masyarakat. Dengan hukum yang baik, suatu Negara dapat menuju tujuan yang ingin dicapai dengan baik pula. Namun satu hal yang tidak dapat saya dukung dari pemikiran Locke adalah sanksi hukuman mati kepada orang yang melakukan kesalahan. Menghukum orang dengan hukuman mati adalah suatu tindakan yang melanggar hak asasi seseorang. Yang dapat mengambil nyawa seseorang hanyalah Tuhan yang memiliki kuasa untuk hal itu.
Pada dasarnya manusia ingin hidup aman dan sejahtera. Namun semua itu tidak dapat tercapai kalau tidak ada hukum yang mengatur dengan baik. Locke berpendapat bahwa kekuasaan politik adalah hak untuk membuat hukum dengan hukuman mati dan akhibatnya semua hukuman yang lebih randah, demi mengatur dan melindungi property dan menggunakan kekerasan atas nama komunitas dalam melaksanakan hukum-hukum itu dan dalam mempertahankan harta bersama, semuanya demi kebaikan bersama. Namun itu tak berarti bahwa dengan hukum, kita dapat menghalalkan segala cara untuk dapat menghukum orang yang bersalah. Menghukum dengan hukuman mati adalah tindakan yang telah melanggar hak asasi seseorang.
Negara persemakmuran pada dasarnya adalah suatu bentuk penguasaan namun lebih mengarah pada suatu pembangunan ke depan menuju suatu masyarakat yang adil dan makmur. Dengan Negara Persemakmuran Locke bermaksud bukan pada suatu demokrasi, atau bentuk pemerintahan apapun, melainkan masyarakat mandiri.
(-F. Ceunfin. 2005. Mengabdi Kebenaran. Maumere : Penerbit Ledalero.
-Locke, John. 2002. Kuasa Itu Milik Rakyat. A. Widyamartaya (trj.) Yogyakarta : Kanisius.
-Winarta, Frans. H. 2009. Suara Rakyat, Hukum Tertinggi. Jakarta : Kompas.
-Green Mind Community (GMC). 2009. Teori dan Politik Hukum Tata Negara. Yogyakarta:Total Media. )
4. Fondasi yang tepat dan kokoh bagi sebuah demokrasi yang berkelanjutan (sustainable democracy) adalah sebuah negara konstitusi ( constitutional state) yang bersandarkan pada konstitusi yang kokooh dan dapat melindungi dirinya dari ancaman, baik dari dalam maupun dari luar pemerintahan. Konstitusi yang kokoh yang mampu menjamin pelaksanaan demokrasi yang berkelanjutan, hanyalah sebuah konstitusi yang mengatur secara rinci batas-batas kewenangan dan kekuasaan lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif secara seimbang dan saling mengawasi ( checks and balances ), yang memberi jaminan secara luas tentang hak-hak warga negara dan hak asasi manusia.
Konstitusi yang kokoh bagi sebuah constitutional state yang mampu menjamin pelaksanaan demokrasi berkelanjutan juga harus merupakan konstitusi yang legitimate, dalam arti pembuatannya harus secara demokratis, diterima dan memperoleh dukungan dari seluruh komponen masyarakat dari berbagai aliran dan faham, dari berbagai aspirasi dan kepentingan. Secara teoritis, dari sudut pandang teori konstitusi atau konstitualisme, keberadaan sebuah konstitusi bagi sebuah negara pada hakekatnya adalah untuk membatasi kekuasaan negara agar tidak bertindak secara sewenang-wenang.
Konstitusi yang kokoh adalah konstitusi yang jelas faham konstitusinya, yaitu yang mengatur secara jelas batas-batas kewenangan dan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif secara seimbang dan saling mengawasi (checks and balances) serta memberikan jaminan yang cukup luas dalam arti penghormatan (to respect), perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fulfill) hak warga negara dan hak asasi manusia. Dengan kata lain, konstitualisme adalah faham mengnai pembatasan kekuasaan dan menjamin hak-hak rakyat melalui konstitusi.
