Pengertian ruju’
Ruju’ berasal dari kata ruj’ah yang artinya kembali. Maksudnya adalah kembali hidup bersama suami istri antara laki – laki dan perempuan yang melakukan perceraian dengan jalan talak raj’i selama masih dalam masa iddah tanpa akad nikah baru.
Menurut syara’ adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah ditalak raj’i.
Ruju’ adalah hak laki – laki untuk kembali pada mantan istrinya selama masih dalam masa iddah. Sehingga mantan istri tidak dapat membatalkannya sekalipun suaminya berkata “tidak ada ruju’ bagimu” , karena mantan suaminya masih berhak untuk meruju’nya. Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam surat Al – Baqarah ayat 228:
“Wanita - wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Bila seorang laki – laki telah menceraikan istrinya, ia diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk ruju’ kembali dengan syarat keduanya betul – betul ingin berbaikan dan untuk islah. Dan apabila dalam ruju’ itu tidak ada niatan untuk islah, maka ruju’ haram hukumnya. Inilah maksud dari ayat di atas. Dan dapat pula dipahami bahwa ayat ini terutama sekali ditujukan pada suami bukan pada istri. Karena ruju’ adalah hak suami.
Sedang definisi ruju’ dalam pengertian fiqh menurut al Mahalli adalah :
الرد الى النكاح من طالك غير بائن في العدة
Kembali ke dalam hubungan perkawinan dari cerai yang bukan bain, selama masih dalam masa iddah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ), ruju’ adalah kembalinya suami kepada istrinya yang ditalak, yaitu talak satu atau talak dua, ketika istri masih dalam masa iddah.
Kata iddah berasal dari bahasa Arab yang berarti menghitung, menduga,
mengira. Menurut istilah, ulama-ulama memberikan pengertian sebagai berikut :
1. Syarbini Khatib dalam kitabnya Mugnil Muhtaj mendifinisikan iddah dengan “Iddah adalah nama masa menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau karena sedih atas meninggal suaminya.
2. Drs. Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi memberikan pengertian iddah dengan “ Masa yang tertentu untuk menungu, hingga seorang perempuan diketahui kebersihan rahimnya sesudah bercerai.”
3. Prof. Abdurraahman I Doi, Ph.D memberikan pengertian iddah ini dengan “suatu masa penentian seorang perempuan sebelum kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai darinya.”
4. Sayyid Sabiq memberikan pengertian dengan “ masa lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya.”
Selain pengertian tersebut diatas, banyak lagi pengertian-pengertian lain yang diberikan para ulama, namun pada prinsipnya pengertian tersebut hampir bersamaan maksudnya yaitu diterjemahkan dengan masa tunggu bagi seorang perempuan untuk bisa rujuk lagi dengan bekas suaminya atau batasan untuk boleh kawin lagi.
Hukum Ruju’
Dalam pelaksanaan ruju’, fiqh mengatur adanya hukum – hukum dalam pelaksanaan dan pengadaan ruju’. Hukum – hukum tersebut adalah sebagai berikut:
Wajib, bagi suami yang menceraikan salah seorang istrinya sebelum ia menyempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang dithalaq.
Haram, apabila ruju’nya untuk menyakiti istri dan tidak ada niat untuk ihsan.
Makruh, apabila cerai lebih baik dan bermanfaat bagi keduanya.
Jaiz atau boleh, hukum ini adalah hukum asli ruju’.
Sunnah, bila suami berniat memperbaiki keadaan istri atau apabila ruju’ lebih bermanfaat bagi keduanya.
Dalam satu sisi, ruju’ adalah membangun kembali kehidupan perkawinan. Bila membangun kehidupan yang pertama kali disebut dengan pernikahan atau perkawinan, maka untuk melanjutkan hubungan tersebut disebut dengan ruju’. Dalam mendudukkan dasar hukum dari ruju’, terdapat perbedaan pendapat ulama. Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum dari ruju’ adalah sunnah. Dalil yang digunakan oleh jumhur ulama adalah firman Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat 229
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.”
Dan dalam surat al Baqarah ayat 228
“Wanita - wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ruju’ dalam UU. No. 1 tahun 1974 dan KHI
Permasalahan ruju’ dalam perundangan perkawinan Indonesia, UU No. 1 tahun 1974, diatur dalam pasal 10 yang berbunyi :
“Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantaar mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing – masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.”
Dalam KHI diatur pula tentang masalah ruju’yaitu :
Umum
Seorang suami dapat meruju’ istrinya yang dalam masa iddah. (pasal 163 KHI)
Ruju’ dapat dilakukan dalam hal – hal :
Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak telah terjatuh tiga kali atau talak yang dijatuhkan sebelum ad – dukhul.
Putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan – atau alasan – alasan selain zina atau khulu’.
Seorang wanita dalam masa iddah talak raj’i berhak mengajukan keberatan atas kehendak ruju’ dari bekas suaminya dihadapan pegawai pencatat nikah disaksikan dua orang saksi. ( pasal 164 KHI )
Ruju’ yang dilakukan tanpa persetujuan istri dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan pengadilan agama. ( pasal 165 KHI )
Ruju’ harus dapat dibuktikan dengan kutipan buku pendaftaran ruju’ dan apabila bukti itu hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mangeluarkan semula. (pasal 166 KHI)
Syarat dan Rukun Ruju’
Sebagaimana telah dikatakan di awal, ruju’ dapat dilakukan ketika istri mengalami talak raj’i. Dengan rukun dan syarat sebagai berikut :
Laki – laki yang meruju’
Syarat – syarat bagi suami yang meruju’ :
Laki – laki yang meruju’ adalah suami bagi perempuan yang diruju’ yang dia menikahi istrinya itu dengan nikah yang sah.