Dalam perubahan terhadap UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 yang berlangsung dalam empat tahap telah membawa perubahan yang besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut adalah perubahan sistem kelembagaan dan hubungan tiga cabang kekuasaan negara yang utama, legislatif, eksekutif dan yudikatif. Perubahan tersebut merupakan penyempurnaan terhadap penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern melalui pembagian kekuasaan secara tegas dengan sistem checks and balances.
Pembagian kekuasaan pemerintahan seperti didapat garis-garis besarnya dalam susunan ketatanegaraan menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah bersumber kepada susunan ketatanegaraan Indonesia asli, yang dipengaruhi besar oleh pikiran-pikiran falsafah negara Inggris, Perancis, Arab, Amerika Serikat dan Soviet Rusia. Aliran pikiran itu oleh Indonesia dan yang datang dari luar, diperhatikan sungguh-sungguh dalam pengupasan ketatanegaraan ini, semata-mata untuk menjelaskan pembagian kekuasaan pemerintahan menurut konstitusi proklamasi.
Pembagian kekuasaan pemerintah Republik Indonesia 1945 berdasarkan ajaran pembagian kekuasaan yang dikenal garis-garis besarnya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia; tetapi pengaruh dari luar; diambil tindakan atas tiga kekuasaan, yang dinamai Trias Politica, seperti dikenal dalam sejarah kontitusi di Eropa Barat dan amerika Serikat.
Ajaran Trias Politica diluar negeri pada hakikatnya mendahulukan dasar pembagian kekuasaan, dan pembagian atas tiga cabang kekuasaan (Trias Politica) adalah hanya akibat dari pemikiran ketatanegaraan untuk memberantas tindakan sewenang-wenang pemerintah dan untuk menjamin kebebasan rakyat yang terperintah.
Ajaran Trias Politika dilahirkan oleh pemikir Inggris Jhon Locke dan oleh pemikir Perancis de Montesquieu dijabarkan dalam bukunya L’Espris des Lois, yang mengandung maksud bahwa kekuasaan masing-masing alat perlengkapan negara atau lembaga negara yang menurut ajaran tersebut adalah :
a. Badan legislatif, yaitu badan yang bertugas membentuk Undang-undang
b. Badan eksekutif yaitu badan yang bertugas melaksanakan undang-undang
c. Badan judikatif, yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan Undang-undang, memeriksa dan megadilinya.
Sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menurut UUD 1945, tidak menganut suatu sistem negara manapun, tetapi adalah suatu sistem khas menurut kepribadian bangsa indonesia, namun sistem ketatanegaraan Republik indonesia tidak terlepas dari ajaran Trias Politica Montesquieu. Ajaran trias politica tersebut adalah ajaran tentang pemisahan kekuasaan negara menjadi tiga yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Judikatif yang kemudian masing-masing kekuasaan tersebut dalam pelaksanaannya diserahkan kepada satu badan mandiri, artinya masing-masing badan itu satu sama lain tidak dapat saling mempengaruhi dan tidak dapat saling meminta pertanggung jawaban.
Apabila ajaran trias politika diartikan suatu ajaran pemisahan kekuasaan maka jelas Undang-undang Dasar 1945 menganut ajaran tersbut, oleh karena memang dalam UUD 1945 kekuasaan negara dipisah-pisahkan, dan masing-masing kekuasaan negara tersebut pelaksanaannya diserahkan kepada suatu alat perlengkapan negara.
Susunan organisasi negara adalah alat-alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 baik baik sebelum maupun sesudah perubahan. Susunan organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan yaitu :
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2) Presiden
(3) Dewan Pertimbagan Agung (DPA)
(4) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
(5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
(6) Mahkmah Agung (MA)
Badan-badan kenegaraan itu disebut lembaga-lembaga Negara. Sebelum perubahan UUD 1945 lembaga-lembaga Negara tersebut diklasifikasikan, yaitu MPR adalah lembaga tertinggi Negara, sedangkan lembaga-lembaga kenegaraan lainnya seperti presiden, DPR, BPK, DPA dan MA disebut sebagai lembaga tinggi Negara.
Sementara itu menurut hasil perubahan lembaga-lembaga negara yang terdapat dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut:
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
(2) Presiden
(3) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
(4) Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
(5) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
(6) Mahkmah Agung (MA)
(7) Mahkamah Konstitusi (MK)
Secara institusional, lembaga-lembaga negara merupakan lembaga kenegaraan yang berdiri sendiri yang satu tidak merupakan bagian dari yang lain. Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya, lembaga Negara tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain, hal itu menunjukan bahwa UUD 1945 tidak menganut doktrin pemisahan kekuasaan.
Dengan perkataan lain, UUD 1945 menganut asas pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur didalamnya serta hubungan kekuasaan diantara badan-badan kenegaraan yang ada
Sebelum Perubahan
1.MPR, sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, mempunyai kekuasaan untuk menetapkan UUD, GBHN, memilih Presiden dan Wakil Presiden serta mengubah UUD
2.Presiden, yang berkedudukan dibawah MPR, mempunyai kekuasaan yang luas yang dapat digolongkan kedalam beberapa jenis:
a.Kekuasaan penyelenggaran pemerintahan;
b.Kekuasaan didalam bidang perundang undangan, menetapakn PP, Perpu;
c.Kekuasaan dalam bidang yustisial, berkaitan dengan pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi;
d.Kekuasaan dalam bidang hubungan luar negeri, yaitu menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain, mengangkat duta dan konsul.
3.DPR, sebagai pelaksana kedaulatan rakyat mempunyai kekuasaan utama, yaitu kekuasaan membentuk undang-undang (bersama-sama Presiden dan mengawasi tindakan presiden.
4.DPA, yang berkedudukan sebagai badan penasehat Presiden, berkewajiban memberikan jawaban atas pertanyaan presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah
5.BPK, sebagai “counterpart” terkuat DPR, mempunyai kekuasaan untuk memeriksa tanggung jawab keuangan Negara dan hasil pemeriksaannya diberitahukan kepada DPR.
6.MA, sebagai badan kehakiman yang tertinggi yang didalam menjalankan tugasnya tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan pemerintah.
Setelah Perubahan
1.MPR, Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK, menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN, menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu), tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD, susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.
2.DPR, Posisi dan kewenangannya diperkuat, mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU, Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah, Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.
3.DPD, Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR, keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan negara Republik Indonesia, dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu, mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.
4.BPK, Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD, berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum, berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi, mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.
5.Presiden, Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial, Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR, Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja, Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR, kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR, memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.
6.Mahkmah Agung, Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)], berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.
7.Mahkamah Konstitusi, Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution), Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD, Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.
Atas dasar itu, UUD 1945 meletakan asas dan ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan-hubungan (kekuasaan) diantara lembaga-lembaga negara tersebut. Hubungan –hubungan itu adakalanya bersifat timbal balik dan ada kalanya tidak bersifat timbal balik hanya sepihak atau searah saja.
(-Fadjar, Abdul Mukthie. 2006. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Konstitusi press, Yogyakarta : Citra Media.
-Ranadireksa, Hendarman. 2007. Dinamika Konstitusi Indonesia. Bandung : Fokus Media)
5.Secara keseluruhan, UUD 1945 pasca amandemen keempat, mengenal enam lembaga tinggi negara, yaitu : MPR, DPR, Presiden, MA, BPA dan DPA. Dari keenam lembaga tersebut hanya MPR saja yang bersifat khas Indonesia, sisanya berasal dari cetak biru kelembagaan yang dicontohkan pada masa Hindia Belanda. MPR kemudian dianggap mempunyai kedudukan tertinggi pemegang kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, dapat dimengerti dalam keberadaan MPR terdapat elemen-elemen konsepsi kenegaraan yang bersifak kombinatif antara tradisi liberalisme barat dan sosialisme timur. Unsur keanggotaan MPR juga menggambarkan adanya semangat kombinatif ini. Yaitu terdiri dari anggota DPR yang mencerminkan demokrasi politik yang berdasarkan atas prosedur perwakilan dalam rangka menyalurkan seluruh aspirasi dan kepentingan bangsa dan negara, utusan golongan mencerminkan prinsip demokrasi ekonomi yang berdasarkan pada prosedur perwakilan fungsional untuk menutupi dan mengatasi kelemahan sistem demokrasi politik, dan utusan daerah yang diadakan untuk menjamin agar kepentingan daerah tidak terabaikan hanya karena orientasi yang mengutamakan kepentingan nasional. Maka tepat bila majelis ini diberikan kedudukan tertinggi (supreme).