Laki – laki yang meruju’ itu mentinya adalah laki – laki yang mempu melaksanakan pernikahan sendirinya, maksudnya adalah bahwa dia adalah laki – laki dewasa, sehat akalnya dan bertindak dengan kesadarannya sendiri dan bukan atas paksaan dari orang lain
Ada perempuan yang diruju’
Adapun syarat bagi perempuan yang diruju’ adalah :
Perempuan itu adalah istri yang sah dari laki – laki yang meruju’
Istri dicerai dengan bentuk talak raj’i
Istri masih dalam masa iddah talak raj’i dan belum habis masa iddahnya
Istri telah digauli pada masa perkawinan itu. Dan apabila istri belum digauli maka ia tidak memiliki masa iddah
Saksi
Dalam hal ini, terdapat perbedaan pendapat antara ulama. Diantaranya adalah pendapat jumhur ulama yang didalamnya termasuk juga Imam Syafi’i mengisyaratkan adanya dua orang saksi sebagaimana dalam pernikahan. Hal ini dikarenakan adanya perintahAllah untuk itu, sebagaimana dalam surat At – Thalaq ayat 2
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.”
Dalam ayat ini ditunjukkan bahwa adanya saksi dalam ruju’ adalah wajib. Sehingga lafald ruju’ tidak boleh dengan lafald kinayah atau dalam hati, karena saksi tidak akan mengetahui hal tersebut.
Dan pendapat kedua, pendapat jumhur ulama termasuk Imam Ahmad yang menyatakan bahwa dalam ruju’ tidak perlu saksi. Karena ruju’ hanya melanjutkan perkawinan yang telah terputus dan bukan memulai perkawinan yang baru, sehingga hukum adanya saksi dalam ruju’ bukanlah wajib.
Menurut ulama Syi’ah Imamiyah persaksuan dalam ruju’ adalah sunnah sehingga ruju’ boleh dilakukan dengan lafald kinayah.
Shighat
Terus terang. Misalnya dengan ucapan,”aku ingin menikahimu kembali.”
Sindiran. Misalnya dengan ucapan, “ saya pegang engkau.”
Ruju’ dianggap tidak sah apabila kalimatnya menggantung, seperti “ saya kembali padamu jika kamu mau” atau “ saya kembali padamu bila keadaan memungkinkan.”
Tata cara Ruju’
Suami yang hendak merujuk istrinya datang bersama istrinya kepada pegawai pencatatan nikah atau P3NTR di daerah tempat tinggal istri dengan membawa surat tanda kutipan Buku Pendaftaran Talak dan surat keterangan lainnya yang diperlukan. ( pasal 32 PMA Nomor 3/1975 )
Ruju’ dilakukan dengan persetujuan istri dihadapan P3NTR yang kemudian memeriksa dan menyelidiki pemenuhan syarat – syarat meruju’ yang ada dalam hukum munakahat. Setelah suami menyatakan ruju’nya, masing – masing yang bersangkutan beserta saksi – saksi menandatangani Buku Pendaftaran Ruju’. Kemudian setelah itu, P3NTR menjelaskan dan menasehati tentang hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan ruju’. Daftar ruju’ dibuat rangkap dua, sehelai dikirim ke PPN di daerahnya dan selembar lagi disimpan dalam Buku Pendaftaran Ruju’. ( pasal 33 PMA Nomor 3/1975 )
Pengiriman lembar pertama selambat – lambatnya 15 hari setelah ruju’ dilakukan.
Apabila lembar pertama dari daftar ruju’ hilang, maka oleh P3NTR dibuatkan salinan dari lembar kedua, dengan berita acara tentang sebab – sebab hilangnya tersebut, pegawai pencatatan nikah membuat surat – surat terjadinya ruju’ atau SK terjadinya ruju’ dan mengirimkan kepada PA ditempat terjadinya talak yang bersangkutan dan kepada suami dan istri masing – masing diberikan kutipan buku pendaftaran ruju’ menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama. Kemudian suami atau kuasa hukumnya dengan buku tersebut mengurus atau mengambil kutipan akta nikah setelah diberi catatan oleh PA tersebut. Isi catatan tersebut adalah tempat dan tanggal ruju’ diikrarkan dan nomor serta tanggal kutipan buku pendaftaran ruju’ dan ditandatangani oleh panitera. ( pasal 32, 33, 34 Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 )
Istri atau mantan istri dapat diruju’ ketika masih dalam masa iddah ( pasal 32 (3)) peraturan menteri agama nomor 3 tahun 1975 menyatakan bahwa tenggang waktu iddah itu adalah 90 hari, lihat juga dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 11dan pasal 39 PP No. 9/1975.
Surat yang harus dibawa saat meruju’ :
SK ruju’ dari Lurah desanya.
Kutipan buku pendaftaran ruju’ atau cerai.
Setelah membawa membawa persyaratan tersebut, PPN memeriksa pemenuhan persyaratan yang lainnya. Kemudian suami istri tersebut mengikrarkan ruju’ dihadapan PPN dan saksi – saksi. PPN mencatat pendaftaran ruju’ dalam Buku Pendaftaran Ruju’ dan ditandatangani oleh yang bersangkutan. Kemudian PPN membuatkan kutipan ruju’ untuk suami yang meruju’ dan istri yang diruju’. Dan PPN melaporkan pada PA tempat terjadinya talak.