Setidaknya ada tiga faktor penting yang mempengaruhi keberadaan MPR sebagai lembaga negara. Pertama, pemisahan kekuasaan secara tegas dari cabang legislatif, eksekutif dan yudikatif. Kedua, pemilihan presiden secara langsung yang berkaitan dengan konsep pertanggungjawaban presiden langsung kepada rakyat. Ketiga, rekonstrukturisasi parlemen menjadi dua kamar atau bikameral, dalam rangka menampung aspirasi daerah-daerah yang terus berkembang menjadi semakin otonom. Tiga hal ini diadobsi dalam materi perubahan UUD 1945. Prinsip pemisahan kekuasaan secara tegas telah dituangkan dalam amandemen pertama dan kedua UUD 1945, prinsip kedua diadobsi dalam perubahan ketiga UUD. Kemudian prinsip ketiga diadobsi dalam perubahan UUD yang keempat yang telah dikukuhkan tidak hanya melalui Undang-undang. Tetapi juga Tap MPR dan bahkan dalam naskah perubahan yang kedua UUD 1945.
Kebijakan otonomi daerah ini dikembangkan sebagai upaya strategis untuk menjamin keutuhan bangsa dan negara serta mendorong proses demokratisasi hubungan antara pusat dan daerah. Dengan diterimanya ketiga gagasan tersebut kedalam maka keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara tidak dapat dipertahankan lagi. Maka jelaslah bahwa berlakunya UUD 1945 hasil amandemen, Tap MPR tidak lagi menjadi peraturan perundang-undangan. Hal ini adalah konsekwensi dari amandemen.
Ketentuan UUD hasil amandemen tentang tidak berlakunya lagi Tap MPR lebih bersifat implisit karena UUD hasil amandemen tidak scara jelas melarang adanya tap MPR sebagai peraturan perundang-undangan demikian juga UUD ini tidak menyebutkan secara eksplisit tata urutan perundang-undangan. Adanya penggaris bawahan tap MPR bukan merupakan peraturan perundang-undangan dapat dengan mudah digali dan dipahami dari dua pasal dalam UUD hasil amandemen, yaitu pada pasal 24C ayat (1) dan aturan tambahan pasal 1, serta tap MPR no. 1/MPR/2003 dan UU no. 10 tahun 2004.
Pada pasal 24C ayat (1), yang berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Dapat dipahami bahwa pweraturan perundang-undangan yang langsung dibawah UUD adalah UU. Dan jelaslah bahwa tap MPR bukanlah peraturan perundang-undangan.
Pada tambahan pasal 1, ketentuan yang termuat di dalamnya memerintahkan kepada MPR untuk meninjau kembali dan menentukan status baru seluruh tap MPR/MPRS yang telah ditetapkan bukan sebagai aturan perundangan lagi.
Hasil musyawarah MPR atas status tap MPR dan MPRS ditetapkan dalam sidang tahunan MPR tahun 2003 yang dikenal dengan tap sapujagad. Tap MPR nomer 1/MPR/2003 Tentang: Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002. Diputuskan tentang status baru 139 tap MPRS/MPR, dimana TAP MPRS/TAP MPR yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8 Ketetapan), TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan (3 Ketetapan), TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya Pemerintahan Hasil Pemilu 2004 (8 Ketetapan), TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang (11 Ketetapan), TAP MPR yang dinyatakan masih berlaku sampai dengan ditetapkannya Peraturan Tata Tertib baru oleh MPR Hasil Pemilu 2004 (5 Ketetapan), TAP MPRS/TAP MPR yang dinyatakan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat final (einmalig), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan (104 Ketetapan).
(-Assiddiqie, Jimly. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Yogyakarta : FH UII Press.
-M. Mahfud MD. 2007. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta : LP3ES.)
Langganan:
Postingan (Atom)